Oleh Tuan Kopong MSF, Dari Manila, Philipina
Salam jumpa, Budiman Sudjatmiko. Semoga selalu sehat. Salam dari Manila, Philipina. Mesti tinggal di negeri orang, saya selalu punya perhatian untuk negeri tercinta. Dan karena alasan cinta itulah saya menuliskan surat ini untukmu.
Ketika engkau mengunjungi Prabowo dan memuja-muji dirinya hingga engkau lupa akan peristiwa kudatuli 1996 yang membuat dirimu dan kawan-kawan menyembunyikan diri, dan beberapa orang yang karena nurani kemanusiaan menyelamatkanmu ikut ditangkap dan disidang, saya akhirnya menyetujui kata-kata salah satu pejuang kemanusiaan yang tertembak dan meninggal dunia dalam tragedi Semanggi I (1998), yakni Bernardus Realino Norma Irawan (Wawan).
Kata-kata Wawan, “Perjuangan belum selesai sudah banyak yang meninggalkan perjuangan karena mereka tidak tahan lapar dan haus. Yang dulu menjadi simbol perlawanan dan kemanusiaan terhadap Prabowo kini menjadi simbol kekuasaan bersama Prabowo.”
Ketika engkau dengan lantang menyuarakan dukungan bagi Prabowo dan dengan percaya diri menjadi garda terdepan untuk kemenangan Prabowo pada pilpres 2024 nantinya, saya berani mengatakan padamu untuk “menolak lupa pada sosok yang pernah menyelamatkan dirimu bersama teman-temanmu”.
Saat itu engkau dicari dengan ancaman tembak mati di tempat. Romo Sandyawan (waktu itu-1996) dan kakanya Pak Beny Sumardi yang karena nilai kemanusiaan menjadi pelindung bagimu dan rekan-rekanmu, ikut ditangkap dan disidang dengan tuduhan membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Sudah lupakah engkau pada mereka yang telah menjadi garda terdepan untuk menyelamatkanmu saat itu, termasuk seorang tokoh bangsa Gus Dur? Sudah matikah nurani kemanusiaanmu karena rasa lapar dan haus akan kekuasaan yang sudah tidak bisa lagi engkau tahan dan bendung sehingga engkau dengan mudahnya mengkhianati doa dan dukungan dari orang-orang yang tulus mendoakanmu agar tidak mendapatkan hukuman mati?
Menjadi lawan politik Prabowo bukan berarti harus memusuhinya. Selama Prabowo masih diam dan bungkam terhadap hilangnya nyawa para mahasiswa dan aktivis kemanusiaan saat itu, dan bahkan selama Widji Tukul dan kawan-kawannya yang hingga detik ini belum kembali ke rumah dan keluarga mereka, dan Prabowo tidak mau menjelaskan keberdaan mereka, selama itu juga Prabowo masih menjadi simbol rezim Orde Baru.
Dia harus dimintai pertanggungjawaban tanpa harus memusuhi. Bersamaan dengan itu, harus tetap ada semangat untuk tetap menjaga kemurnian perjuangan teman-teman yang tulus demi kembalinya demokrasi Indonesia yang bebas dari segala tekanan dan tindakan represif kekuasaan.
Segala argumentasi pembelaanmu telah menjadi sebuah catatan pengkhianatanmu bagi para korban Semanggi I dan II, termasuk bagi Widji Tukul dan kawan-kawannya yang hingga hari ini tak satupun mengetahui keberadaan mereka. Itu juga menjadi catatan bagi khianatmu pada Pak Sandyawan, Pak Beny Sumardi, Gus Dur dan doa tulus dari orang-orang yang tidak peduli apa agamamu, mendoakan dan mendukung enghkau bersama kawan-kawanmu.
Melihatmu yang kini tak lagi kuat menahan haus dan lapar pada kekuasaan, ini menjadi catatan “khianatmu” dalam satu suara sunyi untukmu: Kami Menolak Lupa!!