Fri. Nov 22nd, 2024
Anthony Dio Martin

Oleh Anthony Dio Martin

Uni-eropa-kutuk-tindakan-rasisme.

Hati kita sedih! Amerika sempat diguncang lagi oleh isu rasisme. Ini berawal dari kejadian di tanggal 25 Mei 2020. Seorang polisi di Minneapolis bernama Derek Chauvin, dengan lututnya menekan tenggorokan seorang kulit hitam bernama George Floyd selama hampir 9 menit. Ini membuat Floyd tidak bisa bernafas lantas meninggal, padahal dia sudah katakana, “Aku nggak bisa nafas”. Akibatnya, gelombang kemarahan terjadi. Apa boleh buat, isu dan luka lama soal rasisme mencuat kembali!

Memang, rasisme itu tidak pernah adil!  Rasisme selalu menyenangkan bagi yang melakukan, tetapi sangat menyakitkan bagi korban. Terkadang, banyak orang yang melakukan tindakan rasistis, tidak pernah mempertimbangkan jika dialah yang jadi korban rasisme itu.

Karena itulah, pada tahun 1968, seorang peneliti bernama  Jane Elliot melakukan penelitian di Iowa, Amerika soal bagaimana rasanya menjadi korban rasisme. Saat itu, masalah kulit hitam dan kulit putih menjadi masalah besar di Amerika.

Pertama-tama, ia mengumpulkan semua siswa berkulit putih, lalu, membagi menjadi dua kelompok: yang bermata biru dan bermata coklat. Pertama-tama, ia mengumumkan bahwa yang bermata biru itu lebih unggul. Bahkan beberapa hak khusus diberikan kepada anak bermata biru. Kepada anak-anak bermata biru diberi tahu bahwa mereka lebih unggul dari anak bermata coklat. Selama beberapa hari berikutnya, anak-anak bermata bitu dibiarkan menentukan sikapnya kepada yang bermata coklat. Apa yang terjadi?

Hasilnya adalah, sifat anak-anak bermata biru, langsung berubah. Mereka menjadi sangat sombong. Mereka pun mulai membully anak-anak bermata coklat. Yang lebih parah, anak-anak bermata coklat mulai mengalami depresi, tapi juga cenderung menjadi lebih kompak dan cenderung melawan. Hasil rapor mereka juga cenderung lebih rendah hasilnya.

Beberapa waktu kemudian, peran ini dibalik. Guru-guru mulai menganakemaskan anak bermata coklat. Dan hasilnya ternyata, anak bermata coklat pun mulai melecehkan dan membully anak bermata biru.

Beberapa waktu kemudian eksperimen ini dihentikan dan anak-anak merasa sangat lega. Mereka pun mendapatkan pembelajaran penting betapa tidak enaknya menjadi pihak yang jadi korban diskriminasi itu.

Hentikan! Siapa pun bisa jadi korban.

Begitulah di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan bagaimana rasisme, diskriminasi dan pembedaan dilakukan. Suatu suku, agama, ras atau golongan merasa lebih baik daripada yang lain. Dan atas dasar itu yang mayoritas melakukan diskriminasi ataupun rasisme terhadap yang minoritas. Hal ini terjadi di Eropah, Amerika, Afrika Selatan, bahkan hingga sekarang berbagai diskriminasi masih saja terjadi. Sayangnya, pihak minoritas yang merasa didiskriminasi dan berteriak-teriak anti diskriminasi, ketika menjadi mayoritas, mereka ternyata suka melakukan diskriminasi. Sebagai contoh, bangsa Yahudi pernah didiskriminasi di zaman Nazi. Banyak yang sampai dibunuh. Tetapi, ketika Israel terbentuk dengan mayoritas Yahudi, ternyata mereka pun melakukan diskriminasi kepada pihak non-Yahudi.

Begitulah, kadang kita pun bisa jadi berteriak-teriak anti diskriminasi ketika hal itu merugikan kita. Tapi, saat kita yang diuntungkan, kita pun menggunakan berbagai alasan untuk membenarkan diskriminasi yang kita lakukan. Ini sama halnya seorang pencuri yang merasa tidak apa-apa tatkala ia mencuri, tetepai ketika ia kecurian, ia berteriak-teriak marah karena barangnya dicuri.

Seharusnya, siapa pun yang menjadi korban rasisme dan siapapun yang melakukannya, kita harus tetap berteriak stop rasisme, dalam bentuk apa pun, oleh pihak mana pun, dan kepada siapa pun!

Sebenarnya kalau kita bicara soal rasisme, kita harus selalu mengingat yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “Hasil dari pemahaman yang keliru ada dua: kemarahan dan kebencian kepada orang lain, khususnya yang berbeda dengan kita”.

Marilah kita belajar untuk bisa hidup berdamai, hidup bertoleransi, serta berempatilah dengan yang warna kulit, ras, suku ataupun golongan yang berbeda. Jika tidak, maka kita tidak memiliki hak berteriak-teriak marah, tatkala orang yang sesuku, sepaham, atau yang seperti dengan diri kita didiskriminasikan.

Yang namanya rasisme, diskriminasi, pembedaan atau bully kepada siapa pun yang berbeda, dengan cara apa pun, sama sekali tidak bisa dibenarkan.

So, bagaimanakah kita mulai menghentikan rasisme ini? Pertama-tama, mulailah dari diri sendiri. Jangan hanya non-rasisme, tapi anti-rasisme. Berhentilah membuat stereotype, melabel atau mencap orang dari suku atau kelompok tertentu. Dan beranilah dengan lantang berteriak “STOP” ketika kalimat nada rasisme itu muncul di mana pun!

Kedua, perluaslah pergaulan kita. Rasisme seringkali muncul karena kurang pergaulan dan kurang berinteraksi. Akibatnya, muncul semacam penilaian bernuansa rasis.

Ketiga, ingatlah jangan melanjutkan. The hatred stops here. Jangan diteruskan lagi, apalagi dengan membalas dendam! Ujung-ujungnya, siklus ini tidak akan pernah selesai. Kebencian, tidak bisa dibalas dengan kebencian.

Dan akhirnya, sekali lagi, Ingatlah akibat jangka panjang dari sikap rasistis dan diskrimasi ini. Kalau kita biarkan, akan terjadi balas membalas yang ujung-ujungnya semua dirugikan. Karena kalau bukan kita yang berani teriak kepada siapa pun yang melakukannya, maka suatu ketika, kita pun ditindas!! Ayo kita stop emosi-emosi negatif yang memicu rasisme ini!

Anthony Dio Martin: Writer, inspirator, speaker, entrepreneur (WISE). CEO Excellency dan penulis 18 buku best seller penerima Peenghargaan MURI. Narasumber tetap acara “Smart Emotion” di radio smartfm. Executive coach, yang oleh media dijuluki “The Best EQ Trainer Indonesia”. IG @anthonydiomartin; youtube channel: Anthony Dio Martin Official.

Related Post

Leave a Reply