Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan
Pada musim kampanye menjelang pemilihan kepala daerah atau Pilkada seperti sekarang ini, para wartawan acap membuat kesalahan atau minimal kekeliruan.
Begini. Untuk kampanye, para calon ramai-ramai berlomba mengumpulkan sebanyak mungkin orang, apalagi untuk perhelatan yang disebut ”Kampanye akbar”.
Banyak atau sedikitnya orang yang berkumpul bisa menjadi ”alat ukur”; sang calon memiliki banyak pendukung atau tidak—walau sangat mungkin, orang-orang itu juga yang menghadiri kampanye semua calon pada waktu yang berbeda.
Tentu saja para calon berharap, orang-orang yang dikumpulkan itu akan menjadi pemilih mereka pada hari pemilihan akibat terpengaruh atau ”termakan” materi kampanye mereka.
Upaya para calon mengumpulkan orang, tidak tanggung-tanggung, berbiaya mahal dan menyedot banyak energi. Bagaimana tidak! Mereka harus mampu meyakinkan orang-orang itu untuk mau datang. Setelah orang-orang tersebut nyatakan kesediaan, harus dijemput lalu diantar pulang. Belum lagi, walau sudah dijemput antar dan dijamu makan minum, harus pula dikasih sangu. Jumlah mereka bisa mencapai belasan atau puluhan ribu orang.
Dengan begitu, kantong para calon benar-benar tergerus. Kalau kantong sudah menipis, tidak ada cara lain, selain meminta bantuan teman, pinjam di bank, jual rumah, mobil, atau meminta bantuan dari pengusaha dengan deal tertentu.
Kemudian bisa dipastikan, baik yang terpilih maupun yang tidak, akan sama-sama sibuk mengembalikan pinjaman. Bedanya, yang terpilih, memiliki peluang yang cukup untuk bisa mengembalikan pinjaman atau melakukan balas jasa. Sedangkan yang tidak terpilih, selain sulit membayar hutang, juga dilanda stress.
Nah! Kita kembali ke judul tulisan ini. Melihat fenomena tersebut, para wartawan pun menulis berita dengan aneka judul yang memancing perhatian pembaca. Ada yang menulis sesuai fakta, namun ada juga yang melebih-lebihkan sehingga terkesan lewah. Apa boleh buat! Akibat kelewahan itulah, sang wartawan terperosok dalam kesalahan atau minimal kekeliruan dalam berbahasa.
Ada yang menulis ”Kampanye Akbar Bersama Soneta Rhoma Irama, 30 Ribu Massa Tumpah di Wonomulyo Polman” atau ”Ribuan Massa Hadiri Kampanye Cagub Hendrik-Vanath di SBT” atau ”Kampanye di Depan Ribuan Massa, Airin-Ade Siap Wujudkan Banten Maju Bersama” atau ”Baru Tingkat Kecamatan, Sudah Puluhan Ribu Massa yang Hadir”, dan seterusnya.
Di sinilah ketidaktertiban berbahasa muncul. Saking biasanya, bisa jadi tidak terasa telah terselib kesalahan atau kekeliruan.
Harap dicatat, penulis tidak sedang menyelisik kejujuran sang wartawan dalam membuat berita tentang berapa banyak orang yang hadir, sebab bukan itu tujuan tulisan ini. Selain karena bukan itu tujuan tayangan ini, agak sulit kita mengharapkan sejumlah wartawan untuk bersikap obyektif sebab ada di antara mereka, yang baik diam-diam maupun terang-terangan menjadi tim sukses calon tertentu.
Lantas, apa dan bagaimana kekeliruan itu? Kekeliruan terletak pada penggunaan kata ”massa”. Kata massa selalu menunjuk kumpulan, komunitas, kelompok yang beranggotakan banyak orang. Jamak!
Ketika disebutkan ada 50 ribu massa menghadiri kampanye seorang calon, kalau masing-masing dari 50 ribu massa itu membawa 10 orang saja, sudah dipastikan ada 500 ribu orang yang menghadiri kampanye tersebut. Mungkinkah sebuah lapangan kecil di daerah mampu menampung 500 ribu orang? Mustahil. Gelora Bung Karno saja hanya bisa menampung 78 ribu penonton.
Penggunaan istilah massa tersebut jelas salah kaprah. Kekeliruan ini senada dengan kekeliruan ketika mengatakan ”Umat yang menghadiri Misa Tahbisan di Gereja X Menyentuh Angka 3 ribu”. Kata umat juga bersifat kelompok, komunitas.
Bayangkan! Kalau masing-masing dari 3 ribu umat itu berisi 25 orang saja, maka sudah ada 75 ribu orang yang hadir. Betapa susahnya panitia tahbisan mengurus dan melayani orang sebanyak itu.
Saya yakin, kekeliruan dan ”Pembenaran” terhadap kekeliruanlah yang menyebabkan wartawan tersebut membuat judul seperti di atas.
Beruntunglah yang datang ke stadion hanya 50 ribu orang, atau yang menghadiri Misa Tahbisan hanya 3 ribu orang. Bukan 50 ribu massa atau 3 ribu umat.
Kalau 50 ribu massa atau 3 ribu umat yang datang, entah kerepotan macam apa yang terjadi.*