Oleh Emanuel Dapa Loka
Menyedihkan, memprihatinkan sekaligus membuat geram. Kembali lagi ada orang membubarkan ibadah. Kali ini menimpa Gereja Kristen Kemah Daud di Kota Bandar Lampung pada 19 Februari 2023.
Seseorang yang kemudian diketahui sebagai Ketua RT setempat merangsek masuk ke dalam gedung tempat ibadah untuk menghentikan dan membubarkan ibadah.
Ungkapan paling tepat yang bisa dilekatkan kepada orang sejenis ini adalah barbar dan kampungan. Bagaimana mungkin, ada orang sedang menunaikan haknya yang paling asasi, lalu orang lain membubarkan seenaknya.
Pertanyaan yang segera mengemukan, “Bagaimana kalau tindakan yang sama dilakukan padanya?” Misalnya, dia sedang khusyuk beribadah lalu orang lain serta merta menghentikan lalu mengusirnya.
Tentu saja orang Kristen yang ibadahnya dibubarkan di berbagai tempat tidak akan melakukan tindakan bodoh dan barbar yang sama.
Dengarkan saja teriakan histeris ibu-ibu dalam video saat pembubaran ibadah di Gereja Kemah Daud di Bandar Lampung itu. Bukannya marah-marah, mengumpat atau mengutuk. Ibu itu malah mendoakan: “Maaafkan dia Tuhan…! Maafkan dia Tuhan…!” Wow!
Di sisi lain, jangankan sampai melakukan tindakan sebarbar perbuatan tersebut, sekadar bisik-bisik saja tentang sesuatu yang tidak disukai, itu sudah bisa bersalin rupa menjadi masalah besar dan harus “dibayar mahal”.
Masih ingat protes Meliana pada tahun 2016 di Batam yang “berbuah” pembakaran rumahnya dan pemenjaraan?
Pertanyaan lain, kok masih ada orang yang suka sekali berbuat onar seperti itu? Apakah orang semacam ini adalah orang yang tidak pernah mengalami hidup bersama di dunia—apalagi di Indonesia dalam keragaman ini?
Menjadi orang Indonesia berarti menjadi orang yang menerima perbedaan, termasuk menerima atau malah bersolider dengan saudara-saudarinya yang kesulitan dalam menjalankan ibadahnya.
Tidak atau belum memiliki rumah ibadah “resmi” bukan karena mereka tidak mau. Mereka pasti ingin memiliki rumah ibadah yang nyaman, representatif dan aman.
Ketahuilah! Sama sekali bukan hal yang mudah mendapatkan izin! Bukti konkret terbentang di mana-mana. Lalu di tengah kesulitan itu, mereka tetap ingin beribadah dengan fasilitas seadanya.
Namun, dalam keadaan tidak beruntung saja, masih ada orang menjahati. Sesungguhnya, di mana hati nurani orang semacam ini yang juga ikut mengaku—bahkan mungkin berpekik paling kencang—bersaudara dengan sesama anak bangsa?
Sekali lagi, andai oknum itu berada dalam keadaan tidak beruntung seperti yang dialami oleh jemaat-jemaat Kristen di mana-mana, lalu dikasari dengan tindakan pembubaran yang semena-mena, apakah juga menerima?
Dia pasti tidak menerima. Masalah pun segera menjadi persoalan sangat besar yang menyulut amarah di mana-mana.
Negara Langgar Konstitusi
Sesungguhnya, menyebut alasan gedung yang dipakai “belum ada izin” atau “bukan tempat ibadah” hanya hanya alasan untuk menyembunyikan kebencian dan nafsu rendah yang selalu dipelihara untuk menghambat.
Selain itu, aksi tersebut dimaksudkan agar dengan tindakan itu, oknum tersebut terlihat sebagai pahlawan di antara orang-orang sejenisnya. Belum lagi jika kepentingan politik identitas bersenyawa di sini.
Di negara ini, tidak boleh ada pihak manapun yang boleh membubarkan atau menghambat siapa pun untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan.
Konstitusi menjamin hal ini. Dalam hidup berbangsa, kita mau taat pada aturan mana lagi jika bukan pada konstitusi?
Sebenarnya, pengertian “negara menjamin” meliputi memberikan keamanan dan kenyamanan, termasuk menyediakan fasilitas.
Dengan demikian, ketika negara belum bisa menyediakan itu semua, negara sesungguhnya sedang melanggar konstitusi.
Namun, karena masyarakat mengerti bahwa negara belum mampu memenuhi semua kewajiban tersebut, mereka mengusahakannya sendiri dengan jatuh bangun. Dan mestinya mereka ini mendapat apresiasi dari Pemerintah karena “tidak merepotkan”.
“Sialnya”, yang terjadi, justru dihambat. Di mana-mana para pejabat pemerintahan justru menjadi biang kerok, termasuk Ketua RT di Lampung tersebut.
Mereka lupa bahwa mereka adalah pimpinan dan pengayom seluruh masyarakat di wilayah mereka.
Tidak bisa tidak, Pemerintah harus kian menunjukkan taji dan perannya secara lebih konkret. Imbauan semakin tidak ampuh untuk mengajak saling menghargai. Harus ada penegakkan hukum bagi oknum-oknum tak bernurani itu.
Pernyataan Presiden Jokowi bahwa Konstitusi tidak boleh kalah oleh aturan-aturan buatan “penguasa lokal” harus semakin kelihatan wujudnya.*