Wed. Jan 22nd, 2025

Jangan ”Doakan” Doa Bapa Kami Lagi, dan Hati-hati dengan ”Putera”

Oleh Emanuel Dapa Loka

Loh! Ada apa? Kok, ada larangan ”Mendoakan Doa Bapa Kami?” Jangan-jangan ini ajaran sesat dan menyesatkan? Sangat mungkin pertanyaan yang disertai rasa heran tersebut muncul dalam pikiran anda setelah membaca judul di atas. Lantas, ada apa pula dengan ”Putera”?

Jangan salah sangka. Saya tidak sedang melarang anda berdoa. Siapalah saya ini sehingga berani-berani melarang anda berdoa, apalagi Bapa Kami adalah doa yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan. Doa ini tersua dalam Injil Matius 6:9-13 dan Injil Lukas 11:2-4.

Mari cermat sejenak. Seringkali kita mendengar ajakan dalam berbagai kesempatan baik dari pemimpin ibadat maupun Misa: Mari kita mendoakan Doa Bapa Kami. Tentu Anda pernah mendengar ajakan tersebut.

Segera setelah ajakan tersebut, secara bersama-sama umat mengucapkan Doa Bapa Kami itu. Ada mengucapkan cepat-cepat seperti dikejar harimau dari belakang sehingga selesai lebih dahulu. Sebagian besar mengucapkannya dengan irama yang sama sehingga sama-sama tiba pada pengakhir doa, yakni ”Amin” yang bermakna kesetujuan atau iya atau sepakat dengan isi doa.

Lalu di mana persoalannya? Terletak pada kata ”Mendoakan”.  Mendoakan berasal dari kata dasar ”Doa”. Setelah mendapat konfiks, yakni awalan me dan akhiran kan, ia mengandung arti melakukan tindakan ”Berdoa supaya”. Misalnya mendoakan orang sakit supaya yang bersangkutan lekas sembuh, atau agar sabar menganggung rasa sakit. Atau mendoakan seseorang yang berulang tahun agar sehat selalu, panjang umur dan lekas mendapat jodoh.

Bagaimana dengan tindakan ”Mendoakan Doa Bapa Kami?” Setiap kali mendengar ajakan ”Marilah kita mendoakan Doa Bapa Kami”, saya sering bergumam ”Ada apa dengan Doa Bapa Kami, sehingga perlu didoakan?” Gumaman tersebut acap muncul karena saya merasa terganggu, walau saya paham maksud dari pengajak.

Doa Bapa Kami tidak sedang ”Kenapa-kenapa” alias sedang baik-baik saja sehingga tidak perlu didoakan. Sebenarnya, ini soal pilihan kata saja yang kurang tepat.

Daripada mengatakan ”Marilah kita mendoakan Doa Bapa Kami”, mengapa tidak mengatakan ”Marilah kita mendaraskan Doa Bapa Kami”? Atau kalau mau, bisa ditambahkan: Marilah kita mendaraskan Doa Bapa Kami dengan penuh keyakinan”.

Hati-hati dengan ”Putera”

Selain kekeliruan tersebut, terdapat juga salah kaprah atau kesalahan lain, atau tidak disadari lagi sebagai kesalahan, atau malah sudah dianggap benar karena telah berulang-ulang dipakai (dan terterima?).

Apa itu? Sebagai orang Katolik, setiap kali berdoa, kita selalu melakukan gerakan membuat tanda salib sambil berucap ”Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Selain yang dilafalkan, forma yang sama tertera pada buku-buku doa.

Atau, perhatikan setiap kali imam membuka Misa dengan menyanyikan forma tersebut. Sepengamatan saya, yang terdengar adalah ”Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”? Yang terucap dan yang tertulis adalah ”Putera”, bukan?

Lalu, apa atau di mana masalahnya? Arti kata putera tersebut sangat berbeda dengan kata yang sesungguhnya dimaksud dalam doa itu.

Sangat pasti yang dimaksud dalam doa (dengan kata putera) adalah sebutan atau kata yang searti dengan kata laki-laki, yakni putra, merujuk pada Tuhan Yesus sebagai Putra Allah. Tapi yang digunakan adalah kata ”Putera” yang sesungguhnya adalah akronim dengan kepanjangan ”Pusat tenaga rakyat”.

Tidak ada hubungan Putera (dengan huruf e) dengan kata putra atau laki-laki, bukan? Bahkan kata putera tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Mungkinkah liturgi kita mau menyumbang ragam kata tersendiri? Entalah.

Kalau sisipan e pada putera hanya terasa dalam ucapan atau lafal, barangkali bisa dimaklumi. Kehadiran e semacam inilah yang dimaksud oleh ahli bahasa Dr. Gorys Keraf dalam Tata Bahasa Indonesia (halaman 39), Nusa Indah (1970) dengan ”Suara bakti” yang berfungsi sebagai pelancar ucapan. Bunyi e pepet antara t dan r pada kata putera sama sekali tidak mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

Putera (Pusat Tenaga Rakyat) adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Jepang pada 16 April 1943. Organisasi ini bertujuan untuk menggerakkan rakyat Indonesia untuk membantu Jepang dalam perang melawan Sekutu.

Jadi, memakai kata ”Mendaraskan” lebih tepat daripada kata ”Mendoakan” untuk konteks di atas. Lalu, karena kata ”Putera” itu sama sekali berbeda arti dengan kata ”Putra”, maka sebaiknya kita menggunakan kata ”Putra ”yang memang sesuai dengan yang dimaksud.

Kita tunggu urun rembug dari  para ahli bahasa dan ahli liturgi.*

Related Post