Thu. Nov 21st, 2024

Paus Pimpin “Misa Akbar” di GBK, Ini Salah Kaprah

Oleh Febry Silaban, Munsyi

Ketika asyik berselancar di media sosial Instagram dan membaca beberapa berita di media massa, tiba-tiba saya tertarik pada judul berita yang menggelitik: “Paus Fransiskus Bakal Pimpin Misa Akbar di GBK September Mendatang”.

Sejak kapan ada istilah “Misa Akbar” muncul? Saya menduga kata “akbar” dipilih memang untuk menyatakan “kemegahan” atau “kebesaran” acara yang dimaksud (dalam hal ini: misa). Saya juga menduga, penggunaan embel-embel “akbar” hanya untuk meniru kegiatan dari “gereja tetangga sebelah” alias Protestan. Namun, yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah benar perlu disebut “Misa Akbar”?

Sependek yang saya tahu, kata “Misa” berasal dari kata-kata terakhir atau rumusan penutup yang diucapkan oleh Imam selebran dalam bahasa Latin: Ite, missa est! (“Pergilah, kamu diutus!”). Dalam perjalanan waktu, kata “Misa” dalam Gereja Katolik, kemudian sangat erat dikaitkan dengan “Korban Kristus”, sehingga muncul kemudian frasa “Misa Kudus” atau “Korban Misa”. Saya tidak habis pikir, jika kemudian kata “Misa” disandingkan dengan kata “Akbar”.

Jadi bagaimana? Menurut hemat saya, pencantuman frasa “Misa Akbar” merupakan sesuatu yang terkesan dipaksakan. Sesuatu yang salah kaprah!

Frasa “Perayaan Ekaristi” sudah merupakan frasa tepat yang padat makna. Atau, Gereja juga masih memiliki frasa lain untuk menyebut “Perayaan Ekaristi”, yaitu “Misa Kudus”.

Menurut saya, frasa ini sangat jauh lebih tepat daripada “Misa Akbar”. “Ekaristi” sendiri sudah berarti “syukuran” dan kata “perayaan” menambah lagi makna sukacita dalam kata Ekaristi. Jika kita perhatikan pula, jika kita memakai kata “Perayaan Ekaristi”, sebenarnya kesan “akbar” dalam konteks “raya” sudah amat sangat termaktub di dalam frasa ini – dan tentunya jauh lebih baik.

Dalam frasa “Perayaan Ekaristi” selain sukacita dan sifat “raya” yang sudah sangat tersirat, sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam.

Kembali kepada berita di media tadi, memang bisa dimaklumi bahwa banyak wartawan atau editor yang bukan orang Katolik. Namun, semoga dengan pencerahan ini, tidak ada salah kaprah lagi.

Salam bahasa persatuan, bahasa Indonesia!

 

Related Post