SALAM rindu dari saya di Indonesia, Bapak Paus Fransiskus. Sungguh! Saya sudah rindu melihatmu secara langsung dan dari dekat. Bahkan rindu menjabat erat tanganmu. Dan bila bisa atau boleh, saya ingin memeluk tubuhmu.
Namun, saya tahu ini tidak mudah. Tapi, kalaupun tidak bisa menjabat dan mencium tanganmu, saya sudah sangat bangga karena saya memiliki ”Rasa rindu memeluk dan menciummu”. Rindu yang bercampur ini sudah cukup untukku. Saya tidak tahu, andai keduanya adalah campuran dalam segelas minuman, seperti apa rasanya.
Bapak Paus yang mulia, ketika keterpilihanmu dideklarasikan melalui simbol asap putih dari Kapella Sistina dan pekikan Habemus Papam pada 13 Maret 2013, rasa ingin tahu saya tentang ”Siapakah engkau, Paus ke-266, sekaligus pengganti Santo Petrus” menggoda pikir dan rasa.
Dari penelusuran kecil-kecilan, saya lalu terpukau oleh sebuah ciri yang paling khas darimu, yakni kesederhanaan. Tertohok di kepala saya hal kecil nan sederhana yang engkau lakukan beberapa hari setelah engkau terpilih. Salah satu orang yang engkau telepon dari Vatikan pada Senin, 18 Maret 2013 adalah Daniel seorang ”tukang koran” La Nacion di Buenos Aires. Engkau meminta si tukang koran itu untuk tidak mengirimkan lagi koran untukmu sebab engkau akan tinggal di Vatkan karena terpilih menjadi Paus. Tak lupa engkau pun mengirim salam untuk keluarga Daniel.
Saya takjub bahwa tukang koran, orang kecil berpendapatan rendah dan kadang minder itu, hidup dalam ingatanmu. Semoga penggantimu meneruskan langganan koran dari Daniel, si tukang koran itu.
Terjerembab dalam Dosa
Informasi menakjubkan lain yang saya dapatkan, dan yang menambah takjubku adalah keputusanmu untuk melakukan upacara cuci dan cium kaki pada Kamis Putih, 28 Maret 2013 di penjara Casal del Marmo di pinggiran kota Roma. Engkau merendahkan hatimu serendah-rendahnya di hadapan Tuhan dan mereka, yang oleh karena beratnya perjuangan hidup, acapkali putus asa lalu terjerembab ke dalam aneka dosa dan merontokkan martabat mulia mereka sebagai Citra Allah.
Engkau ingin agar jiwa mereka yang sepi pulih, dan ibarat anak yang hilang, kembali ke dalam pelukan kasih Allah.
Swear! Saya kagum, takjub, terpesona. Saya tidak tahu mengapa perasaan itu muncul begitu kuat dan tetap menempati kavling tersendiri dalam hati saya.
Setelah merenung dan mencari alasan munculnya perasaan-perasaan tersebut, saya menemukan bahwa ”mungkin” itu karena kerinduan saya melihat, mengalami dan merasakan sosok pemimpin yang memiliki jiwa pelayan yang otentik.
Dan sekali lagi ”Mungkin”. Bisa jadi, karena saya sudah bosan dengan kelakuan para pemimpin di ranah manapun yang tadinya berjanji melayani, tapi praktiknya minta dilayani. Contohnya, kalau berkunjung ke wilayah pelayanan, mereka minta dijemput dalam suasana gempita dan seterusnya. Banyaklah kelakuan mereka yang seperti itu dan aneh-aneh. Dan benar! Penyambutan” yang dilakukan itu mereka nikmati sekali.
Kesimpulan dari hasil ”penelusuran kecil” tersebut, engkau adalah sosok yang terluka jika mereka yang kecil terabaikan dan terus-menerus menjadi korban, apalagi oleh mereka yang berjanji akan menjadi pelayan untuk mereka dan semua.
Keinginanmu itu kemudian antara lain muncul dalam ungkapanmu bahwa ”Seorang gembala harus berbau domba”. Serta merta, gambar atau lukisan ”Yesus yang memanggul domba” muncul di pelupuk mata saya ketika membaca ungkapan tersebut. Saya lalu membayangkan, keringat Yesus dan domba itu pasti bercampur.
Engkau tentu menghendaki para gembala atau pemimpin itu sungguh-sungguh hadir dalam hidup dan jatuh bangun perjuangan kawanan gembalaan atau orang-orang yang mereka pimpin. Ya, agar mereka tidak hanya berbau parfum mahal nan bermerk, tapi juga beraroma keringat dari mereka yang tidak pernah terkena sejenis deodoran jenis apa pun.
Bah! Saya juga langsung membayangkan betapa beratnya jika ini benar-benar dilakukan. Tapi serentak dengan itu, saya juga mengkhayalkan betapa indahnya jika itu terjadi.
Pikir saya, bagaimana pun hasilnya, ya itulah. Yang terpenting dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terukur.
Nomen est Omen
Sebagaimana biasa, hal yang saya lakukan tatkala melihat hal-hal baik atau sebaliknya hal buruk yang dilakukan seseorang adalah mencermati arti pada nama yang tersematkan atau dikasih pada orang yang bersangkutan. Saya sedikit terpengaruh oleh Plautus dengan ungkapannya Nomen est omen atau nama adalah pertanda.
Terjemahan bebas dari ungkapan Plautus ini di antara masyarakat: nama adalah doa. Doa dari siapa? Dari pemberi nama itu, yakni kedua orang tua anak itu. Karenanya, tidak sembarangan orang tua memberi nama pada anaknya. Tak ada orang bernama ”Julius Ular Beludak” atau ”Emanuel Tikus Liar” dan sebagainya.
Dan saya yakin, ayah dan ibumu: Mario José Bergoglio dan Regina María Sívori tidak asal memberi nama Jorge Mario Bergoglio padamu. Dan benar! Makna yang terkandung dalam namamu terlihat atau terpancar dari hidup, laku dan pelayananmu.
Saya temukan, dalam bahasa Spanyol dan bahasa-bahasa serumpun, Jorge berarti petani. Ya, petani dengan karakter sangat berbakat, inovatif, rajin, pekerja keras, penuh semangat, mudah beradaptasi.
Sedangkan Mario mengandung makna sensitif, mandiri, memiliki motivasi diri, lembut, baik, rajin, selalu diberkati. Mario juga berarti memiliki jiwa pembimbing dan penyembuh.
Sementara nama keluarga atau ”marga” Bergoglio dalam bahasa Italia berarti cemerlang.
Betapa bangganya kedua orang tuamu, ternyata dalam dirimu, nomen telah menjadi omen. Anak mereka Jose Maria Bergoglio telah menjadi ”Seorang petani atau pekerja berhati lembut di ladang Tuhan dengan semangat yang cemerlang”.
Selamat datang ke Indonesia, The Great Pope Francesco. Tuhan Yesus memberkati, memberimu kesehatan, semangat dan umur yang panjang.
Peluk erat anakmu, Emanuel Dapa Loka