Oleh Pater Andre Suhana Nitiprawiro, CSsR
Dalam Galatia 2: 1-2, 7-14 kita bi menyimak pembagian tugas dalam mewartakan Injil antara Kefas (Petrus) dan Paulus. Petrus dipercayakan untuk kalangan mereka “yang bersunat”, yaitu yang mengikuti adat, kebiasaan dan budaya Yahudi. Sementara Paulus dipanggil Tuhan Yesus untuk menjadi pewarta Injil untuk kalangan “orang-orang tak bersunat”.
Meskipun perutusan kedua Rasul itu berbeda, tetapi ada satu hal yang menghubungkan keduanya, yaitu Yesus yang diwartakan. Yesus menyatukan mereka yang berkultur “Yahudi” dan yang berkultur “bukan Yahudi,” para hamba dan tuan-tuan, besar dan kecil serta kaya dan miskin.
Di dalam Yesus kita semua bersaudara. Dan dalam persaudaraan itu, Yesus mengajari para murid-Nya ketika mereka meminta untuk diajari berdoa, untuk menyapa Allah sebagai Bapa.
Kepada Bapa itulah doa harus kita panjatkan. Maka Yesus mengajarkan doa Bapa Kami, kepada setiap murid-Nya, sebagaimana terdapat dalam Injil Lukas 11: 1- 4.
Doa Bapa Kami mengandung arti yang mendalam, bila kita ucapkan pelan-pelan dan kita resapi arti kata demi kata. Kedalaman dan keindahan doa Bapa Kami terletak di dalam 2 (dua) struktur doa itu pada dua bagian. Pertama, berfokus pada Kemuliaan Nama Tuhan, Kerajaan Allah dan Kehendak-Nya. Kedua, berfokus pada sisi manusia yang merasa kecil dan berdosa serta mengajukan permohonan kepada TUHAN.
Demikianlah seharusnya dalam setiap doa, kita pertama-tama harus memuliakan nama Tuhan, meluhurkan Kerajaan-Nya dan mengharapkan Kehendak-Nya terjadi. Baru sesudah itu, kita mengajukan permohonan sesuai dengan kebutuhan kita: “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya” (Luk.11: 3). Lalu memohon pengampunan atas dosa-dosa kita: “Ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami”. Dan terakhir mohon agar “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” (ayat 4).
Dalam hubungan dengan sesama manusia, kalau kita belum merasa akrab dengan seseorang, rasanya kita akan malu untuk meminta ini dan itu. Bisa-bisa kita akan dicap sebagai orang yang tidak tahu etiket pergaulan.
Akan tetapi bila kita sudah dekat dengan seseorang, maka melihat bahasa tubuhnya saja kita bisa menebak bahwa teman kita itu membutuhkan sesuatu. Dengan menyebut Allah itu sebagai Bapa, maka relasi kita, manusia yang lemah dan rapuh ini, dengan Tuhan harus dapat kita capai suatu hubungan yang sangat akrab seperti anak dengan Bapanya.
Dengan mendaraskan doa Bapa Kami setiap hari dan setiap kali, apakah hubungan kita dengan Tuhan dapat semakin akrab, seperti hubungan anak dengan ayahnya? Bila belum akrab, akan terasa janggal kalau kita banyak mengajukan permohonan melulu.
Correctio Fraterna
Dalam keberagaman yang disatukan dalam nama Yesus itu, setiap murid diajak untuk saling menghormati. Mengingat hal itu, maka wajarlah Paulus menegur Petrus secara kekeluargaan. Teguran persaudaraan atau “correctio fraterna” itu berdasarkan kasih, bukan berlatar belakang untuk menjatuhkan nama baik atau berdasar kebencian yang bersifat “nyinyir”.
Teguran itu disampaikan karena sikap Petrus kurang konsisten dengan keputusan yang disepakati dalam sidang di Yerusalem, yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi yang dibaptis tidak harus menuruti adat Yahudi (bersunat) (lihat Kis.15: 28).
Pada saat itu, sebelum orang-orang dari kalangan “bersunat” datang, Petrus makan bersama dalam satu meja dengan orang-orang “yang tidak bersunat”. Namun, begitu beberapa saudara “yang bersunat” datang, Petrus ketakutan dan segera mundur dari acara makan bersama itu.
Maka Paulus pun berani menegur dan menyalahkan sikap Petrus itu. Sikap Paulus yang tegas menunjukkan apa yang salah, rupanya tidak membuat persaudaraan antara keduanya renggang dan terganggu.
Lewat “correctio fraterna” itu, persaudaraan di antara mereka justru semakin dimurnikan. Apakah kita pada saat ini juga mau dan berani mengadakan “correctio fraterna” itu kepada saudara kita lain yang kurang tepat sikapnya? Ataukah malah kita biarkan saja hingga di bully terus?
Bulan Oktober adalah Bulan Rosario. Kita imani bahwa doa Rosario yang didaraskan berulang-ulang dengan penuh iman dan harapan serta dengan sikap pasrah dan rendah hati serta dalam persatuan dengan Bunda Maria, maka kita percaya benar-benar mempunyai kekuatan dahsyat untuk mengubah hidup kita.
Setiap kali kita mendaraskan doa Rosario, kita pasti mendoakan doa Bapa Kami, sebagai doa yang diajarkan langsung oleh Tuhan Yesus sendiri, tambah lagi dengan “Salam Maria” sebagai bentuk devosi kita kepada Bunda Maria, Bunda Allah dan Bunda Gereja, niscaya semua itu akan didengarkan dan dengan harapan dikabulkan juga oleh Tuhan.
Doa Rosario juga langsung diminta oleh Bunda Maria sendiri pada peristiwa-peristiwa penampakan di Lourdes, Perancis (1858), Fatima, Portugal (1917), di Beauraing, Belgia (1932-1933) dan berbagai tempat lain agar didoakan umat.
Marilah kita doakan Rosario di samping ujud-ujud untuk keluarga atau pribadi. Seperti harapan Paus Fransiskus- hendaknya kita mohonkan tercapainya perdamaian dunia, khususnya di negara-negara yang sedang konflik dan pecah perang yang menghancurkan kemanusiaan, keadilan, perekonomian dan kesejahteraan bersama.
Ya Bapa, aku bersyukur dan berterima kasih atas doa yang diajarkan Putra-Mu. Aku percaya dan menyerahkan hidupku kepada Penyelenggaraan Ilahi-Mu. Bunda Maria, jauhkanlah anak-anakmu ini dari segala marabahaya dan berilah kedamaian serta ketenteraman di negara-negara yang terlibat perang. Amin.
Salam dan doa dari Wisma Sang Penebus, Nandan, Yogyakarta