Oleh Alfred B. Jogo Ena, Kolomnis dan editor
Gereja Katolik dihadapkan pada tantangan terkait penerimaan kaum LGBT dalam konteks ajaran dan tradisi yang telah ada.
Pertanyaan tentang apakah Gereja harus menerima kaum LGBT tidak hanya berkaitan dengan sikap pastoral, tetapi juga dengan pemahaman tentang cinta dan penghormatan terhadap martabat setiap individu.
Ada argumen kuat bahwa semua orang, tanpa memandang orientasi seksual, diundang untuk menjadi bagian dari komunitas iman, mendapatkan kasih, dan didukung dalam perjalanan hidupnya.
Dasar biblis mengenai perlunya penerimaan kaum LGBT sering ditemukan dalam ajaran Yesus tentang kasih.
Dalam Injil Matius 22:39, Yesus mengajarkan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Prinsip ini seharusnya melampaui batasan seksual dan mengajak umat untuk mencintai tanpa syarat.
Selain itu, dalam kitab Kejadian 1:27, ditegaskan bahwa semua manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang menandakan bahwa setiap individu, termasuk yang berasal dari komunitas LGBT, memiliki nilai dan martabat yang tidak bisa diabaikan.
Selain itu, dalam tulisan-tulisan resmi Gereja, terdapat pandangan yang mengajak pendekatan kasih dan pengertian.
Dalam dokumen “Pastoral Care for Homosexual Persons” yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Doktrin Iman pada tahun 1986, Gereja mengakui bahwa orang dengan kecenderungan homoseksual harus diperlakukan dengan hormat, belas kasih, dan sensitivitas.
Ini menunjukkan bahwa Gereja mengakui keberadaan orang-orang LGBT, dan menyerukan untuk mendukung mereka dalam pencarian spiritual mereka tanpa mengabaikan kebangkitan moral dan pendalaman iman.
Paus Fransiskus, dalam ensiklik “Amoris Laetitia,” menekankan pentingnya pastoral yang inklusif dan empatik, yang selaras dengan pengertian tentang kasih dan penerimaan.
Paus Fransiskus menekankan berulang kali pentingnya menghindari pengucilan, dan sebagai respons, umat Katolik diundang untuk mendengarkan dan menemani setiap individu dalam perjalanan spiritual mereka.
Dengan demikian, penerimaan kaum LGBT tidak hanya sebuah tindakan toleransi tetapi juga suatu panggilan untuk mewujudkan cinta Kristiani yang sejati, merangkul setiap orang dalam kebajikan dan kehangatan, dan menempatkan kasih kepada sesama sebagai pusat dari kehidupan beriman.
Jika demikian, tidak ada alasan bagi para imam untuk menolak melayani permintaan misa khusus untuk komunitas ini.
Dengan melayani misa bukan berarti Romonya ikutan LGBT, tetapi memberikan pelayanan kepada semua umat yang meminta (bukankah ini termasuk pelayanan kategorial?).
Keuskupan Agung Semarang bahkan memiliki Kevikepan Kategorial (ada kurang lebih 120-an komunitas, termasuk LGBT ini).
Sayangnya waktu Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Yogyakarta menulis dua seri buku Rumpun Yang Merimbun—kebetulan saya yang mengeditnya, kelompok ini tidak bersedia memberikan nara sumber untuk diwawancarai (buku ini berisi profile komunitas-komunitas kategorial).
Bisa jadi karena mereka merasa gereja belum siap menerima mereka dengan sepenuh hati dan cinta, seperti yang sering digembar-gemborkan hampir setiap hari dalam WAG atau youtube renungan.