Bisa diduga seperti apa suasana pikir dan rasa Emanuel Dapa Loka ketika mematrikan judul Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi pada buku terbiyan 2020 ini. Barangkali batinnya jengah dan marah.
Betapa tidak dikatakan atau diduga begitu? Tengok sejenak puisi berjudul Sajak Geram untuk Koruptor di halaman VI. Kejengahan dan malah kemarahannya jelas tergambar di sana.
Baginya, koruptor itu manusia tak berperasaan dan tidak memiliki imajinasi. “Sudah lihat sesamanya makan saja susah, atau mati karena tak bisa berobat, anak-anak tak bisa sekolah, mereka tanpa ampun memakai segitu banyak uang untuk dirinya sendiri secara tidak masuk akal. Tindakan semacam ini kan membunuh sangat banyak orang, menjerembabkan mimpi anak-anak, menelantarkan imajinasi remaja akan masa depan yang indah dan sebagainya,” katanya kepada media ini.
Karena itu, walau tidak seluruh isi buku menyoal korupsi, ia berani menjuduli Takdir Manusia Kerja Bukan Korupsi.
Wajarlah pada bab pertama ia mengentak kesadaran tentang nistanya korupsi dan sang koruptor.
Pada bab pertamalah tulisan berjudul Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi tersua bersama empat buah artikel lain yang juga berbicara tentang korupsi: Imajinasi adalah Sayap, Agar Manusia Tidak jadi Kera, Habitus Non Facit Monachum dan Hidupkan Imajinasimu.
Pada bab 5 tersua tulisan berjudul Ibu Kota, Kota Ibu yang pernah dimuat di Kompas.
Seperti diakuinya, judul tulisan tersebut dia ambil dari salah satu puisi seniman serbabisa Remy Sylado.
Tulisan ini menohok Jakarta yang menurutnya pada Pilgub 2017 telah terciderai perilaku memilukan dan memalukan.
Melalui tulisan tersebut, ia sudah mengingatkan Anies untuk bekerja sungguh-sungguh, bukan hanya menebar kata-kata indah nan memukau.
Beralasan penulis meminta Anies untuk tidak terlalu banyak bicara, sebab setelah dilantik pun, sang gubernur masih banyak bicara untuk menyalahkan pendahulunya, tidak segera bekerja untuk mengatasi berbagai persoalan Jakarta.
“Berhentilah berkampanye dan mencari, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain. Bekerjalah sungguh-sungguh. Sebab jika Anda gagal, sudah pasti Anda akan menjadi seteru dan bulan-bulanan, bukan hanya bagi yang tidak memilih, tapi juga bagi yang memilih,” tulisnya pada halaman 82.
“Anies tidak boleh gagal dan kalah dalam mengurus Jakarta, sebab jika gagal dan kalah, tak ada orang lagi yang mendengarkannya. Bagaimana mau menjadi Presiden Indonesia, jika gagal mengurus Jakarta?” tanyanya retoris.
Penulis lalu mengutip sepenggal syair Ibu Kota, Kota Ibu: Bagaimana mungkin orang bisa dipercaya bicara/ jika ia berada dalam kelas yang kalah/ seperti kini Jakarta disesaki olehnya…//
Extraordinary Man
Penulis buku Orang-orang Hebat; dari Mata kaki ke Mata Hati ini juga menaruh perhatian pada Ahok. Pada bab 7 tersua dua tulisan tentang Ahok alias BTP. Yang satu Ahok, The Extraordinary Man dan yang lain Apa dan Mengapa Ahok.
Baginya, Ahok dengan segala kelemahannya adalah sosok yang kuat secara mental, tangguh dalam prinsip, pekerja keras, berjiwa besar dan anomali.
Karenanya penulis menyesali keputusan 58% pemilih Jakarta yang “mengempaskan” Ahok oleh karena berbagai alasan, termasuk (terutama) karena tidak seiman, padahal dari sisi kinerjanya mereka puas.
Pada bagian paling belakang kita jumpai tulisan berjudul Menyambut Fajar Nadiem dan “Keseolah-olahan”.
Melalui tulisan tersebut ia hendak mengajak pembaca untuk menyambut sejumlah ide Nadiem dalam membangun atau malah merombak berbagai pakem pendidikan yang telah “berkarat”.
Melalui tulisan “Keseolah-olahan”, penulis menyatakan kenjengahannya atas perilaku lancung yang dipertontonkan begitu banyak orang untuk mengelabui sesamanya agar tetap dianggap suci murni, sehingga dengan mudah melancarkan berbagai tindakan jahat.
Menulis dengan lancar dan ringan merupakan kekuatan Eman. Kalimatnya pendek-pendek sehingga mudah dimengerti. Ia juga tidak banyak menggunakan istilah yang rumit. Memang di sana-sini tersua sejumlah istilah asing, namun ia langsung menyertakan terjemahannya.
Tentang gayanya menulis dengan ringan, pria asal Sumba, NTT ini berseloroh, “Saya menulis ringan karena tidak mampu menulis secara berat. Lagian, kalau bisa memudahkan orang, mengapa menyulitkan? Semoga yang ringan ini pun memberi nilai dan inspirasi,” pungkasnya.
Celestino Reda, Penikmat buku dan entrepreneur muda asal Sumba