Wed. Feb 5th, 2025

 Gejala “Aktivis Mahahadir” di Seputar Gereja

Bangunan Gereja Katedral Malang (ilustrasi)

Oleh Emanuel Dapa Loka, Tinggal di Bekasi Utara

Seorang ibu rumah tangga misalnya, harus punya waktu berjumpa dengan Tuhan di dapur, di depan tumpukan pakaian kotor, doa bersama keluarga, atau makan bersama keluarga.

Salah satu tanda bahwa gereja lokal dewasa dan mandiri adalah adanya keterlibatan umat setempat dalam berbagai kegiatan gereja; baik yang liturgis maupun non liturgis, termasuk dalam membiayai karya pastoral gereja yang bersangkutan.

Keterlibatan itu harus diterjemahkan sebagai salah satu bentuk konkret dari upaya menghidupi iman. Saya menyebut ”Salah satu”, karena masih banyak cara lain untuk mengekspresikan atau mengonkretkan iman kepada Tuhan.

Harus dipahami juga sejak awal bahwa apa pun kegiatan yang diikuti; kapan dan di tingkat mana pun semestinya disertai kesadaran atau pemaknaan yang benar. Keterlibatan bukan untuk membesarkan nama atau diri sendiri di hadapan sesama aktivis atau di depan romo atau uskup, tapi untuk kemuliaan Tuhan. Melulu untuk kebesaran nama Tuhan, bukan kebesaran nama dan diri sang aktivis.

Sebentuk Syukur

Keterlibatan di sekitar ”Altar” semestinya dimaknai sebagai sebentuk ucapan syukur atas kasih Tuhan dalam aneka rupa yang telah dialami. Jangan dibalik. Keterlibatan itu bukan untuk mendapatkan sesuatu, apa pun itu.

Kalau melakukan sesuatu dilandasi tujuan mendapatkan sesuatu (berkat, pengakuan, apalagi keuntungan materi), orang yang bersangkutan sedang berada dalam jalur ”Menyogok” Tuhan. Berkat itu sudah kita dapatkan.

Di sinilah pentingnya semangat ”Pemaknaan”. Tanpa semangat ini, aneka kesibukan melalui berbagai seksi atau kelompok kategorial dan lain-lain, hanya merupakan cara menghabiskan atau membunuh waktu (Killing Time). Akibatnya, keterlibatan itu tanpa makna apa-apa, kecuali untuk senang-senang.

Mungkin saja, orang semacam ini tidak tahu bagaimana menggunakan waktu yang dia miliki. Padahal, kalau mau jujur, dia perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk mengurusi rumah tangga dengan sukacita, bercengkerama dengan anggota keluarganya atau malah untuk nenangga.

Bagaimana tidak dikatakan begitu? Ada aktivis tertentu yang terlibat dalam hampir semua seksi, kategorial dan kegiatan-kegiatan temporal lainnya di gereja. Kalau sampai segitunya, kapan dia mengurus hal-hal pribadi dan keluarga?

Seorang ibu rumah tangga misalnya, harus punya waktu berjumpa dengan Tuhan di dapur, di depan tumpukan pakaian kotor, doa bersama keluarga, atau makan bersama keluarga.

Jangan sampai karena padatnya aktifitas di gereja, lalu kerja-kerja rumah tangga terabaikan, kebersamaan dalam rumah tangga terlalaikan, dan seterusnya. Hal yang sama berlaku untuk bapak dan anak-anak.

”Maha Hadir”

Orang jenis yang penulis urai di atas  mungkin  tergolong aktivis spesies ”Mahahadir”. Dia selalu merasa penting hadir di semua kegiatan, sebab dia mengira tanpa kehadirannya, ada yang kurang dalam kegiatan itu. Lalu, kalau tidak dilibatkan, ia tersinggung dan ngomel-ngomel.

Ada juga aktivis yang merasa berjasa atas adanya sebuah seksi atau merasa sebagai ”Pendiri” kelompok kategorial tertentu. Perasaan memilikinya lalu ”Berstadium” tinggi sehingga harus dilibatkan.

Sekali lagi, keterlibatan umat adalah tanda gereja yang hidup, dewasa dan mandiri. Tapi yang dimaksud, bukan dengan terlibat dalam hampir semua seksi, sehingga menjadi sosok yang ”Mahahadir”.

Keterlibatan umat melalui seksi atau kelompok kategorial merupakan berkat luar biasa untuk gereja. Namun, cukuplah terlibat atau menjadi aktivis dalam satu atau dua seksi saja agar ada pemaknaan yang berkualitas, dan orang lain memiliki kesempatan untuk terlibat juga.

Kalau alasannya, nanti tidak ada yang mau terlibat—lalu terjadi kekosongan, apakah yang bersangkutan akan hidup terus, dan karenanya akan hadir terus dalam seksi-seksi itu sepanjang masa? Yang bersangkutan akan meninggal suatu waktu, sementara gereja yang hidup itu ”Harus” selalu ada.  Tentu saja, apresiasi yang tinggi untuk mereka yang sudah memberi diri.

Berziarah dalam Pengharapan

Hal yang mesti dipikirkan supaya gereja tetap meriah oleh keterlibatan umat adalah bagaimana memunculkan tunas-tunas baru aktivis gereja, agar tidak lahir ungkapan ”Dia lagi-dia lagi” alias ”DL-DL”. Jika tidak, bisa saja mereka yang memiliki keinginan untuk terlibat akan membatinkan prinsip, ”Kan sudah ada orang-orang itu. Saya tak usalah ikut”.

Perlu juga dari DPH membatasi keterlibatan seseorang hanya pada beberapa seksi atau kelompok kategorial.

Memang, pada awal menerapkan ”Aturan” atau ”Pembatasan” keterlibatan, akan muncul interval waktu untuk mencari aktivis baru, tapi tidak masalah hal ini terjadi, daripada masalah menjadi tidak pernah terpecahkan karena tidak pernah disentuh.

Mengapa di tingkat pemilihan anggota Dewan Paroki bisa diterapkan pembatasan dua periode, mengapa di seksi atau kelompok kategorial tidak bisa? Mestinya bisa.

Penulis sangat menyadari bahwa tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan secara serta-merta. Diperlukan proses. Sambil berproses dan belajar sungguh-sungguh nan tulus, memohon pertolongan Tuhan Yesus, ”Wajib” dilakukan.

Itulah sejatinya gereja yang berziarah dalam pengharapan dan ”Selalu berada dalam ’Proses menjadi’” alias always in process of becoming, yakni berusaha berkarya sebagai manusia yang mengandung keterbatasan, dan serentak dengan itu mengharapkan penyertaan Tuhan Yesus. We are nothing without Jesus.*

Related Post