Oleh Febry Silaban, Munsyi dan penulis buku Empat Huruf Suci YHWH
Dalam beberapa kali pertemuan dengan Kardinal Suharyo, beliau selalu meminta untuk tidak memanggilnya dengan kata Monsinyur, melainkan Uskup. “Saya lebih suka dipanggil uskup daripada monsinyur. Panggilan monsinyur itu terlalu feodal,” katanya. Loh, kok bisa begitu? Bukankah monsinyur itu uskup?
Gereja Katolik berkembang dalam iklim kerajaan atau kekaisaran. Dalam sistem kerajaan (gaya Eropa), sangat lazim dikenal penganugerahan gelar-gelar kehormatan resmi. Dari gelar-gelar itu tecermin tingkatan-tingkatan kehormatan yang sangat kental dengan feodalisme. Misalnya, Lord dan Sir (di Inggris). Orang Prancis biasa secara resmi menyapa imam dengan Mon Pere (bapaku) dan uskup dengan Mon Signeur (tuanku).
Di banyak tempat di Indonesia, kita memang biasa menyapa uskup dengan sebutan monsinyur. Di sebagian tempat, misalnya, umat di Keuskupan Agung Semarang menyapa uskupnya dengan sebutan Rama Kanjeng, sementara umat di Keuskupan Agung Medan sering menyapa uskupnya dengan sebutan Ompung.
Dari catatan dalam Surat Rasul Paulus, uskup (episcopus) itu adalah penilik jemaat. Seorang penilik jemaat bukan hanya tukang tilik–tilik tetapi diwarnai dengan sekian turunan tugas sebagai pelayan.
Dalam Gereja, ada beda antara jabatan dan gelar kehormatan. Uskup merupakan jabatan resmi. Menjadi seorang uskup adalah tingkat ketiga dalam hierarki tahbisan (hierarchia ordinis) dan paling penuh dari Sakramen Imamat. Tingkat pertama adalah penahbisan seorang diakon, yang kedua adalah penahbisan seorang imam, dan yang ketiga adalah penahbisan seorang uskup. Seorang uskup yang pindah ke tingkat kardinal tidak ditahbiskan, tetapi dipilih sendiri oleh paus, yang juga menunjuk uskup.
Sedangkan, monsinyur ternyata merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh Roma. Gelar ini tidak menunjukkan suatu jenjang tahbisan. Maksudnya, tidak hanya uskup dan kardinal yang bisa disapa monsinyur, tapi ada juga romo atau imam Katolik yang dapat disapa monsinyur.
Imam yang mendapat gelar “Monsinyur” berhak atas penghormatan khusus, juga berhak mengenakan pakaian ungu. Sedangkan cincin uskup, mitra, dan tongkat merupakan tanda-tanda jabatan sebagai uskup.
Monsinyur (bahasa Italia: monsignor) sebenarnya adalah sapaan atau sebutan kehormatan untuk pejabat gereja kaum klerus yang tingkatnya di bawah uskup. Gelar ini diberikan kepada orang yang telah berjasa memberikan pelayanan yang berharga kepada Gereja dan mereka yang menjalankan beberapa fungsi khusus dalam tata kelola Gereja. Bahkan, sebenarnya yang patut disapa monsignor adalah Vikaris Jenderal atau Vikjen (wakil uskup ordinaris wilayah) keuskupan, selama beliau menjabat sebagai Vikjen (bdk. Motu Proprio Inter Multiplices Curas, Paus Pius X, 21 Februari 1905).
Menurut peraturan yang dibuat Paus Pius X tersebut, gelar monsignor diberikan kepada kaum tertahbis yang bekerja dalam istana kepausan. Namun, gelar ini diperluas dari waktu ke waktu dan bisa diberikan kepada imam yang bekerja di luar istana kepausan. Artinya, para imam yang berkarya di luar Roma, melalui rekomendasi seorang uskup. Awalnya untuk para imam yang lebih tua dari usia 35 tahun dan telah menjadi imam selama lebih dari 10 tahun.
Tidak Banyak Diketahui
Mungkin tradisi ini tidak banyak diketahui orang di Indonesia, tapi pernah ada, misalnya Mgr. Valentinus Kartosiswoyo (meninggal tahun 2014). Beliau dianugerahi gelar prelatus honorarius kepausan hingga berhak menyandang diri sebagai “Monsinyur” dari Takhta Suci tahun 1987 saat menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif KWI.
Pada Instruksi Sekretariat Negara Tahta Suci tahun 1969 dinyatakan bahwa gelar “Monsinyur” dapat digunakan bagi para uskup. Hal ini merupakan praktik yang umum dalam bahasa Italia, Prancis, Spanyol, dan juga Indonesia, tetapi tidak dalam bahasa Inggris.
Di Inggris dan negara-negara persemakmuran, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia, sapaan untuk uskup ialah His/Your Lordship, sedangkan untuk uskup agung disapa dengan His/Your Grace.
Namun, baru-baru ini aturan tentang gelar ini dibatasi lagi oleh Paus Fransiskus, yang kembali ke praktik yang lebih tua. Paus Fransiskus menyatakan bahwa dalam keuskupan-keuskupan gelar Monsinyur hanya akan diberikan kepada para imam yang telah mencapai usia 65 tahun, demikian pengumuman Vatikan tanggal 7 Januari 2014.
Vatikan tidak menjelaskan alasan perubahan itu, tetapi gerakan itu dipandang sesuai dengan peringatan Paus Fransiskus yang menentang karierisme dan ambisi pribadi dalam klerus.
Paus Fransiskus memang sering mengkritik klerikalisme, dengan harapan mereka lebih menekankan karya pelayanan dan bukan kekuasaan seperti yang dipahami sebelum Konsili Vatikan II.
Kata monsignor sendiri merupakan bentuk apokope (hilangnya satu bunyi atau lebih pada akhir sebuah kata) dari kata Italia monsignore, dari frasa Prancis mon seigneur, yang berarti “tuanku”. Gelar ini biasa disingkat Mgr, Msgr, atau Mons. Kata seigneur berasal dari bahasa Latin senior, yang artinya “yang lebih tua”, “yang dituakan”, “senior”.
Di Vatikan, seorang uskup atau uskup agung (yang dapat dikenali dari salib besar yang dipakai di dadanya) tidak disapa dengan Monsignor, melainkan Eccelenza (bahasa Italia, dibaca “eksellenza”), yang artinya excellency atau “Yang Mulia”. Sapaan untuk kardinal adalah Eminenza, yang artinya Eminence atau “Yang Utama”. Duta Besar Vatikan di Indonesia, Uskup Agung Piero Pioppo, menyapa para uskup dan uskup agung di Indonesia dengan sapaan Excellency.
Jangan Sampai Keliru
Kini saya ingatkan, jangan sampai keliru dalam penyebutan nama uskup. Misalnya, penyebutan “Yang Mulia Mgr. Kornelius Sipayung, OFM Cap.” itu kurang tepat.
Penulisan atau penyebutan yang lebih tepat adalah (1) Uskup Agung Kornelius Sipayung, OFM Cap.; atau (2) Yang Mulia Kornelius Sipayung, OFM Cap.; atau (3) Yang Mulia Uskup Agung Kornelius Sipayung, OFM Cap.
Sementara, yang patut disapa Monsignor adalah Vikaris Jenderal, misalnya Vikjen KAJ disapa “Monsinyur Samuel Pangestu”.
Jadi, semua uskup (agung) pasti bergelar “monsinyur”. Namun, tidak semua “monsinyur” adalah uskup (agung).
Dengan demikian, ada baiknya umat menyapa uskup, misalnya, “Yang Mulia, Bapa Uskup, terima kasih atas…” atau “Selamat pagi, Bapa Uskup”, dan bukan “Selamat pagi, Monsinyur”.
Penjelasan yang dipaparkan di atas, saya temukan sebagai paling tidak dasar pendasaran lebih jauh terkait pernyataan Kardinal Surharyo tentang “jangan panggil saya Monsinyur, tetapi Uskup”.
Tabik!