Fri. Nov 22nd, 2024

Ketika Aneka Kelakuan Uskup dan Elite Gereja di NTT Bikin Gundah Didinong Say

GF Didinong Say

Tampaknya pengamat sosial asal Maumere GF Didinong Say tidak bisa menyembunyikan kegelisahan atau kegundahan tatkala melihat dan memikirkan situasi yang tengah melanda atau berkelindan di antara kehidupan Gereja Katolik di NTT.

Dia telah lama mengalamati situasi yang tidak sehat yang justru membelenggu, baik Gereja sebagai lembaga maupun sebagai umat Allah. Tampaknya, “kelakuan” Uskup Kupang yang dikabarkan menerima donasi dari Jhonny G. Plate, benar-benar memicu otak dan hatinya untuk berbicara ke publik.

Dalam tulisannya yang beredar luas dan sampai ke tempusdei.id, Didi, demikian biasa disapa dengan jelas mengatakan, “Aneh bahwa uskup di Kupang yang dikhabarkan menerima donasi dari JGP, kemudian uskup yang sama itu justru pernah mengeluarkan himbauan agar para imam di keuskupannya tidak boleh menerima donasi dari caleg 2024….”

Dia lalu dengan tajam menohok lagi. “Menggelikan bahwa, gereja katanya tidak boleh berpolitik praktis, tetapi uskup di Larantuka manggung bersama cagub VBL nonton tarian dangdut erotis saat pilgub NTT lalu…”

Dia pun menyambung, “Memilukan bahwa uskup di Maumere terkesan tidak berpihak kepada rakyat Tana Ai pemilik ulayat eks HGU Patihau. Sebagaimana diberitakan di berbagai media, melalui badan usaha milik keuskupan, hak rakyat atas tanah terampas. Keuskupan dengan dukungan pemda setempat seperti berebut lahan dengan rakyat yang juga adalah umat keuskupan.”

Lanjut Didi lagi, “Sedih benar jaman ini. Seorang uskup di Manggarai pernah didemo para imamnya sendiri untuk mundur karena tidak transparan dalam soal pengelolaan uang. Rumor yang berkembang, uskup yang sama itu juga melakukan praktek concubinatio sehingga memiliki keturunan.”

Sangat mengecewakan bagi Didi bahwa Flores sekarang menjadi eksportir misionaris terbanyak di dunia, umat dan generasi muda khususnya di Flores justru sedang mengalami culture shock dalam berbagai bidang, termasuk krisis iman!

Gereja Flores Limbung
Didi lalu menyebut sejumlah hal miris dan menyayat hati yang terjadi di Flores. Dia menunjuk berbagai fakta miring terkait kemiskinan, ketidakadilan, stunting, korupsi, human trafficking, dan lain lain kebobrokan. “Di manakah kini fungsi kegembalaan gereja,” gugat Didi.

Didi kemudian menyebut Gereja Katolik di Flores sebagai Gereja yang limbung. Baginya, Fenomena orientasi gereja di Flores adalah isu yang nampak belum tuntas diselesaikan pasca penetapan sebagai wilayah gereja mandiri non misi.

Menurutnya, ada banyak rancu yang timbul dalam praktik kehidupan menggereja, bahkan di kalangan hirarki itu sendiri sebagaimana digambarkan di atas.
Didi memandang ada semacam kegagalan dalam pemahaman teologis dogmatis terhadap konsep ecclesia dari konsili Vatican II.

Setelah sekian lama terstruktur secara hierarkis pyramidal lanjut Didi, kini gereja dipahami sebagai sebuah lingkaran umat peziarah tanda keselamatan, di mana hierarki menjadi salah satu bagian bersama umat. Semua diutus. Bahkan setiap persona kristen adalah gereja.

Didi mengakui bahwa sebuah dogma membutuhkan waktu dan proses panjang untuk dapat dihayati dan diimplementasi dalam kehidupan kaum beriman. Tetapi dengan contoh-contoh seperti di awal tulisan ini jelas Didi, memberi gambaran-gambaran praktis bahwa gereja di Flores terkesan limbung.

Caisaro Pappisme
Didi lalu menengok jauh ke bentangan sejarah gereja. Jauh sebelum patgulipat hirarki gereja saat ini dengan hal hal duniawi seperti kekuasaan, politik, harta, dan lain lain, gereja di abad pertengahan diketahui akrab dengan caisaro pappisme.

Seorang Paus saat itu kata Didi, bisa memerintahkan para raja di Eropa untuk berperang merebut Yerusalem. “Jadi hal perselingkuhan sekukaristik itu bukan barang baru dalam gereja, hanya duplikasi atau repetisi saja,” ungkap Didi.

Di masa lalu, gereja pernah begitu berkuasa sehingga gereja bisa membunuh kaum bidaah, mengutuk dan menghukum penjara ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan lain lain. Dosa bisa ditebus dengan sejumlah uang dan hadiah, sakramen dan penitensi menjadi komoditi. Gereja menjalankan semacam “religionomics”.

Lanjut Didi, praktik kongkalikong institusional gereja dengan backing kekuasaan, persekongkolan antara berkat dan janji surga dengan senjata, hukum dan kekuasaan politik pernah terjadi sangat masif sistematis sekaligus destruktif di Amerika Latin.

“Sangat menghisap dan menindas rakyat yang adalah umat. Hal inilah yang membangkitkan berbagai revolusi perlawanan bersenjata dan teologi pembebasan,” katanya ironis.

Maka tidak mengherankan gereja kehilangan pesonanya di mata umatnya sendiri, lalu banyak yang dikonversi menjadi masdjid dan lain-lain.

Otokritik Gereja
Adalah Pater John Prior SVD, salah satu dari sedikit imam yang menurut Didi pernah melakukan otokritik terhadap kondisi gereja di Flores dewasa ini. Misionaris asal Inggris itu jelas Didi, sejak kedatangannya sekitar tahun 1970 gemar mempelajari berbagai kearifan lokal di Maumere. Ia cukup paham tentang hukum adat dan ulayat di wilayah Sikka.

Kata Didi, ketika Pater John mengamati bahwa justru hirarki dan umat nampak semakin berjarak, iapun melontarkan kritik yang sangat tajam.

“Menurut Prior, Gereja Katolik itu sudah ratusan tahun berkarya di Flores. Tetapi umatnya, yaitu orang Flores kok sepertinya terus terkooptasi dan mau saja hanya menjadi domba domba penggembalaan?” kata Didi lagi.

Menurut Didi, kritik Pater John Prior jelas menyasar kepada sikap dan perilaku gereja, yaitu umat dan hierarki yang seharusnya dapat bersatu, kudus, dan apostolik itu.

Dengan demikian, dalam konteks pemahaman dogmatik lanjut Didi, isu utama yang perlu didiskusi lebih serius antara umat dan hirarki dewasa ini adalah “Bagaimana menciptakan ruang ruang komunikasi dialogis dan sejajar dalam berbagai bidang kehidupan di antara keduanya secara lebih intensif tanpa relasi kuasa”.

Menurut Didi, Gereja di Flores bagaimanapun masih merupakan stakeholder utama di samping pemerintah. Namun, gereja ternyata masih mengalami masalah serius dalam hal kemandirian. (tD/01)

Related Post