Kata sebuah adagium, “Nama menunjukkan orangnya” atau “Nama adalah tanda” atau nomen est omen.
Nama Lie Agustinus Darmawan tidak salah dipatrikan pada dokter kelahiran Padang, Sumatera Barat, 16 April 1946. Nama ini kemudian terbukti kebenaran artinya pada diri lulusan strata 3 kedokteran dari Free University Berlin, Jerman ini.
Terdorong oleh sebuah rekaman pengalaman menggetarkan dari masa kecilnya, dr Lie kemudian menjelma menjadi seorang dokter yang dermawan. Melalui profesinya sebagai dokter dia menolong banyak pasien tak mampu yang datang berobat padanya.
Jangan Memeras
Dia tidak “tega” mematok tarif tinggi. Dia bahkan terkenal dengan ungkapan kalau kamu jadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar tapi mereka akan menangis karena ketika pulang, mereka tak punya uang untuk membeli beras.
Lie selalu berusaha membantu mereka yang datang padanya. Dan setiap kali dia menolong mereka yang tak mampu, pengalaman masa kecil sebagai anak yang lahir dan tumbuh dalam keluarga yang mengalami kemiskinan ekstrem muncul di pelupuk matanya.
Bayangkan, oleh karena kemiskinan yang melilit dengan kejam, Lie kecil hanya dikasih tajin, itu pun pemberian tetangga.
“Saya kemudian tahu alasan Ibu saya ambil tajin dari tetangga, karena kami tak punya beras untuk dimasak,” kata ayah tiga anak ini kepada tempusdei.id dan LAPIERO TV di ruang kerjanya di Rumah Sakit Husada, Mangga Besar, Jakarta.
Tak terlupakan
Peristiwa tak terlupakan lain adalah kisah pilu seorang adik laki-lakinya yang meregang nyawa di pelukan ibunya akibat sakit diare. “Kita tahu sekarang ini sakit yang bisa diobati, tapi karena kami keluarga tak punya, ya tidak bisa berobat,” kata dokter berusia 77 tahun ini.
Ketika anaknya sudah dalam kondisi parah, sang ibu dengan pasrah sambil berurai air mata hanya bisa berkata, “Sebentar lagi kamu pasti sembuh, nak!” Dan tidak lama berselang, sang anak mengembuskan napas terakhir dalam pelukannya.
Selama bertahun-tahun kemudian, setiap kali mengingat anaknya itu, sang ibu selalu menangis.
Anak Miskin Bercita-cita jadi Dokter
Melihat realitas ini, Lie kecil memancangkan niatnya untuk menjadi dokter agar bisa menghibur dan menyeka air mata kesedihan ibunya.
Lie yang memang rajin ikut Misa pagi setiap hari selalu berdoa, meminta kepada Tuhan agar dia nantinya kuliah kedokteran di Jerman. “Hanya itu bunyi doa saya tiap pagi. Ini doa yang rasanya tidak masuk akal di tengah situasi ekonomi keluarga yang mustahil bisa membiayai. Tapi saya merasa waktu itu saya sedang meminta kepada Bapa yang kaya raya, yakni Bapa di Surga,” kata Lie.
Tak bisa dibayangkan bahwa Lie kemudian menjadi dokter ahli bedah, lulusan Jerman pula.
Bayangkan! Oleh karena hanya mengonsumsi air tajin seadanya setiap hari, dia tergolong mengidap gizi buruk. Namun ajaibnya, nilai-nilainya di sekolah kemudian termasuk yang terbaik. “Saya benar-benar mengalami kebaikan Tuhan dan mukjizat-Nya,” ungkapnmya dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca.
Selanjutnya Lie mengalami kemudahan demi kemudahan sampai akhirnya bisa kuliah S2 dan S3 kedokteran di Jerman.
Bertekad Seka Air Mata
Mengalami kebaikan dan berkat Tuhan, dr. Lie bertekad menyeka air mata banyak orang, terutama air mata ibu-ibu miskin. “Saya sudah tidak bisa menghapus air mata ibu saya secara fisik, maka saya ingin menghapus air mata ibu-ibu yang tidak mampu,” katanya sambil menyeka air mata di pipinya.
Keinginan untuk menghapus air mata orang miksin itu semakin konkret ia lakukan melalui Rumah Sakit Apung atau Floating Hospital yang melayani masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Saat ini, puji Tuhan, dia sudah bisa melayani dengan empat Rumah Sakit Apung di atas kapal. Pelayanan umat Paroki Santo Andreas, Kedoya, Jakarta Barat ini, cuma-cuma alias gratis. (EDL)