Oleh Emanuel Dapa Loka, Tinggal di Bekasi Utara
Munculnya Romo Franz Magnis Suseno SJ sebagai saksi ahli etika dalam sidang perselisihan Pilpres di Mahkamah Konstitusi pada 2 April 2024 lalu mengundang pro dan kontra yang keras (di kalangan umat Katolik).
Setidaknya ada dua hal yang memunculkan pro dan kontra itu, yakni posisi berdiri orang yang pro dan kontra itu, dan pemahaman yang bersangkutan tentang tugas seorang imam Katolik cum intelektual seperti Romo Magnis ini. Ada yang mengira bahwa Romo Magnis sedang bermain politik praktis, yang mana tidak boleh dilakukan oleh seorang imam Katolik. Yang pro merasa mendapat dukungan moral, sedangkan yang kontra merasa terusik atau terbakar.
Pertanyaan yang harus diajukan untuk alasan pertama di atas: di mana letak berdiri mereka; baik yang pro maupun yang kontra itu dalam kasus sengketa Pilpres? Berada di kubu 01, 02 atau 03? Atau di mana? Kalau mereka berada pada salah satu dari ketiga kubu itu, maka mereka tidak punya hak untuk menilai Romo Magnis, sebab ahli etika dan moral itu tidak sedang membela atau menyerang salah satu kubu.
Memberikan Pencerahan
Dengan segala kepakaran, pengalaman, kematangannya, dan intuisinya imam bernama lengkap Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis itu sedang melakukan misi yang beyond dari mereka yang titik berdirinya pada ketiga kubu tersebut. Romo Magnis sedang memberikan pencerahan yang amat penting tentang etika dan moral untuk bangsa.
Kehadiran Romo Magnis merupakan bentuk pertanggungjawaban moral etisnya sebagai seorang intelektual dengan berbagai predikat yang melekat padanya. Dia bukan intelektual atau etikawan kemarin sore. Dan saya yakin, kehadirannya sebagai saksi ahli melulu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas intelektualitasnya itu.
Dan sebagai seorang biarawan yang mengucapkan kaul kemiskinan, honor atau bayaran sebagai seorang saksi ahli bukanlah alasan imam Jesuit berusia 87 tahun itu mau bicara lantang di podium Mahkamah Konstitusi.
Sampai di sini, pertanyaan yang muncul: kalau Romo Magnis tidak tampil untuk bicara tentang hal amat sangat penting itu, siapa yang mau? Dengan berbagai pertimbangan, orang lain masih tiarap.
Dan lihatlah juga! Banyak orang yang sebelumnya sangat keras melawan Prabowo berikut catatan masa silamnya, kemudian memilih bungkam, lalu diam-diam merapat dan kini mengharapkan bagian.
Kalau Magnis Mau Tenang-tenang
Kalau Romo Magnis mau tenang di masa tuanya, dia bisa saja memilih diam atau malah memuji-muji Jokowi dengan segala pencapaiannya—yang memang harus diakui.
Bukankah Romo Magnis adalah tokoh penting yang oleh karena kemampuan intelektualitas dan integritasnya telah mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Utama?
Secara “etika balas jasa”, penghargaan itu sudah bisa membuatnya mingkem saja. Tetapi bagi Romo Magnis, mendapatkan penghargaan itu adalah satu hal, sedangkan memberikan kritik sebagai tanggungjawab moral etis adalah hal lain. Dan kririk tanpa tedeng aling-aling seperti di MK itu dia lakukan justru karena penghargaan itu. Bukankah dia mendapatkan penghargaan karena sumbangan intelektualnya bagi bangsa, termasuk melalui kritik-kritiknya? Dan ketika dia melakukan hal yang sama, banyak orang kebakaran jenggot, kumis, alis mata, bulu mata dan seterusnya. Mari kita jujur dan membuat distingsi yang adil.
Dan satu lagi. Walau dia juga ahli etika Jawa, Romo Magnis lebih memilih berbicara terus terang daripada menggunakan gaya bicara karambol atau “pukul tiang kena tembok” atau sebaliknya “pukul tembok kena tiang”.
Gaya bicara tembak langsung itulah yang membuat mereka yang kontra berikut fanatisme yang memenuhi pikiran dan hati, juga perasaan, menjadi gusar. Bayangkan ketika pria uzur namun tetap dengan pikiran yang terang benderang itu mengibaratkan seorang Presiden yang menggunakan uang Bansos untuk kepentingan pribadi atau keluarga atau untuk mendukung Paslon tertentu sebagai tindakan “pencuri” atau pegawai toko yang secara diam-diam mengambil uang dari kas toko atau lebih keras lagi sebagai “Kepala Mafia”.
Jadi, kehadiran Romo Magnis harus dimaknai juga sebagai kehadiran profetis di jalan pencerahan. Yang dibicarakan di MK memang adalah hal yang berkaitan dengan Pilpres, tapi bukankah di berbagai tingkatan yang lain terjadi hal serupa? Mari belajar, dan membiarkan diri tercerahkan. Jangan tutup dirimu!*