Antonius Benny Susetyo, Pr
Melihat ulang keterlibatan umat Katolik dalam percaturan politik di Indonesia, jejak-jejaknya tidak terlepas dari keberadaan Kweekschool Xaverius Muntilan dan pendirinya yakni Fransiscus van Lith. Meski sebagai orang Belanda, oleh Soegijapranata, Van Lith disebut sebagai ”Orang Belanda dengan hati Jawa” (hlm. 3). Keberanian Van Lith untuk menceburkan diri dalam hidup orang Jawa memudahkannya mewartakan Kabar Gembira di tanah Jawa.
Di hadapan para muridnya, Van Lith selalu menempatkan diri sebagai saudara bagi yang terjajah dan tertindas. Kepada para muridnya, Van Lith berpesan agar menjadi agen perubahan sosial. Pesan itu sungguh sangat meresap dalam hati, sehingga tidaklah mengherankan I.J Kasimo, salah seorang murid Van Lith, tergerak untuk membaktikan diri dalam pergulatan hidup berbangsa dan bernegara saat itu. Pakempalan Politiek Katholik Djawi menjadi sarana keterlibatan mereka dalam sosial-politik (hlm. 10).
Dalam perjuangan melawan pemerintahan Hindia Belanda, sebagai orang Katolik, mereka lebih memilih pendekatan kooperatif daripada pendekatan revolusioner ”Demi menjaga kepentingan Gereja” (him. 14). Dalam benak I.J Kasimo, Gereja mesti terlibat dalam perjuangan bangsa meski harus menghindari konflik terbuka. Hanya melalui cara ini, sikap ragu-ragu dan curiga terhadap posisi Gereja dalam perjuangan kemerdekaan dapat dikurangi.
Artinya, seluruh langkah perjuangan mereka didasari oleh semangat Salus populi suprema lex -kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi’ (hlm. 39). Meski terbilang kecil jumlahnya, dengan semangat perjuangan membela yang tertindas dan terjajah, umat Katolik melalui Partai Katolik telah memberi warna dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Bagaimanapun juga, idealisme mereka menghadapi tantangan dan hambatan dalam perjalanannya manakala kehadiran umat Katolik yang kecil dapat memberikan kontribusinya secara luas. Terkadang realitas yang ada memudarkan semangat dan cita-cita mereka. Ajaran Gereja yang menjadi pegangan hidup mengalami ketidakberdayaan, guncangan dan kematian. Keterlibatan dalam kehidupan masyarakat yang menjadj pijakan awal, sebagaimana diamanatkan Tuhan Yesus sendiri, mendapat godaan untuk mencari dan memanfaatkan keuntungan bagi kelompok atau hanya bagi segelintir orang.
Umat Katolik yang mendapat posisi dalam pemeritahan, sering kali melupakan sisi mata uang dari keterlibatan mereka: kontributif dan koruptif. Mereka sering terjebak dalam gairah koruptif dibanding semangat panggilan memberi kontribusi. Kepentingan kekuasaan lebih menjanjikan kemapanan ketimbang aspirasi masyarakat luas, nilai ajaran moral dan iman.
Keterlibatan dalam bidang kemasyarakatan dan sosial merupakan ciri khas kerasulan para awam. Tokoh awam tersebut sadar benar bahwa keterlibatan dalam politik merupakan usaha penyebaran kasih Allah das perwujudan iman akan Kristus yang datang membawa pembebasat Melalui itu umat Katolik menyumbangkan kekhasan hidup dan ajaras Gereja Katolik.
Adakah kaitan antara fakta sejarah bubarnya Partai Katolik dengan kurangnya tokoh-tokoh umat Katolik berkiprah dalam bidang sosial politik? Agaknya, Gereja mau belajar bahwa mengusung nama Katolik tidak otomatis mengusung ajaran moral dan sosial Gereja. Berdasarkan pengalaman Gereja sendiri, kepentingan sesaat dan pendek lebih menggiurkan daripada berbicara mengenai ajaran moral dan iman.
Gereja tidak mau terjebak oleh nama yang hanya dipakai untuk mencari simpati dan pengaruh bagi partai-partai politik. Gereja dewasa ini, tidak pernah menyatakan dukungan kepada satu partai tertentu, betapapun partai tersebut mengusung nama Katolik. Gereja mau mendukung program yang mengedepankan kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, bukan ideologi yang sering kali menyesatkan.
Ada kenyataan yang menarik bahwa keterlibatan umat Katolik pada saat itu, disebabkan Gereja sering dipandang sebagai lawan, kecil dan tidak dihargai. Hanya dengan mau terlibat dalam kancah kehidupan sosial, Gereja mampu menyatakan keberadaannya. Maka pada masa itu soal nama atau bendera Katolik menjadi suatu yang masih dianggap penting dan mendesak. Namun, pada saat Gereja sudah dihargai bahkan dibutuhkan, kelompok atau partai dengan membawa nama Katolik dipandang tidak diperlukan lagi, bahkan dianggap kontra produktif dalam masyarakat yang makin majemuk ini.
Memang jujur harus diakui bahwa kurangnya keterlibatan umat Katolik karena disebabkan banyak hal, seperti: Pertama, kurangnya kaderisasi dan penanaman nilai. Tokoh-tokoh inspiratif dan menonjol seperti Van Lith, Soegija, Djaja, maupun I.J Kasimo belum ada yang tampil dan menonjol dalam Gereja. Bagi orang-orang muda, Gereja hanya merupakan simbol ritual dan liturgis yang mati. Gereja telah kehilangan daya hidupnya, yakni pelayan dalam masyarakat, Gereja yang berwajah sosial.
Kedua, seperti fenomena yang sedang melanda di hampir setiap negara, agama hanya diletakkan dalam ruang sempit bernama privat, sementara sisi mistik yang memiliki dimensi politis kurang diperhatikan.
Persoalan-persoalan di atas semakin menyadarkan umat Katolik untuk terlibat dalam karya keselamatan manusia. Politik tidak melekat dengan kekotoran, pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnyalah yang menyebabkan kerumitan dan carut-marut wajah perpolitikan. Inilah tantangan umat Katolik untuk terlibat membersihkan dan menyehatkan tata dunia, menciptakan masyarakat yang adil, manusiawi dan menjunjung tinggi kebenaran.
Keterlibatan Dalam Politik Adalah Suatu Panggilan
Dalam suatu surat apostoliknya, Sri Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa menjadi politisi adalah suatu panggilan untuk melayani sesama. Oleh karenanya, dibutuhkan politisi-politisi yang memiliki komitmen, integritas, kompetensi, dan moralitas yang tinggi dalam semangat pelayanan.
Mereka diharapkan untuk memahami secara benar perilaku kehidupan sosial dan politik supaya keterlibatan mereka menjadi bermakna dan bermanfaat dan agar tidak terjebak dalam pragmatisme belaka, menghalalkan segala cara demi kepentingan sesaat semata. Bila demikian halnya, politik telah kehilangan rohnya. Akibatnya, wajah politik menjadi sesuatu yang kotor dan licik.
Paus menantang para politisi Katolik untuk menghadirkan wajah lembut solidaritas yang lebih nyata dan menyala. Di mana dunia saat ini tidak lagi peduli, hanya berpusat pada diri sendiri dan bangsa, para politisi Katolik dipanggil untuk ikut serta dalam membangun tata dunia yang lebih beradab dan tidak begitu saja menyerah pada sikap kompromisi, terhadap nilai-nilai moral kehidupan.
Bagi Sri Paus, panggilan menjadi politisi selain mengemban perutusan dari Tuhan, juga mengandung makna yang menentukan bagi kehidupan kepentingan umum, sebab kebijakan politik identik dengan hajat hidup orang banyak. Bila kebijakan disalahgunakan, dunia yang dibangun adalah dunia yang semakin tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan.
Untuk itu, Gereja tidak bisa tinggal diam menghadapi persoalan-persoalan yang mengedepankan kepentingan pribadi dan sempit. Dibutuhkan haluan atas segala tata hidup politik, termasuk di Indonesia yang mengak bangsa beragama.
Politik Tidak Bisa Dilepaskan Dari Moralitas
Kultur relativisme yang sedang melanda dunia menjadi latar belakang keprihatinan sebuah dokumen tentang keterlibatan umat Katolik dal kehidupan politik. Dokumen ini dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman. Ada nada kekecewaan mengingat para politisi Katolik sering tidak membela ajaran iman Katolik saat membuat kebijakan publik. Politisi Katolik justru terlibat dalam pengesahan perundang-undangan mengenai aborsi, euthanasia, homoseksual dan persoalan etis lainnya. Dokumen ni mengangkat persoalan para politisi Katolik yang bersifat mendua, hipokrit dan tak memiliki prinsip moral yang tinggi.
Semakin besarnya sikap untuk mengkompromikan nilai-nilai menyebabkan keputusan politik justru melukai prinsip moral dan kemanusiaan. Relativisme yang menganggap segala relatif, mengabaikan prinsip dasar dan nilai fundamental. Keberagaman toleransi ditempatkan sebagai tameng untuk meratifisir segalanya. Dalam sistem demokrasi yang menganut suara terbanyak, para politisi begitu saja menyetujui keinginan masyarakat pemilih tanpa mempedulikan nilainilai kehidupan.
Maka, dibutuhkan suatu sikap dasar, yakni menghargai proses serta mekanisme demokrasi, tidak meninggalkan kewajiban moral fundamental yang sejalan dengan ajaran Gereja. Para politisi diingatkan akan panggilan sebagai umat beriman. Panggilan yang diberikan oleh Tuhan, maka membuat kebijakan yang sempit dan sesaat berarti membangun masyarakat tanpa Tuhan. Itu artinya, politik tidak bisa dipisahkan dari moralitas.
Santo Thomas More Pelindung Negarawan dan Politisi Katolik
Pada saat-saat mendekati Yubileum 2000, muncul permohonan untuk mengangkat Santo Thomas More sebagai pelindung para negarawan dan politisi. Di tengah situasi perpolitikan yang semakin menantang dan berat ini, dibutuhkan sosok teladan, tempat untuk bercermin diri dan menimba kekuatan seperti Thomas More. Selain hendak menunjukkan penghargaan yang besar atas keteladanan More, pengangkatan ini juga mencerminkan kerinduan umat manusia untuk menciptakan tata kehidupan penuh dengan moralitas tinggi. Inilah pesan penting dari pengangkatan Thomas More sebagai pelindung negarawan dan politikus: politik tidak bisa dipisahkan dari moralitas!
Pengangkatan ini mau memupus anggapan bahwa politik itu kotor dan licik. Pada diri More, para politisi hendak menimba bahwa politik itu bersih dan bermoral. Bersih atau kotor, letaknya bukan pada bidang yang digeluti atau peran yang disandang serta kuasa yang dimiliki. Bersih atau kotor lebih terletak pada soal cara dan sikap menjalankan tugas panggilan ini.
Thomas More telah membutikan kesetiaan yang utuh pada otoritas dan institusi politik. Kesetiaan yang utuh, sebab kesetiaan itu tidak untuk mencari dan mengabdi pada kekuasaan, melainkan mengabdi pada cita-cita luhur keadilan.
Katolik dan Politik
Apabila Gereja berbicara mengenai politik, bukan berarti bahwa Gereja ingin tampil sebagai kekuatan politik yang mau mengintervensi tata kehidupan politik. Gereja, merasa diri sebagai bagian dari masyarakat yang mempunyai kewajiban moral untuk terlibat dalam persoalan sosial dunia sekitarnya. Gereja mempunyai hak untuk berbicara dan menyatakat sikapnya, terlebih dalam membela nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran mempromosikan karya kasih dan keadilan. Itu berarti, Gereja tidak ingin memainkan peran politiknya, yang ada hanyalah prinsip mora bertindak secara Katolik. Gereja diutus kepada dunia dan menjadi bagian dari dunia, justru bukan Gereja milik dunia.
Bila dunia ini semakin hidup dalam kebenaran, maka Gereja semakin menjadi tanda kebenaran. Begitu pula sebaliknya, dunia semakin jauh dari kebenaran dan keadilan mencerminkan Gereja yang kurang sungguh-sungguh menghidupi dan mewartakan kabar kebenaran dan keadilan Allah.
Bagi Gereja, iman memiliki dimensi spiritualitas dan sosial (politik), keduanya tidak bisa dipisahkan. Menonjolkan sisi spiritualitas hanya akan menjadikan umat mengejar kesalehan pribadi, relasi dengan Allah yang ditempatkan sebagai personal-individualistis. Iman lalu menjadi kosong, karena kehilangan aspek komuniter dan sosialnya.
Buku ini memberikan kepada anda tentang bagaimana berpolitk dimaknai sebagai sebuah panggilan untuk membangun tata dunia baru. Berpolitik menjadi penting ketika iman dijadikan inspirasi batin dalaw aktivitasnya. Ruang berpolitik harus berdimensi moralitas inilah yang menjadi perjuangan umat Katolik.
Tulisan ini merupakan Kata Pengantar Romo Benny Susetyo (Alm) untuk buku Katolik dan Politik karya T. Krispurwana Cahyadi, SJ terbitan OBOR, 2006