JAKARTA, TEMPUSDEI.ID – Playstore Google sempat muncul aplikasi Kitab Suci Injil Minangkabau. Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, kemudian mengirimkan surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menghapus aplikasi tersebut, berdasarkan dua klaim. 1) Masyarakat Minangkabau sangat keberatan dan resah dengan adanya aplikasi tersebut. 2) Aplikasi tersebut sangat bertolak belakang dengan budaya masyarakat Minangkabau. Pada perkembangannya, dalam pantauan SETARA Institute, aplikasi tersebut sudah di-take down dari Playstore Google. SETARA Institute menyampaikan beberapa poin pernyataan berkaitan dengan hal tersebut.
Pertama, SETARA Institute memandang bahwa Injil bahasa Minangkabau dan aplikasinya di Playstore tidak melanggar hukum dan konstitusi Republik Indonesia dan justru merupakan inisiatif yang baik untuk membangun literasi keagamaan lintas iman dalam kerangka kebinekaan Indonesia. Sehingga mestinya Menkominfo menolak permintaan Gubernur Irwan agar Dirjen Aplikasi Informatika menghapus aplikasi tersebut.
Kedua, permintaan Gubernur Sumatera Barat, dalam pandangan SETARA Institute, bisa menjadi preseden buruk, sebab di kemudian hari kemungkinan akan digunakan oleh kelompok yang tidak menghargai kemajemukan untuk melakukan sama, yaitu menolak (resistance) dan menyangkal (denial) berbagai hal yang berkenaan dengan identitas agama yang berbeda.
Ketiga, aplikasi Injil Bahasa Minangkabau merupakan sebuah inovasi digital yang bersifat netral dan tidak mengandung unsur pemaksaan kepada siapapun untuk membaca atau sekedar mengunduhnya. Namun dari sisi spirit, aplikasi semacam ini harus diapresiasi sebagai upaya untuk membangun pemahaman lintas agama, sehingga psikologi kecurigaan, ketakutan, keterancaman akibat ketidaktahuan tentang identitas yang berbeda dapat dikikis. Sehingga mestinya pemerintah Sumatera Barat dan Pusat melihat manfaat aplikasi tersebut untuk memperkaya pemahaman dan memperkuat toleransi beragama.
Keempat, klaim Gubernur Irwan mengenai dua alasan di balik permintaan penghapusan, dalam pandangan SETARA Institute, terlalu mengada-ada, berlebihan, dan tidak mewakili masyarakat dan budaya Minangkabau. Meskipun budaya Minang kuat dengan falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’, tidak berarti bahwa Minangkabau adalah budaya yang tertutup. Sebaliknya, Minangkabau sebagai entitas kultural, dalam bentangan sejarahnya, sangat terbuka dan mudah berinteraksi dengan entitas kultural yang berbeda. Keberadaan aplikasi Injil berbahasa Minangkabau tidak akan meruntuhkan kuatnya keislaman di tengah-tengah masyarakat Minang. (tD/*)