Fri. Nov 22nd, 2024
Tuan Kopong, MSF

Oleh Tuan Kopong, MSF, Dari Manila

bagian pertama

Suara-suara kemanusiaan terus bergaung atas tragedi kemanusiaan yang bernama human trafficking (HT) atau perdangan manusia yang tak pernah berhenti di bumi Nusa Cendana.

Nyawa para pekerja dari tanah Flobamora yang diharapkan kelak membawa segepok rezeki demi mengubah masa depan ekonomi keluarga harus terkubur dalam peti jenasah lantaran peristiwa keji menimpa mereka dengan berbagai alasan.

Tuntutan keadilan dan perlindungan bagi para korban sepertinya hanya berhenti pada orasi kemanusiaan dari mereka yang memiliki nurani kemanusiaan tanpa pernah ada tindak lanjut dan ketegasan dari aparat penegak hukum. Telinga para pemangku kebijakan dan yang sejatinya menjadi garda terdepan dalam memberantas perdagangan manusia seakan tuli.

Di sisi lain harus diakui juga akan masih lemahnya peran Gereja sebagai Gereja Sinodal yang berjalan bersama dalam tujuan yang sama terutama salah satunya adalah berjalan bersama mereka yang menjadi korban human trafficking dan pejuang kemanusiaan.

Para pejuang kemanusiaan terhadap korban HT yang antara lain adalah para imam dan biarawan-biarawati “seakan” berjuang sendiri dalam jalan sunyi tanpa ada suara kenabian yang tegas dan kritis dari para petinggi Gereja Lokal.

Komisi Migran Perantau di beberapa keuskupan di NTT dalam kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti pihak pemerintah setempat, aparat penegak hukum termasuk kelompok para imam religius serta biarawan dan biarawati untuk meminimalisir dan menghambat terjadinya HT susulan juga harus diakui belum bekerja secara maksimal.

Bahkan sebagian besar masyarakat NTT sepertinya cuek dan merasa biasa-biasa saja dengan persoalan HT. Diam karena takut atau mungkin menjadi bagian dari rantai persoalan HT dan alasan lain, hanya masyarakat NTT yang tahu. Persoalan tanah, korupsi dan tenaga honorer serta kontrak sepertinya lebih seksi ditarikan ketimbang tragedi kemanusiaan HT.

Perjuangan melawan keserakahan para calo perdagangan manusia dalam pandangan saya (maaf kalau salah) masih terkesan dilakukan di bagian hilir. Artinya, ketika ada yang meninggal karena disiksa dan alasan lainnya baru di situ ada suara perlawanan. Atau ketika mereka sudah berada di wilayah-wilayah transit di Indonesia menuju Malaysia atau negara lainnya baru ada gerakan perlawanan.

Sekali lagi pandangan pribadi ini bukan meremehkan perjuangan teman-teman pejuang kemanusiaan korban HT tapi lebih sebagai ajakan untuk melihat persoalan HT pada bagian hulunya secara saksama.

Lawan “Human Trafficking”

Data Base

Para pencegah human trafficking perlu melihat persoalan di bagian hulu secara komprehensif. Maka dari itu dibutuhkan data base dan pemetaan persoalan. Data base yang saya maksudkan di sini bukan semata jumlah korban HT melainkan menyangkut:

Pertama, Wilayah. Perlu adanya pemetaan wilayah-wilayah di NTT yang selalu rentan terjadinya HT. Dalam pemetaan wilayah ini juga perlu pemetaan wilayah korban yang meninggal dunia.

Kedua. Jalur masuk. Yang saya maksudkan dengan jalan masuk di sini adalah, jalan yang biasa dilalui oleh para calo yang melakukan HT. Jalur masuk di sini tentunya jalan darat yang dijangkau dengan mobil, motor atau jalan kaki untuk bisa masuk ke kampung sasaran. Jika kita sudah menemukan jalan masuk mereka, maka dengan mudah untuk menutup akses para calo.

Ketiga, Siapa yang dijumpai dan dilobi: Setiba di kampung tersebut, siapa yang selalu menampung para calo atau siapa yang dijumpai? Orang tua korban? Korban sendiri? Kepala desa, ketua RT/RW setempat?

Keempat, Modus. Yang saya maksudkan dengan modus di sini adalah bentuk bujuk rayu dan juga janji-janji manis yang selalu diungkapkan oleh para calo kepada target agar target bisa terbuai oleh iming-iming manis para calo.

Kelima, Oknum pemberi surat jalan bagi yang di bawa umur. Perlu menelusuri pemberian surat jalan atau surat keterangan dalam hal ini terkait umur. Apakah dari desa? Lalu bagi yang Katolik perlu juga mengecek surat baptis korban di paroki asal.

Keenam,  Jalan menuju tujuan. Perlu menelusuri jalan yang dilalui saat hendak meninggalkan kampung atau desa termasuk kendaraan yang digunakan.

Di samping beberapa data base dan pemetaan yang dilakukan, diperlukan jaringan antar kampung-kampung terdekat dalam satu wilayah kecamatan maupun kabupaten atau kota.

Yang sedapat mungkin dilakukan adalah: Pertama, Membangun konsolidasi pertama-tama dengan masyarakat setempat dalam hal ini para kepala desa, ketua RT/RW, paroki atau stasi dan paling memungkinkan adalah para kepala adat atau kepala suku.

Kedua, Diskusi dan bedah kasus melalui film atau foto dan berita. Setelah melakukan konsolidasi dengan pihak-pihak di atas, dibuat jadwal rutin untuk diskusi, bedah kasus dan pendampingan terkait peraturan perundang-undangan dan juga strategi perlawanan terhadap praktik HT.

Dari pengalaman bersama warga di Samarinda dalam wadah Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) yang menggugat beberapa pihak terkait pertambangan di wilayah kota Samarinda, gugatan dimenangkan oleh GSM. (https://news.detik.com/berita/d-2639339/pn-samarinda-menangkan-gugatan-warga-ke-negara-soal-lingkungan-bersih, https://kaltim.tribunnews.com/2014/06/10/sidang-terakhir-gugatan-gsm-digelar-besok).

Ketiga, Pendampingan berkelanjutan. Pendampingan berkelanjutan adalah pendampingan yang terfokus dan memiliki jadwal rutin entah sebulan sekali atau sebulan dua kali.

Keempat, Posko pengaduan. Yang paling penting juga adalah membangun posko-posko pengaduan di wilayah-wilayah dampingan dan selanjutnya persoalan tersebut dilaporkan kepada posko utama secara rahasia dalam arti hanya para pegiat kemanusiaan atas masalah HT yang mengetahui persoalan dan strategi pencegahannya.

Kelima, Menghidupkan kearifan lokal menuju tatanan kampung yang ramah dan mengkrasankan, termasuk sanksi adat bagi orang atau masyarakat setempat yang menjadi calo perdagangan manusia di kampung halamannya.

Keenam, Pelatihan tim kampung atau desa: Komunitas jaringan perlu dilatih dalam hal komunikasi, memetakan persoalan, termasuk mereka perlu dibekali dasar-dasar hukum serta jalur pelaporan kasus. Mereka perlu didampingi untuk berani bersuara dan tidak hanya menggantungkan suara mereka pada para aktivis pejuang kemanusiaan.

Ketujuh, Aksi Kamisan atau aksi hari lainnya dalam satu minggu untuk terus menyuarakan suara perlawanan terhadap praktik HT entah melalui orasi, teater, pembacaan puisi dan lainya. Aksi ini bisa menggandeng para mahasiswa, anak-anak sekolah dan masyarakat dampingan. Misalnya nama dari aksi itu adalah Aksi Kamisan Nusa Cendana Melawan Praktik Human Trafficking. (Bdk. https://etamnews.com/2022/08/08/refleksi-5-tahun-aksi-kamisan-kaltim-dengan-diskusi-ringan-bagian-2/). – bersambung

Related Post