Sun. Nov 24th, 2024

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR

Di tengah-tengah alun-alun Vatikan, biasa disebut Piazza San Pietro, berdiri sebuah tugu terbuat dari batu granit. Usianya kira-kira 4.500 tahun. Tugu ini aslinya berdiri di atas kuil Dewa Matahari, di kota Heliopolis, Mesir Kuno. Tugu ini diambil oleh Kaisar Caligula, pada tahun 35 M dan ditempatkan di tengah-tengah stadion Circus Nero, di atas bukit Vatikan, Roma.

Di Circus inilah Santo Petrus dihukum mati, disalib terbalik, kepala ke bawah. Tugu ini diyakini adalah hal terakhir yang dilihat oleh Petrus sebelum mengembuskan napas terakhir.

Di puncak tugu ini sekarang berdiri salib. Di masa lalu di puncak tugu ini diletakkan sebuah bola emas, melambangkan Dewa Matahari. Sekarang salib Kristus menggantikannya. Persis di kaki tugu ada dua tulisan.

Yang pertama berbahasa Latin: Christus Vincit, Christus Regnat, Christus Imperat. Artinya, Kristus Menaklukkan, Kristus Berkuasa, Kristus Meraja. Tulisan kedua berbunyi: Singa Yudah Telah Menaklukkan.

Ungkapan-ungkapan ini melambangkan kemenangan. Kristianitas telah menang oleh kuasa salib, bahkan telah menang atas kekuasaan terbesar di zaman kuno, yakni kekaisaran Romawi.

Di tengah alun-alun Santo Petrus saat ini berdiri lambang kemenangan Kristus dan para pengikutnya.

Bahwa Yesus Kristus adalah Raja, kita bisa menemukan banyak sumbernya dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Salah satu ucapan Yesus yang paling jelas sekaligus juga paling sering disalah-pahami adalah jawaban-Nya terhadap Pilatus.

“Jadi Engkau adalah raja?”, begitu pertanyaan Pilatus. Jawab Yesus, “Engkau mengatakan bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran”. (Yoh 18,37). Satu hal yang menjadi kekhususan Yesus adalah bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini.

Karena itu bentuk kekuasaan Yesus atau praktik penyelenggaraan kekuasaan-Nya berbeda dengan para pemimpin dunia. Kepemimpinan Yesus sebagai raja pada hakikatnya untuk melayani.

“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20,26-27).

Charles Colson, penasihat hukum Presiden Nixon dari Amerika Serikat, pernah mengatakan: “Semua raja dan ratu yang aku kenal dalam sejarah mengirim keluar rakyatnya untuk mati bagi mereka. Aku mengenal hanya satu Raja yang memutuskan untuk mati bagi rakyatnya”. Ya, Dialah Yesus Kristus.

Paus Pius XI menetapkan Hari Raya Kristus Raja pada tahun 1925 dalam rangka Yubileum dan peringatan 16 abad Konsili Nicea. Tujuannya adalah untuk menegaskan kekuasaan Kristus dan Gereja atas semua bentuk pemerintahan, dan mengingatkan orang-orang Kristen akan kesetiaan dan loyalitas kita terhadap Kristus.

Kerajaan Allah, di mana Yesus diberi kuasa atas langit dan bumi, adalah sebuah ruang orangtua dan anak-anak hidup dalam cinta kasih: tempat ada perhatian terhadap mereka yang lemah dan menderita.

Kerajaan Allah adalah sebuah masa di mana seseorang memberi makan mereka yang lapar, memberi tumpangan terhadap orang-orang asing, atau memberi perhatian terhadap mereka yang ditolak.

Kerajaan Allah adalah sebuah situasi di mana gejalanya berupa keadilan, damai dan cinta.

Merayakan hari istimewa ini berarti mengingatkan kita agar selalu membiarkan Yesus berkuasa atas jiwa, tubuh, hati dan pikiran kita.

Hanya dengan cara inilah kita bisa mendoakan penggalan doa Bapak Kami ini dengan jujur: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga”.

Salam dari  Biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba, NTT

Related Post