Berkali-kali dikatakan dalam Injil, ”Hati Yesus tergerak oleh belas kasihan”. Di sini ada sebuah proses, yakni ada mata melihat, lalu hati tergerak. Dan tidak berhenti di situ. Kemudian, muncul aksi konkret melalui tangan yang terulur untuk menolong.
Pola yang ”Serupa walau tak sama” terjadi pada kemunculan Komunitas Living Word. Rosita Djuwana yang kemudian menjadi ketua komunitas ini, semula melihat perjuangan sahabatnya Bernadette Etty Kurniawati dalam mengurus anaknya Robertus Mulyawan yang menderita tumor otak atau meningioma.
Akibat meningioma tersebut, Wawan demikian sapaan Robertus, mengalami sakit kepala yang luar biasa, emosinya tidak stabil, kejang-kejang, kehilangan pendengaran, lalu secara perlahan kehilangan pengelihatan, sampai tidak bisa melihat secara total hingga mengembuskan napas terakhirnya pada 5 Oktober 2023.
Sebagai seorang ibu, Rosita membayangkan suasana hati dan batin sahabatnya, juga hati Wawan yang sebelumya dikenal sebagai lelaki pantang menyerah dan cerdas. Bagaimana tidak? Wawan ”tahu-tahu” menjadi orang yang harus ditolong.
Mau melakukan sesuatu untuk Wawan berkaitan dengan disabilitas yang dideritanya, baik Ibu Rosita bersama Ibu Etty tidak memiliki banyak pengalaman. Mereka lalu bertemu dengan Yohannes Berchmans Adi Ariyanto, seorang konselor tunanetra pada sebuah yayasan untuk bertanya.
Dari konsultasi dengan Adi Ariyanto, Ibu Rosita lalu berkonsultasi dengan Romo Tunjung Kesuma, Pastor Rekan di Paroki Kelapa Gading, Gereja Santo Yakobus, sekaligus Pastor Pendamping KKS yang diketuai Ibu Rosita. Pertemuan itu berlangsung pada 17 September 2022, yang ternyata bertepatan dengan Pesta Nama Santo Robertus Bellarminus. Hari itu Rosita menyampaikan bahwa di Paroki Kelapa Gading perlu ada komunitas tempat kaum disable seperti Wawan dan siapa pun, mendapatkan pelayanan.
”Puji Tuhan, Romo Tunjung sangat tanggap. Malah langsung mengatakan, ’Hari ini kita resmikan berdirinya komunitas baru’,” kata Rosita. Santo Robertus Bellarminus kemudian ditetapkan sebagai nama santo pelindung komunitas.
Dari diskusi dan permenungan-demi permenungan, komunitas tersebut kemudian dinamai ”Komunitas Living Word Santo Robertus Bellarminus”. Mengapa Living Word? Karena Sabda yang didengar, dipelajari, direnungkan harus konkret dan hidup melalui karya nyata, apalagi untuk mereka yang sangat membutuhkan. Inilah yang dikatakan penyair Rendra ”Perbuatan sebagai pelaksanaan kata-kata”. Rosita mau menghidupkan atau mengonkretkan Sabda Yesus dalam tindakan konkret.
Romo Tunjung sendiri cepat merespon keinginan tersebut karena gerakan itu muncul dari umat awam, dan atas kepeduliaan terhadap sesamanya.
Komunitas Living Word melalui berbagai kegiatannya mengajak dan mengingatkan para disable bahwa dalam kondisi yang mereka alami, Tuhan tetap mencintai mereka. Secara berkala Komunitas melakukan Doa Rosario bersama, adorasi Sakramen Mahakudus, Misa dan latihan koor.
Para anggota komunitas juga dilatih menjadi pelayan dalam Misa seperti menjadi lektor dan pemazmur. Mereka sangat bersukacita mendapatkan kesempatan melayani Tuhan melalui Komunitas. Mereka pun saling memberkadayakan melalui keterampilan yang mereka miliki.
Bagi Romo Tunjung, kehadiran Komunitas Living Word merupakan bukti konkret cinta Tuhan pada umat-Nya. Bahwa Tuhan tidak ingin ada dari umat-Nya yang merasa tersingkirkan, sebaliknya selalu merasa dirangkul oleh sesama yang Tuhan gerakkan sendiri.
Romo Tunjung pun mengajak umat untuk membuka hati dan peduli terhadap sesama yang berkebutuhan khusus. ”Mereka adalah manusia yang semartabat dengan umat lainnya. Mereka berhak mendapat cinta Allah melalui sesama,” kata imam Keuskupan Agung Jakarta ini. (EDL)