Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, dan Kandidat Doktor Filsafat STF Driyarkara
Pendidikan karakter berperan penting sebagai solusi antisipasi tawuran di kalangan remaja dengan mengajarkan nilai-nilai toleransi, disiplin, dan empati.
Melalui pendekatan holistik, pendidikan dapat membentuk karakter remaja dalam menghargai perbedaan, memahami konflik secara konstruktif, dan mampu mengelola emosi. Program pendidikan yang menekankan pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi juga dapat mengurangi potensi kekerasan.
Kegiatan ekstrakurikuler positif, seperti olahraga, seni, dan debat memberikan wadah bagi remaja mengekspresikan diri secara sehat dan produktif. Peran guru dan orang tua sebagai teladan dalam menyampaikan nilai-nilai anti-kekerasan sangat penting. Dengan demikian, pendidikan berfungsi sebagai sarana pencegahan, membimbing remaja menuju sikap lebih dewasa dan bertanggung jawab.
Kasus tawuran di kalangan remaja dalam 20 tahun terakhir khususnya di kota-kota besar, mencerminkan adanya krisis pendidikan karakter di daerah tersebut.
Kasus demikian, pasca kejadian seharusnya dapat menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan bagaimana pendidikan dapat berperan dalam mengatasi persoalan tawuran remaja. Max Weber (1964), dalam teori mengenai otoritas dan tindakan sosial, menekankan pentingnya kontrol sosial dalam membentuk perilaku individu.
Dalam konteks tersebut, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai proses pengajaran dan pembelajaran, tetapi juga mampu menghasilkan otoritas moral yang dapat menuntun remaja agar berperilaku sesuai norma dan aturan.
Artinya, sistem pendidikan kita perlu menanamkan nilai-nilai disiplin, toleransi, dan penghormatan terhadap orang lain sejak dini.
Pendekatan berbasis dialog seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire (2000) dalam Pedagogy of the Oppressed perlu diterapkan. Remaja perlu dilibatkan dalam proses pendidikan sebagai subjek yang memiliki peran aktif, bukan sekadar objek pasif menerima perintah. Pendekatan ini memungkinkan remaja mengembangkan kemampuan reflektif dan kritis terhadap tindakan mereka, sehingga mengurangi potensi konflik antar-kelompok.
Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, memiliki visi pendidikan yang berfokus pada kebebasan, kepribadian, dan karakter. Menurut beliau, pendidikan perlu membangun kesadaran akan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Dengan pendekatan pendidikan yang berbasis pada tut wuri handayani (memberi dorongan dari belakang), ing madya mangun karsa (membangun niat di tengah), dan ing ngarso sung tulodo (memberi teladan di depan), kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan moral dan karakter remaja.
Untuk mencegah kasus tawuran lebih lanjut, pemerintah dan sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter yang menekankan pada nilai-nilai kebersamaan, dialog, dan perdamaian.
Pendekatan ini memerlukan keterlibatan seluruh pihak: keluarga, sekolah, komunitas, dan lembaga keamanan. Pola pendidikan berbasis partisipatori dan dialogis, sebagaimana digagas oleh Paulo Freire, akan lebih efektif daripada pendekatan represif yang cenderung menimbulkan perlawanan dari remaja.
Pendidikan formatif merupakan kunci utama dalam mengatasi persoalan tawuran di kalangan remaja. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai media pembentukan karakter yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan mengintegrasikan konsep pendidikan holistik, kita dapat membentuk remaja menjadi individu yang memiliki kesadaran sosial dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar.
Melalui implementasi nilai-nilai sosial seperti toleransi, empati, dan kerja sama, remaja akan belajar memahami arti penting hidup berdampingan secara damai dan menghargai perbedaan.
Proses pembelajaran yang mengedepankan dialog dan interaksi sehat antar siswa juga dapat mencegah sikap agresif yang kerap menjadi penyebab tawuran.
Pendekatan dialogis dalam pendidikan memainkan peran penting dalam mengatasi konflik di kalangan remaja.
Dengan mendorong remaja untuk menyampaikan pendapat, mendengarkan pandangan orang lain, dan memahami perspektif berbeda, mereka akan lebih mampu menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.
Integrasi cita-cita Ki Hajar Dewantara dalam kurikulum pendidikan karakter menjadi landasan signifikan dalam menanamkan nilai-nilai luhur, seperti budi pekerti dan kesadaran diri, dalam keseharian remaja.
Pembiasaan hidup baik—tidak hanya terjadi di sekolah tetapi juga di rumah dan lingkungan masyarakat—akan membentuk remaja lebih bijaksana dalam bersikap.
Dengan demikian, pendidikan memiliki peran vital dalam menghasilkan generasi muda yang menghargai keberagaman dan menolak kekerasan.