Di Keuskupan Agung Buenos Aires, kantor Kardinal Bergoglio, yang sekarang Paus Fransiskus, berukuran lebih kecil dari kantor sekretarisnya. Kantor Uskup Agung, yang sebenarnya terletak di lantai atas, tak pernah diinginkannya. Alasannya, kantor semacam itu bisa memberi perasaan berkuasa.
Di tempat tinggalnya, Kardinal Bergoglio menempati kamar yang sama saat dirinya masih menjadi Vikaris Jenderal bagi pendahulunya, Kardinal Quarracino. “Ruang ini adalah ruang yang sangat sederhana,” tulis Rubin Sergio dan Francesca Ambrogetti dalam El Jesuita. Di kamar itu ada sebuah tempat tidur kayu yang sederhana dan sebuah salib milik kakek-neneknya, Rosa dan Giovanni.
Ada juga pemanas listrik sendiri, karena meskipun bangunan tersebut memiliki sistem pemanas sentral, Kardinal Bergoglio tidak bisa membayangkan bahwa pemanas tersebut harus dioperasikan untuk dirinya sendiri ketika semua staf yang bekerja di kantor Keuskupan Agung itu sudah pulang. Seorang perempuan datang setiap Selasa untuk membersihkan kamar itu, tetapi Kardinal sebenarnya sudah membersihkan tempat tidurnya setiap pagi.
Di depan ruangan ada kapel pribadinya. Di dalam sebuah ruang peralihan, ada perpustakaan pribadinya, penuh dengan buku-buku dan kertas. Di antaranya ada sebuah buku yang kini telah berubah warna, yang berisi catatan-catatan pengakuan iman pribadi, yang ditulis “dalam suatu waktu dengan kondisi intensitas rohani yang dalam”, tak berapa lama sebelum dirinya ditahbiskan sebagai imam.
“Saya percaya pada Allah Bapa, yang mencintaiku seperti anak, dan Yesus, Tuhan yang telah meresapi Roh-Nya ke dalam hidup saya untuk membuat saya tersenyum dan dengan demikian membawa saya ke ranah kehidupan kekal.
Saya percaya pada kisah hidup saya, yang tertikam oleh tatapan kasih Allah sehingga pada suatu hari di musim semi, 21 September, telah mengantar saya pada suatu perjumpaan dan mengundang saya untuk mengikuti-Nya.
Saya percaya akan rasa sakit saya, potensi untuk bersikap egois, di mana kerap saya bersembunyi.
Saya percaya akan kepicikan jiwaku, yang mencoba menelan tanpa memberikan … tanpa memberikan.
Saya percaya bahwa banyak orang yang baik, dan saya harus mencintai mereka tanpa khawatir dan tanpa pernah mengkhianati mereka demi mencari keamanan bagi saya. Saya percaya akan kehidupan religius.
Saya percaya bahwa saya ingin mengasihi dengan sungguh. Saya percaya akan kematian yang bisa terjadi setiap hari, bahwa saya kerap melarikan diri dari itu semua, tetapi dengan tetap tersenyum, mengundang saya untuk menerimanya. Saya percaya akan kesabaran Tuhan, keramahan-Nya, yang sungguh-sungguh baik bagaikan suatu malam pada musim panas.
Saya percaya bahwa ayah saya berada di surga bersama dengan Tuhan. Saya percaya bahwa Pastor Duarte berada di sana juga, menjadi perantara bagi imamat saya.
Saya percaya pada Maria, ibu saya, yang mengasihi saya dan tak pernah meninggalkan saya sendirian. Saya pun senantiasa menantikan kejutan-kejutan yang terjadi setiap hari yang terwujud dalam kasih, kekuatan, pengkhianatan, maupun dosa, yang akan menemani saya sampai perjumpaan terakhir dengan Wajah Mengagumkan yang Tak Terlukiskan itu, saya berlari terus-menerus sepanjang waktu, tetapi saya selalu ingin mengerti dan mengasihi. Amin.”
Perjumpaan yang Menentukan
Pastor Duarte yang disebut dalam pernyataan iman itu tak lain adalah pastor yang kepadanya Jorge Mario, yang kala itu sebagai pemuda berusia tujuh belas tahun, mengaku dosa pada hari pertama musim semi di gereja paroki. Perjumpaan itulah yang menentukan Jorge Bergoglio menemukan panggilan Tuhan.
Paus Bergoglio memiliki devosi khusus terhadap Santa Theresia dari Lisieux. Saat datang ke Roma untuk urusannya sebagai kardinal yang terkait dengan badan kepausan yang juga menjadi tanggung jawabnya, ia kerap berhenti untuk berdoa sendirian di gereja kecil Santa Maria Annunziata di Borgo—yang terkenal dengan sebuatan Annunziatina, sebuah tempat doa di kota Roma, yang terletak di pinggiran sungai Tiber, Vatikan, beberapa langkah dari Basilika Santo Petrus.
Pastor Bergoglio pun kerap berada di jalan setapak yang biasa dilaluinya dari Casa del Clero ke Vatikan. Di situ ia kerap berhenti untuk berdoa. Pada Oktober 2002, para Saudara Dina dari Ordo Fransiskan Tak Bernoda, yang menjaga gereja sejak 1998, mulai memperhatikan kehadiran seorang pastor, yang pada pukul sembilan pagi tepat, berhenti untuk berdoa dengan khusuk dan melakukan meditasi di hadapan patung Santa Teresia dari Kanak-kanak Yesus. Setelah itu, ia pergi. “la adalah seorang pastor yang tak terlalu muda,” kata Pastor Rosario M. Sammarco pada halaman Facebook dari Ordo Fransiskan Immaculate Conception,
“Tubuhnya tinggi dan tampan. Ketepatan waktunya untuk berdoa di tempat itu, maupun sikapnya yang terlihat penuh pengabdian dan sederhana, membuat orang penasaran. Untuk memberikan gambaran yang dilakukannya, pada akhir doa biasanya ia melakukan tindakan yang juga dilakukan banyak wanita tua yang ada di Italia, yaitu menyentuh patung dengan tangannya, kemudian mencium patung tersebut. Rasa penasaran meningkat saat saya melihat bahwa pastor tersebut mengenakan jubah dengan kancing-kancing berwarna merah yang biasa dikenakan seorang kardinal. Jika demikian, pastor itu adalah seorang kardinal? Sunggukah seorang kardinal telah melakukan hal-hal semacam itu?”
Kardinal dari Buenos Aires
Salah satu dari Saudara-saudara Hina Dina itu, Frater Anselmo M. Marcos, yang ditugaskan mengurus sakristi, karena merasa penasaran, pada suatu hari memutuskan mendekati sekaligus menanyakan identitas peziarah saleh tersebut. Pastor Bergoglio pun memperkenalkan dirinya. la mengatakan bahwa dirinya adalah Kardinal Buenos Aires.
Paus yang baru itu, saat menerima perjamuan makan Presiden Argentina pada malam Misa perdana kepausannya, memberinya mawar putih, simbol pengabdian kepada Santa Theresia Kecil.
Sejak jam-jam awal usai pemungutan suara, Paus Fransiskus secara pribadi menelepon teman-teman di Roma dan Buenos Aires. la telah mengundang beberapa orang untuk menghadiri Misa di paroki Santa Anna pada Minggu, 17 Maret.
Di antara panggilan telepon yang dilakukannya adalah yang ditujukan kepada Daniel, agen koran dari calle Bolivar, dekat Plaza de Mayo, yang letaknya beberapa langkah dari Katedral Buenos Aires. Paus meneleponnya untuk mengucapkan terima kasih, sekaligus memberhentikan langganannya untuk surat kabar La Nacion, yang bersama dengan Clarin merupakan salah satu surat kabar yang paling banyak dibaca di Argentina.
Laki-laki sederhana itu tak bisa memercayai telinganya. la berpikir bahwa itu hanyalah lelucon. “Hola Daniel, saya Pastor Jorge,” kata Paus kepadanya melalui panggilan telepon pada Senin 18 Maret. “Ayolah, Mariano, jangan bodoh, hentikan!” jawab sang agen koran—karena berpikir itu adalah seorang teman yang sedang membuat lelucon.
“Serius, saya adalah Jorge Bergoglio dan saya menelepon dari Roma. Terima kasih untuk layanan Anda selama bertahun-tahun, tetapi sekarang tak perlu lagi mengirimi saya koran karena saya sudah pindah,” kata Paus. “Ini sangat mengejutkan. Saya mulai menangis. Saya tak tahu harus berkata apa …,” kata Daniel.
“Saya mengucapkan terima kasih atas tahun-tahun di mana saya boleh mengirimkan koran kepada beliau dan Paus pun mengirim salam kepada keluarga saya,” tambahnya.
“Saya mengatakan bahwa saya akan kehilangan dirinya dan saya bertanya apakah kami akan segera melihatnya datang mengunjungi daerah ini. Paus Bergoglio menjawab bahwa untuk setidaknya sementara waktu, hal itu akan sulit, tetapi ia menambahkan bahwa dirinya akan selalu ada,” pungkas agen koran.
la adalah seorang paus yang sehari setelah pemilihannya pergi untuk mengambil kopernya dan membayar tagihan ke Casa del Clero, yang menelepon teman-temannya secara pribadi, dan yang terus melakukan segala sesuatu secara total dalam segala sesuatu.
Kepada Sergio Rubin dan Francesca Ambrogetti, Paus yang baru itu menjelaskan tindakannya itu. “Yang benar adalah bahwa saya seorang pendosa dan bahwa belas kasih Allah telah dicurahkan kepada saya dengan cara yang sangat istimewa,” katanya.
Untuk pertanyaan tentang bagaimana dirinya melukiskan pribadinya, Paus Fransiskus menjawab, “Saya adalah Jorge Bergoglio, Seorang pastor.”**
Sumber: Bab terakhir buku Fransiskus, Paus dari Dunia Baru karya Andrea Tornielli, diterjemahkan oleh RF Bhanu Viktorahadi Pr, terbitan Gramedia.