Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, dari Pulau Sumba, NTT
Di sebuah pura kuno, sekelompok burung merpati hidup dengan tenang di atap puncak pura. Ketika pura direnovasi mereka harus pergi dari situ. Mereka terbang ke gereja dan diterima dengan senang hati oleh para merpati yang sudah tinggal di atap gereja. Menjelang Paskah gereja direnovasi lagi.
Debu Tanah Rombongan merpati ini ramai-ramai pindah dan menemukan tempat aman di atap masjid. Merpati di situ menerima mereka dengan senang hati. Tiba saatnya bulan Ramadhan, mesjid juga direnovasi. Kembali lagi rombongan merpati yang makin banyak jumlahnya pindah ke pura sebelumnya. Mereka akhirnya berkumpul jadi satu di situ.
Suatu hari terjadi pertengkaran dan perselisihan di halaman pasar Seekor anak merpati lalu bertanya kepada ibunya, “Siapa mereka itu?”. Jawab ibunya, “Mereka umat manusia”. “Kenapa mereka berkelahi satu sama lain?”
Ibu merpati menjawab, “Mereka yang pergi ke pura menyebut diri orang Hindu. Mereka yang pergi ke Gereja menyebut diri Kristen dan mereka yang pergi ke masjid menyebut diri Muslim.
Bayi merpati makin heran. “Kok, bisa begitu, ya Ma. Kita waktu berada di pura adalah Merpati. Ketika pindah ke gereja juga tetap Merpati. Bahkan ketika ke mesjid pun kita adalah Merpati yang sama. Tidakkah mereka cukup menyebut diri manusia?”
Ibu merpati menjawab, “Nak, engkau, aku dan teman-teman Merpati lainnya sudah “menemukan Allah”. Itulah sebabnya kita hidup di tempat yang tinggi dan dan hidup damai sejahtera. Orang-orang ini belum mengalami Allah. Itulah sebabnya mereka hidup di bawah kita, berkelahi dan saling membunuh satu sama lain”.
Rabu Abu
Masa Pra Paskah dimulai dengan Rabu Abu. Penerimaan abu adalah simbol paling keras dan paling universal tentang hakikat manusia. “Kita berasal dari debu tanah dan akan kembali jadi debu tanah”.
Siapa pun dia. Tak peduli agama, suku, ras, status, pendidikan, kekayaan, dan segala bentuk kebanggaan duniawi kita. Pada akhirnya kita sama. Kita sama asalnya dan sama takdirnya.
Kalau demikian, apa fungsi agama? Agama berfungsi mengingatkan orang agar jangan jumawa, jangan sombong, jangan angkuh dan jangan menghina yang lainnya. Agama mengingatkan kita siapa Pencipta kita.
“Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya: demikianlah manusia itu menjadi makhluk hidup” (Kej 2:7).
Tidak Sekadar Berubah
Pertobatan bukan sekadar berubah tetapi kembali kepada hakikat asli kita sebagai manusia. Pertobatan bukan sekadar sadar, menyesali dan mengakui dosa-dosa kita, tetapi membuat sebuah lompatan ke belakang untuk menyadari identitas kita yang nukan siapa-siapa di hadapan Allah.
Kalau hanya bicara soal perubahan, kita tidak pernah pasti sampai di mana harus berubah. Kalau hanya bicara soal dosa, maka banyak hal yang relatif. Apa yang dianggap dosa sekarang, bisa jadi dulu bukan dosa.
Tapi kalau kita bicara soal kembali ke hakikat, maka Firdaus baru bagi umat manusia menjadi hal yang mungkin. Bahkan bukan hanya bagi umat manusia melainkan seluruh ciptaan.
Penerimaan simbol abu di dahi atau kepala pada hari ini hendaknya mengangkat kita ke tempat yang tinggi agar mengenal Allah yang sesungguhnya. Dengan mengenal Allah, kita mengenal siapa diri kita. Dengan mengenal diri kita maka kita bisa “mengasihi sesama seperti diri kita sendiri”.
Di mana pun berada, burung merpati tetap sebagai burung merpati. Sepatutnya manusia lebih daripada sekadar burung merpati.
Atau jangan-jangan memang Allah ingin kita belajar dari burung merpati sehingga Roh Kudus yang turun ke atas Yesus pada saat pembaptisan-Nya nampak dalam rupa burung merpati?
Selamat memasuki Masa Pra Paskah
Salam dari Biara Novena Maria Bunda Selalu Menolong (MBSM), Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula Sumba, Indonesia Selatan