Mon. Nov 25th, 2024

Film His Only Son dan Keindonesiaan Kita

Film His Only Son

Oleh Tuan Kopong MSF, dari Roma Italia

Hanya orang yang tulus dan jujur dalam beriman yang bisa menerima kehadiran film His Only Son (HOS) sebagai bahan pembelajaran terhadap iman agama lain, seraya memperkuat rasa bangga pada ajaran agama sendiri yang berbeda dengan agama lain.

Saya baru dengar tentang film HOS ketika berada di Roma. Saya kemudian mencari di google dan menjumpai beberapa protes atau bahkan pelarangan penayangan dari oknum wakil rakyat dengan alasan toleransi, dan karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut.

Saya jadi merasa lucu, namun juga tertawa dan prihatin dengan cara pandang para oknum tersebut. Jelas bahwa konteks film HOS adalah berdasarkan ajaran Kitab Suci Kristen (Katolik), maka sudah jelas itu berbeda dengan ajaran agama lain. Lantas salahnya di mana? Dari segi ajaran dan Kitab Suci sudah berbeda. Apa mau disamakan hanya karena di Indonesia oknum yang protes tersebut adalah berasal dari agama mayoritas? Atau mau dicampur? Malah kabur dan bingung!

Memprotes penayangan film HOS itu sama dengan tidak mengakui ajaran dan Kitab Suci agama lain. Jadi jika berbicara toleransi, maka bukan agamanya saja yang diterima dan diakui tetapi ajaran-ajaran dan Kitab Sucinya tidak diakui.

Ini sama dengan orang yang mau menikah, mengakui pasangannya sebagai suami atau istri tetapi tidak mau menerima hubungan suami istri.

Toleransi sejati adalah menerima dan menghargai agama lain termasuk dengan seluruh ajaran dan Kitab Sucinya walaupun berbeda.

Kalau memprotes dan melarang penayangan film HOS atas nama toleransi dan penghargaan terhadap agama lain hanya karena tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci agama tersebut, itu bukan toleransi melainkan intoleransi.

Perlu disadari dan jangan lupa bahwa seluruh stasiun TV di Indonesia setiap hari menayangkan film-film religius dari agama tertentu.

Bahkan, perayaan keagamaan dari agama tertentu disiarkan sedemikian lama, tidak pernah ada protes dari kelompok agama lain karena bagi mereka itu adalah sebuah “hiburan” iman yang memperkuat iman pada agama yang dianut dengan menimba pesan-pesan penting yang muncul dari sinetron tersebut.

Melihat film HOS tidak hanya berdasarkan ajaran Kitab Suci agama kita sendiri tetapi melihat makna dan pembelajaran dari film tersebut.

Setiap film atau ceritera selalu menyampaikan pesan yang berhubungan tindakan iman: kebaikan, ketaatan, kesetiaan, cinta kasih, penghargaan yang bisa kita hidupi dan laksanakan sebagai bagian dari perwujudan iman kita meskipun film tersebut tidak berhubungan langsung dengan ajaran iman agama kita atau bahkan berbeda dengan ajaran Kitab Suci kita.

Bagi saya pribadi, hadirnya film HOS di bioskop-bioskop Indonesia di satu sisi menjadi tantangan namun juga menjadi medan perwujudan ke-Indonesia-an kita. Menjadi tantangan bagi keimanan kita sendiri, sudah sejauh mana kita beriman secara tulus dan jujur untuk menerima perbedaan ajaran agama lain dan sekaligus menggemakan nilai-nilai toleransi yang tidak hanya kulitnya melainkan termasuk dengan isinya: ajaran dan Kitab Sucinya.

Sejatinya kita belum tulus dan jujur dalam bertoleransi karena toleransi kita hanya pada kulitnya, yaitu agama namun tidak atau belum siap menerima dan mengakui ajaran iman dan Kitab Suci yang berbeda dengan ajaran dan Kitab Suci agama tertentu. Kita hanya menerima orangnya tetapi ajaran iman dan Kitab Suci yang dianut oleh orang tersebut tidak kita akui.

Maka jika merasa bahwa film HOS berbeda dari ajaran Kitab Suci yang dianut, lebih baik membuat film HOS versi ajaran Kitab Suci yang memprotes bukan untuk tandingan, melainkan sebagai pembelajaran iman daripada memprotes film HOS hanya karena perbedaan sumber Kitab Suci yang justru memperlihatkan kedangkalan kita dalam beragama dan beriman.

Film His Only Son tidak membuat masalah dan merusak ajaran Kita Suci agama lain, masalahnya itu adalah pada cara pandang kita yang selalu berisikan “mayoritas” dan “minoritas.”

Selama pikiran kita dipenuhi dengan pandangan klasik mayoritas dan minoritas maka segala hal yang tidak sesuai dengan cara pandang “mayoritas” pasti akan selalu diprotes.

Maka sebagai pemimpin yang baik, tokoh agama dan umat beragama yang bijak baiklah kita renungkan kata bijak John C. Maxwell (American Author): “As a leader, the first person i need to lead is myself.”

 Kita perlu memimpin diri kita sendiri untuk keluar dari kesempitan cara berpikir kita, agar kita memiliki cara pandang yang luas terhadap orang, agama dan film yang berbeda dengan ajaran Kitab Suci yang kita imani.*

Related Post