Bagi umat Katolik, berlutut merupakan salah satu gerakan fisik paling khas dalam doa selama perayaan Misa. Bahkan, selama berabad-abad, umat beriman awam Ritus Romawi berlutut hampir sepanjang Misa.
Meskipun benar bahwa berdiri saat berdoa merupakan postur umum umat Kristen awal (dan saat ini dipertahankan oleh banyak umat Kristen Timur selama Liturgi Ilahi), berlutut juga merupakan bagian dari tradisi Kristen awal.
Menurut Kardinal Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI), berlutut merupakan sesuatu yang sangat tidak disukai oleh budaya Yunani dan Romawi.
Ratzinger menulis dalam bukunya Spirit of the Liturgy, “Jika kita menilik sejarah, kita dapat melihat bahwa orang Yunani dan Romawi menolak berlutut. Berlutut tidak layak bagi orang merdeka, tidak cocok untuk budaya Yunani, sesuatu yang dilakukan oleh orang barbar.
Plutarch dan Theophrastus menganggap berlutut sebagai ekspresi takhayul. Aristoteles menyebutnya sebagai bentuk perilaku barbar.”
Ratzinger mengklaim bahwa berlutut tidak berasal dari budaya mana pun. Itu berasal dari Alkitab dan pengetahuannya tentang Tuhan.
Secara khusus, Santo Lukas, yang dalam seluruh karyanya (baik Injil maupun Kisah Para Rasul) secara khusus adalah teolog doa berlutut, memberi tahu kita bahwa Yesus berdoa sambil berlutut. Doa ini, doa yang digunakan Yesus saat memasuki Sengsara-Nya, adalah contoh bagi kita.
Umat Katolik berlutut karena Yesus berlutut saat berdoa. Selain itu, berlutut biasanya terlihat dalam Injil sebagai cara untuk mengungkapkan permohonan dan pemujaan.
Sering kali dalam Perjanjian Baru berlutut didahului oleh tindakan iman, “Aku percaya, Tuhan,” dan diakhiri dengan tindakan penghormatan kepada keagungan Allah (lih. Yohanes 9:35-38).
Di tempat lain, seperti dalam banyak kisah penyembuhan, orang tersebut dihadirkan berlutut dalam permohonan, meminta untuk disembuhkan.
Karena alasan ini Ritus Romawi memerintahkan umat beriman untuk berlutut selama Misa khususnya ketika Yesus dihadirkan di altar.
Menurut Instruksi Umum Misale Romawi, di Keuskupan Amerika Serikat, [umat beriman] harus berlutut mulai setelah menyanyikan atau mendaraskan Sanctus (Kudus, Kudus, Kudus) hingga setelah amin pada Doa Syukur Agung.
Postur fisik ini dimaksudkan untuk mengungkapkan sikap spiritual penghormatan di hadapan Allah Tritunggal, yang benar-benar dan secara hakiki hadir dalam Ekaristi Kudus.
Ini adalah tindakan kerendahan hati, mengakui kehinaan kita sendiri di hadapan Sang Pencipta dunia. Tindakan berlutut mempersiapkan hati kita untuk menerima Tuhan dalam jiwa kita, menghancurkan kesombongan kita dengan pengingat fisik tentang seperti apa jiwa kita seharusnya secara rohani.
Dengan cara ini, berlutut dalam konteks liturgi Romawi secara langsung terkait dengan kehadiran Yesus dalam Ekaristi.
Meskipun secara resmi bukan bagian dari Ritus, merupakan kebiasaan umum di beberapa gereja untuk mempertahankan posisi berlutut sampai hosti yang telah dikonsekrasi ditempatkan kembali di dalam tabernakel.
Berlutut selama Misa adalah posisi kuno, yang mengungkapkan kebenaran rohani yang mendalam yang terhubung dengan Kehadiran Nyata Yesus di altar. (Aleteia)