Oleh Pater Kimy Ndelo CSsR, Dari di Biara Redemptoris Cebu-Filipina
Kisah ini terjadi sebelum perang dunia II. Saat itu seorang ibu sedang bersiap melahirkan anak pertama di rumah sakit. Seperti biasanya di kamar rumah sakit ada salib Kristus tergantung. Calon bapak yang adalah ateis berkata: “Saya tidak ingin anak saya yang baru lahir melihat Kristus di salib itu. Pindahkan salib itu dari kamar ini”.
Permintaan bapak itu dituruti. Esoknya istrinya melahirkan. Bapak itu dengan penuh antusias bertanya kepada dokter bagaimana keadaan anaknya. Dokter itu dengan tenang menjawab: “Anak bapak lahir seperti yang bapak inginkan. Dia lahir dan tidak melihat Kristus.” Bapak itu senang tapi makin penasaran bertanya lagi maksud kata-kata dokter. Dokter menjawab: “Anakmu lahir buta”.
“Manusia dapat bertahan seminggu tanpa air, dua minggu tanpa makanan, bertahun-tahun tanpa rumah, tetapi tidak dengan kesepian. Itulah yang paling buruk dari semua penyiksaan, yang paling buruk dari semua penderitaan.”
Orang merasa kesepian di dalam keramaian, sunyi dalam kerumunan, merasa sendirian dalam kebersamaan. Itulah pengalaman Bartimeus, yang jauh lebih buruk dari keadaan buta sejak lahir.
Bartimeus buta, itu bukan permintaannya. Juga bukan kesalahannya. Dia mendapati dirinya buta sejak lahir. Itulah yang dia tahu dan miliki.
Tetapi dalam keadaan ini dia harus berhadapan dengan situasi yang jauh lebih buruk. Dia kesepian. Sendirian. Ketika dia ingin menjumpai Yesus, orang-orang mencegah dia. Ketika dia berseru: “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku,” orang-orang menyuruh dia diam.
Bukannya membawa dia mendekati Yesus, mereka malahan hendak menjauhkan dia dari Yesus.
Hanya satu yang datang mendekati dan menjumpai dia. Tiada lain selain Yesus. Hanya satu yang meminta dia dibawa mendekat. Dialah Yesus.
Apa yang dialami Bartimeus adalah wujud konkret mimpi orang-orang Yahudi akan makna pembebasan. Ketika mereka ditawan di Babilon, pada saatnya mereka dibawa pulang, dibebaskan oleh Allah. “Di antara mereka ada orang buta dan lumpuh” (Yer 31: 8).
Pengalaman Bartimeus ini menyadarkan kita akan orang-orang yang kurang beruntung di sekitar kita. Mereka lapar di tengah kemakmuran masyarakat. Mereka tak punya pakaian layak di tengah gegap gempita pesta di mana-mana. Mereka sakit di tengah orang-orang yang sedang bersukacita.
Hellen Keller, yang buta sejak usia 18 bulan, suatu ketika bertanya kepada temannya yang baru pulang wisata dari hutan, “Apa yang kamu lihat di sana”. Temannya menjawab, “Tak ada yang istimewa”.
Hellen Keller mengatakan ini sebagai sesuatu yang aneh. Saya, yang buta dan tuli, dengan hanya menyentuh sesuatu menemukan hal yang luar biasa. Saya bisa merasakan hal yang menakjubkan dengan meraba sesuatu perlahan, batang pohon yang permukaannya kasar, daun yang lembut, syukur-syukur mendengar kicauan burung yang merdu.
Bencana paling besar yang dapat menimpa orang, bukan bahwa mereka dilahirkan buta. Tetapi bahwa mereka mempunyai mata namun tak bisa melihat. Termasuk melihat sesama yang kurang beruntung. Khususnya mereka yang kesepian.
Bersyukurlah kita mempunyai mata dan bisa melihat.