![](https://www.tempusdei.id/wp-content/uploads/2024/12/TEMPUS-1.jpg)
Jatuh cinta adalah peristiwa yang sangat insani sekaligus ilahi. Setiap orang mengalami jatuh cinta itu, dan pasti mengakui terasa indah, nikmat, apalagi ”cinta pertama”. Dunia serasa milik sendiri atau berdua, yang lain dianggap hanya ngekos.
Ketika nyemplung dalam kolam cinta ini, pasangan terasa tanpa cacat. Apalagi, yang bersangkutan selalu berusaha tampil ”Sempurna” dalam sikap, kata-kata, juga dandanan. Ya, cinta (pertama) itu terasa membawa keindahan, kegembiraan, kegairahan, kebahagian dan sifat-sifat positif melambung sejenis.
Tapi lihatlah bagaimana sikap orang yang sama ketika mengalami kegagalan dalam percintaan tersebut. Cinta segera ”Dikutuk-kutuk” sebagai pembawa malapetaka, duka derita, jiwa yang merana, hati yang kacau dan sebagainya. Lalu muncullah ungkapan-ungkapan lebay: ”Menderita karena cinta, merana karena cinta, hancur karena cinta” dan sebagainya.
Pertanyaannya, benarkah demikian? Cinta macam apa yang membawa malapetaka itu? Bukankah sejatinya atau karakter utama cinta adalah membawa sukacita, kebahagiaan, damai sejahtera, ketenangan dan sejenisnya?
Pemahaman yang salah terhadap sejatinya cinta membuat banyak orang yang tadinya jatuh cinta itu menjadi ”Terjatuh” dan akhirnya hancur. Tidak jarang ada yang menjadikan tali jemuran atau rel kereta api sebagai ”Solusi”. Ah! Jangan sampai!
Hari Berbalut Cinta
Pada sekitar Valentine Day, hari berbalut cinta ini kita patut merenungkan hakikat cinta. Cinta bukan sekadar ”Jatuh cinta” yang menyebabkan kita lupa segalanya, tapi juga mengandung makna ”Mencintai yang jatuh”.
Di sekitar kita banyak orang yang jatuh karena berbagai hal; gagal panen, terkena PHK, anak terjerat narkoba, karyawan rendahan terlilit pinjol dan judol, nganggur, rumahnya dilanda puting beliung, dilanda banjir, perkakas kerjanya raib dicuri orang dan sebagainya. Kita patut jatuhkan cinta pada mereka ini.
Caranya bisa macam-macam. Mulailah dulu dengan membangun simpati atas perjuangan dan penderitaan mereka. Jangan cepat-cepat menganyam pikiran atau anggapan: toh ada orang lain yang membantu. Tanyakan pada diri: ”Apa yang bisa saya lakukan”, sambil mencoba merasakan pergumulan orang itu. Selanjutnya tangan yang menggenggam sesuatu akan terulur secara otomatis, apa pun isi genggaman itu.
Cinta bukan untuk dibicarakan, bukan juga untuk diseminarkan dengan menghabiskan banyak uang, tapi cinta itu menuntut pengorbanan konkret sekonkret-konkretnya. Cinta tidak menunggu orang lain berbuat, tapi ia menuntut dari diri sendiri.
Contoh lain, cinta terhadap rakyat misalnya, bukan dengan memberikan makanan gratis satu kali kepada anak di sekolah, tapi menyebabkan orang tua yang sama tidak bisa memberikan makanan bergizi kepada anaknya itu di rumah karena terkena PHK (efisiensi).
Kata Paus Fransiskus, cinta adalah panggilan untuk melayani dan merawat sesama, terutama yang paling lemah dan terpinggirkan. Lalu ada yang bertanya, ”Bagaimana kalau saya termasuk yang lemah dan terpinggirkan?”. Kalau benar Anda tergolong ”Yang lemah dan terpinggirkan”, berarti Anda layak menjadi ”Sasaran” atau tujuan ”Menjatuhkan cinta”.
Tetapi ingat. ”Melemah-lemahkan atau meminggir-minggirkan diri” dengan tujuan agar dikasihani di tengah potensi diri yang mumpuni adalah pengingkaran terhadap anugerah Tuhan. Dan Tuhan tidak berkenan dengan ini. Barangsiapa yang mau makan, hendaklah ia bekerja. Kata-kata ini ditujukan kepada orang-orang yang dengan tangan dan kakinya serta segala yang ada padanya masih bisa menghasilkan buah.
Jadi Sahabat untuk yang Putus Asa
Mencintai yang jatuh juga bermakna menjadi sahabat bagi yang putus asa. Betapa seringnya akhir-akhir ini kita melihat di Medsos korban-korban bunuh diri melalui tali gantungan. Orang semacam ini dengan segala atmosfer yang melingkupi merasa sendirian, bisa jadi kesepian di tengah-tengah keramaian. Tersiksa dengan masalah yang ”Tanpa solusi”.
Orang semacam ini sesungguhnya memerlukan simpati sesamanya, butuh didengarkan. Batin mereka sebenarnya berteriak keras, tapi tak ada yang bisa mendengarkan karena hidup kita makin disergap individualisme, egoisme, cuekisme dan sikap-sikap ”Tak mau tahu” lainnya.
Mari meneropong ke dasar peduli kita, sendengkan telinga ke dasar nurani kita, pandang dan lihat wajah-wajah yang tatapannya nanar dan tak berpengharapan. Benih peduli, suara hati dan tangkapan mata yang berbelas kasih itu masih ada. Rawat kembali, siangi dan sirami. Orang-orang memerlukan cinta itu ada di sekitar kita. Ada di sisi kiri kanan, muka belakang sisi kehidupan kita.
Mari lakukan satu saja hal konkret bagi mereka. Jatuhkanlah cinta pada mereka, agar mereka jangan sampai terjatuh dan terhilang.*