Tue. Dec 3rd, 2024

 Sekretaris Jenderal Caritas Internationalis Apresiasi Carina

Alistair Dutton bersama peserta pertemuan di Wisma KWI Kemiri Jakarta Pusat (AES)

JAKARTA-Dalam perjumpaannya dengan Kardinal Suharyo di di Katedral Jakarta, 25 Oktober 2024, selain berbicara tentang fenomena perubahan iklim, Sekretaris Jenderal Caritas Internationalis, Alistair Dutton mengapresiasi Caritas Indonesia. Dia menilai, meski baru berusia 18 tahun, namun telah bekerja banyak dalam karya-karya kemanusiaan di Indonesia.

Ia mengingat, bagaimana ketika terjadi tsunami tahun 2004, ada banyak lembaga Caritas dari luar negeri yang ingin membantu dan bahkan hadir di Aceh, namun belum menemukan rekanan Caritas di Indonesia.

Saat ini, Alistair melihat bahwa sejak kehadiran Caritas di Indonesia, perkembangannya sangat baik dan Caritas Indonesia dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga kemanusiaan milik Gereja.

Kehadiran Caritas di 37 keuskupan, dan nanti diharapkan juga hadir di Keuskupan Labuan Bajo, membuktikan perkembangan baik ini.

Ia mendorong Caritas Indonesia untuk selalu berkoordinasi dengan Gereja lokal (keuskupan) dalam setiap karyanya.

Menyangkut perubahan iklim, jelas Ailistar, Caritas berusaha mencari jalan keluar dalam pelbagai program terkait krisis ekologis dan  program Adaptasi Perubahan Iklim (Climate Change Adaptation).

Alistair pun melihat, tema perubahan iklim ini telah muncul dalam pelbagai program di Caritas Indonesia.

Belarasa

Kardinal Suharyo pada kesempatan yang sama menceritakan saat-saat awal kelahiran Caritas Indonesia.

Ia mengingat ketika terjadi gempa di Yogyakarta tahun 2006, saat itu ia masih menjadi Uskup Agung Semarang. Ketika bencana itu terjadi, ada banyak lembaga yang membantu, dan ada juga Caritas dari luar negeri.

Situasi bencana di Yogyakarta ketika itu dapat ditangani dengan baik, karena setiap elemen Gereja bekerja dan berkoordinasi dengan baik.

Kardinal Suharyo mengingat, setiap paroki saat itu bekerja dengan gigih untuk membantu masyarakat. Berkat bantuan dari pelbagai pihak, setelah tiga tahun, proses rekonstruksi dan pemulihan pasca bencana berjalan dengan sangat baik.

“Setiap paroki bergerak untuk menolong korban gempa,” ujarnya.

Kardinal Suharyo menyoroti kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga agama, khususnya sebagai saluran bantuan dalam situasi kebencanaan.

Ia melihat, masyarakat sangat menaruh kepercayaan pada lembaga agama, sehingga mempercayakan bantuannya melalui lembaga sosial keagamaan.

“Sebagai lembaga agama, Gereja Katolik dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga mempengaruhi kepercayaan banyak pihak, mereka menyalurkan bantuannya melalui Gereja,” kenang Kardinal Suharyo.

Kardinal Suharyo mengapresiasi karya dan kerja Caritas Indonesia selama ini, yang saat ini telah menjadi representasi dari karya Gereja Katolik di Indonesia. Ia mengingat tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: “Faith, Fraternity, Compassion”. Tema yang terakhir ini, ‘belarasa’ saat ini juga menjadi moto yang dipegang Caritas Indonesia.

“Saya berterima kasih atas kunjungan ini, dan semoga karya Caritas akan semakin berkembang di Indonesia,” ungkap Kardinal Suharyo.

Tidak ada Gereja tanpa Caritas

Pada hari sebelumnya, 24 Oktober 2024, Alistair menjelaskan bagaimana posisi Caritas dalam Gereja. Ia mengatakan, tidak ada Caritas tanpa Gereja, tidak ada Gereja tanpa Caritas.

“Kita adalah bagian dari Gereja, tidak ada Caritas tanpa Gereja, tidak ada Gereja tanpa Caritas,” ujarnya.

Dalam menjalankan setiap karyanya, Caritas perlu melihat teladan hidup Kristus. Caritas harus menjadi Kabar Baik bagi masyarakat. Seperti Yesus, membawa yang miskin sebagai inti pusat hidup kerasulannya.

Selanjutnya, Alistair juga menjelaskan terkait dengan Fraternal Cooperation dan Modus Operandinya dalam Gerakan Caritas Internationalis.

Fraternal Cooperation berarti kita bisa bekerja bersama, seperti saudara saling memahami. Begitu cara bekerja sama harus dilakukan,” ujar Alistair.

Untuk itu, penting mencermati ensiklik ketiga Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, yang menjadi dasar “kerja sama dalam persaudaraan” ini.

Alistair mengingatkan, pentingnya “hadir” di tengah Gereja lokal (keuskupan) dalam menjalankan karya.

“Caritas adalah lokal. Ini adalah DNA kita. Caritas dimulai dari Paroki dan Keuskupan. Ini adalah identitas Caritas di setiap negara,” ujarnya.

Bagian ini diamini oleh Romo Fredy Rantetaruk. Ia mengatakan, penting untuk berpijak dalam semangat fraternal cooperation ini. Dengan ini, kehadiran CIMOs dengan sendirinya akan menjadi bagian dari gerak karya Gereja dan juga Caritas.

Modus operandi dalam kerjasama persaudaraan  mendefinisikan dan memastikan Caritas bekerja melayani dengan menghargai struktur Gereja,” ujarnya.

Sebagai tanggapan atas hal ini, perwakilan dari CIMOs berharap dapat semakin mendalami tema-tema Ajaran Sosial Gereja (ASG).

Mereka berharap, Caritas Indonesia dapat menganimasi hal ini, sehingga kerja sama antara Caritas Indonesia dan CIMOs dapat berjalan dengan semangat dasar yang sama.

Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF yang juga hadir pada kesempatan ini berharap, adanya koordinasi yang baik dalam karya Caritas di Indonesia.

Karya ini diharapkan lebih menyapa Gereja-Gereja lokal. Ia mengingatkan, penting untuk mengenal Gereja lokal ketika akan memulai dan menjalankan karya.

Sementara itu, Mgr. Sudarso mengatakan, kehadiran Alistair di Indonesia menjadi momen penuh rahmat di mana Caritas Indonesia mendapat masukan dari CI dan juga CIMOs yang selama ini hadir di Indonesia dan bekerja bersama. (AES)

Related Post