TANAH TORAJA-Pembukaan Sidang Raya (SR) ke-18 PGI di Kete Kesu, salah satu destinasi wisata adat pusat di Tanah Toraja, berlangsung sangat meriah. Sejak pagi, lokasi wisata yang sudah terkenal ke seluruh dunia itu penuh oleh peserta SR PGI.
Berbagai tarian dan lagu silih berganti dipersembahkan oleh para penari dan penyanyi yang telah berlatih selama berbulan-bulan untuk memeriahkan SR tersebut
Menteri Agama RI Prof. Dr. Nassarudin Umar hadir untuk membuka SR yang dihadiri banyak tokoh dari pemerintahan dan agama-agama.
Dalam sambutannya, Nassarudin “Meminta izin” untuk tidak membacakan sambuta yang telah disiapkan. ”Saya ingin bicara dari hati ke hati karena di sini tidak ada orang lain,” kata Imam Besar Masdjid Istiqlal Jakarta ini. Para hadirin pun menyambut dengan riuh tepuk dan sorak-sorai.
Menanggapi sambutan Pdt. Gomar Gultom sebelumnya yang menyebut dirinya telah menjadikan Masdid Istiqlalu sebagai rumah untuk semua orang, Nassarudin mengatakan, “Istiqlal itu The Big House for Humanity, and every body can acsess Istiqlal. For me humanity is only one there is no colours.
Rumah ibadah itu mestinya menjadi rumah besar untuk kemanusian. Siapa pun yang membutuhkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan, datanglah bernaung di rumah ibadah. Ada energi spiritual pada setiap rumah ibadah,” katanya.
Selanjutnya, ia menyebut tantangan yang para agamawan hadapi bersama pada masa depan, sangat rumit sehingga bisa menjadi ancaman bagi nilai-nilai keagamaan.
Katanya, kalau kita bicara tentang lingkungan paju kehidupan kita sekarang di kehidupan kita, seolah-olah kita ditantang seribu tahun ke depan. Seolah-olah kita hidup 1000 tahun. Tapi kalau bicara tentang agama, seolah-olah kita hidup 1000 tahun yang lampau di zaman baheula.
Jelasnya lebih jauh, kalau kita bicara kehidupan sehari-hari, kita bicara dengan sesuatu yang sangat rasional bahkan liberal, tapi kalau kita bicara agama, kita bicara sesuatu yang sangat doktrinal, sangat kualitatif. Padahal, dalam kehidupan kita sangat kuantitatif. Serba statistik, padahal agama itu sulit untuk distatistikkan.
Kalau kita bicara agama, seperti kita bicara tentang sesuatu yang sangat permanen, terkesan kaku. Tapi berbicara tentang wilayah paju, tempat kerja kita sehari-hari, kita bicara tentang sesuatu yang sangat mobile dan sangat rasional.
”Jadi, seperti kita mengalami split personality, ada kepribadian ganda dalam diri kita sendiri. Dalam hidup keagamaan kita hidup dalam sebuah situasi yang sangat berbeda, tapi kalau kita ke pasar, ke kantor kita merasakan suatu kehidupan yang sangat lain,” tambahnya.
Bagi Nassarudin, semakin berjarak antara lingkungan paju kehidupan kita dengan diri kita sebagai umat beragama, maka di situ juga ada masalah agama, untuk tidak menyebut kegagalan agama.
”Bagi saya, semakin berjarak antara ajaran agama dengan diri kita sebagai orang yang beragama, maka ada masalah di situ. Mestinya, antara agama dan pemeluk agamanya itu jangan terlalu berjarak”.
Lanjutnya, jangan seperti orang main layangan. Nilai-nilai agama di atas sekali, tapi orang beragama bermain layangan jauh di bawah.
”Agama apa pun kita, mari kita evaluasi. What’s wrong? Kami juga mengimbau teman-teman. Masalah kita sekarang sama: sulit mendefinisikan kebenaran. Dulu enak jadi pastor, pendeta, ulama. Apa yang dikatakan tokoh agama atau Kitab Suci, kita ikut saja.”
Tapi sekarang katanya, ”kita hidup dalam suasana kebatinan yang berbeda. Kitab suci mengatakan itu baik, tokoh agama katakan itu baik, tradisi mengatakan itu baik, tapi tidak serta merta bisa diaplikasikan dalam masyarakat kita.” (EDL)