Oleh Emanuel Dapa Loka
Sebuah pernikahan Katolik harus didasari cinta. Jika dalam sebuah penyelidikan kanonik, salah satu mengaku tidak mencintai atau kedua calon mempelai mengaku tidak saling mencintai, maka mereka tidak akan lulus dalam penyelidikan tersebut. Dengan demikian, mereka tidak akan diberkati.
Dasar utama perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1055 adalah A. Perjanjian pria dan wanita untuk membentuk kebersamaan hidup dengan saling menyerahkan diri dan saling menerima diri. B. Cinta kasih, C. Cinta kasih, D. Cinta kasih, E. Cinta kasih.
Pada nomor KHK tersebut, “Cinta Kasih” ditulis dalam empat poin atau huruf secara berturut-turut.
Tentu saja Gereja Katolik memiliki alasan yang sangat kuat menetapkan syarat tersebut di antara syarat-syarat penting lainnya. Cinta “yang benar” akan mampu menyatukan pasangan suami istri.
Kekuatan cinta tersebut melebur dua pribadi yang sangat berbeda karena berasal dari budaya, keluarga, pengalaman, daya tahan, kecerdasan yang berbeda. Masih banyak lagi perbedaan mereka.
“Cinta yang benar” akan membuat mereka saling menundukkan diri untuk menerima pasangan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Dan dengan cinta yang sama, mereka bisa saling mengampuni jika pasangannya jatuh dalam kesalahan atau sesuatu yang mengecewakan. Di dalam cinta ada sikap dan kesediaan untuk saling mengampuni dan membentuk.
Tentu saja cinta tidak cukup, apalagi cinta yang hanya indah diucapkan. Namun, sangat mungkin cinta yang benar itu menggerakkan pasangan suami istri untuk melakukan hal-hal yang masing-masing bisa lakukan untuk menjaga keutuhan keluarga bahkan meningkatkan kualitas hidup keluarga mereka dari waktu ke waktu.
Karena cinta yang benar, seorang ayah bersama istrinya mendidik dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Karena cinta, sang suami memperlakukan istrinya dengan penuh rasa hormat. Karena cinta pula ia bekerja sungguh-sungguh untuk menafkahi keluarganya.
Karena cinta yang benar pula, seorang istri memperlakukan suaminya dengan penuh hormat. Dalam semangat yang sama, mereka saling menjaga.
Sirami Cinta Secara Kreatif
Dalam perjalanan hidup berkeluarga, adalah mustahil mereka tidak pernah saling selisih atau berbeda pendapat atau sikap terhadap sesuatu.
Cinta pulalah yang bisa membuat mereka melihat dengan jernih sesuatu yang mereka pandang secara berbeda. Mereka bisa saling menghargai pendapat dan sikap, lalu membuat keputusan yang “mendamaikan” perbedaan yang mereka miliki.
Tentu saja tidak mudah memiliki dan menghadirkan “cinta yang benar” itu. Tidak mungkin juga bahwa kalau sudah mengatakan saling mencintai, lalu semua persoalan akan beres dan lancar-lancar saja sampai pada kesudahan.
Banyak hal bisa terjadi. Banyak pula faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Bisakah cinta mengatasi itu semua?
Tentu saja, tidak serta-merta cinta menunjukkan dirinya sebagai “panglima”, lalu semuanya selesai. Tapi cinta yang benar dan dalam Tuhan, akan menjadi dasar yang kokoh untuk menghadapi persoalan yang ada.
Cinta yang tumbuh di antara kedua anak manusia yang membuat mereka mengambil keputusan untuk saling mengikat dalam Sakramen Perkawinan harus selalu disirami dan disiangi oleh keduanya secara kreatif dan tulus.
Jika ada cinta yang tulus, maka aneka persoalan yang muncul justru akan menjadi batu uji untuk semakin memperkuat cinta yang ada.
Mereka menjadi tidak mudah putus asa jika menghadapi persoalan, apalagi sampai mengucapkan kata cerai lalu benar-benar bercerai.
Cinta yang benar dan murni akan membuat setiap orang tangguh dan kreatif menjalani kehidupan dengan segala dinamika yang ada.
Kalau dengan memiliki cinta saja, orang masih jatuh bangun dalam mengarungi hidup berumah tangga, bagaimana jadinya jika tanpa cinta?
Cinta di sini berdimensi luas. Cinta di sini bukan untuk dibicarakan apalagi untuk diseminarkan, tapi untuk dipaktikkan secara wajar dan alamiah.
Sudahkah kita menjadi pelaku cinta semacam ini? Cinta yang benar dan dijalani dengan benar, pasti abadi.*