
Setiap dari kita pasti sudah sangat sering melakukan Jalan Salib di gereja atau di tempat-tempat ziarah. Tapi tahukah kita alasan sesungguhnya dan manfaat dari melakukan Jalan Salib itu? Di bawah ini alasan dan penjelasannya…
Jalan Salib telah menjadi salah satu devosi Katolik yang penting sejak 1.681 tahun lalu dan terus berlanjut hingga zaman modern dewasa ini. Devosi ini telah menjadi devosi populer di semua paroki, khususnya selama masa Prapaskah, masa persiapan Paskah.
”Devosi ini membawa umat ke dalam suatu ziarah batin dan permenungan mendalam tentang kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus”. Ini penyebab berdoa Jalan Salib itu sangat popular dan dianggap penting.
Di Jalan Salib, umat menelusuri jejak Jalan Tuhan kita Yesus Kristus dari gedung pengadilan gubernur Romawi kelima, Pontius Pilatus, ke puncak Golgotha, Kalvari, hingga makam Kristus.
Dengan devosi ini pula, umat menyatukan seluruh pengalaman penderitaan mereka sendiri dengan penderitaan Tuhan sambil memohon kekuatan ilahi Tuhan bagi mereka, juga bagi sesama manusia lain yang juga sedang mengalami aneka masalah hidup yang berat.
Oleh sebab itu, kiranya baik bila kita mengetahui kisah sejarah devosi populer ini dan manfaatnya bagi pengembangan iman kita, baik secara pribadi maupun bersama sebagai satu komunitas Gereja.
Jalan Salib, yang dalam bahasa Latin disebut Via Crucis, pada abad ke-16 secara resmi diberi nama Via Dolorosa, yang dapat kita terjemahkan dengan Jalan Sengsara, Jalan Penderitaan, Jalan Kesedihan dan Dukacita.
Dengan devosi Jalan Salib, kita bermaksud mengenang dengan penuh kasih sayang tahap terakhir perjalanan yang Yesus lalui dalam kehidupan duniawi-Nya: sejak Ia dan para pengikut-Nya, setelah Mazmur dinyanyikan, berangkat ke Bukit Zaitun (Mrk 14:26), hingga diadili di istana gubernur Pontius Pilatus, lalu dibawa ke tempat yang disebut Golgota, Tempat Tengkorak (Mrk 15:22), untuk disalibkan dan kemudian dikuburkan di sebuah taman di dekatnya, di sebuah makam baru yang dipahat dari batu.
Jalan Salib biasanya dilakukan pada hari Rabu dan Jumat selama masa Prapaskah, tetapi dapat juga dilakukan kapan saja sepanjang tahun di rumah.

Sekilas Sejarah Asal-usul Jalan Salib
Tradisi menyatakan bahwa setiap hari Bunda Maria selalu mengunjungi tempat-tempat sengsara Tuhan kita.
Sejarah mencatat bahwa devosi Jalan Salib ini baru dimulai pada abad ke-4 ketika Kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung dengan Dekrit Milano tahun 313 menjadikan agama Kristen sebagai agama negara, dan orang-orang Kristen diizinkan untuk menjalankan iman mereka secara terbuka setelah 250 tahun mengalami berbagai penganiayaan.
Pada tahun 335 M, Kaisar Konstantinus Agung membangun Gereja Makam Suci di tempat yang diyakini sebagai tempat Yesus dimakamkan. Segera setelah itu, orang-orang Kristen mulai berziarah ke Tanah Suci dan ke gereja pada hari Jumat Agung untuk menelusuri kembali perjalanan terakhir Yesus.
Setelah Kaisar Konstantinus Agung melegalkan agama Kristen pada tahun 313 M, jalan ini ditandai dengan perhentian-perhentian atau stasi-stasi yang penting.
St. Jerome yang dikenal dengan nama St. Hieronimus (342-420), yang tinggal di Betlehem selama akhir hidupnya, bersaksi tentang banyaknya peziarah dari berbagai negara yang mengunjungi tempat-tempat suci ini dan mengikuti Jalan Salib.
Menariknya, St. Sylvia dalam Peregrinatio ad loca sancta (380) yang menguraikan berbagai praktik keagamaan secara terperinci, tidak menyebutkan praktik atau rangkaian doa tertentu untuk setiap perhentian. Namun, kelalaian ini tidak berarti bahwa para peziarah tidak benar-benar mengikuti Jalan Salib sambil berdoa.
Popularitas devosi ini terus berkembang. Pada abad kelima, berkembang minat Gereja untuk “mereproduksi” tempat-tempat suci di daerah lain sehingga para peziarah yang tidak dapat benar-benar pergi ke Tanah Suci dapat melakukannya dengan cara yang penuh devosi spiritual di dalam hati mereka.
Misalnya, St. Petronius, Uskup Bologna, membangun sekelompok kapel di biara San Stefano yang menggambarkan tempat-tempat suci yang lebih penting di Tanah Suci, termasuk beberapa perhentian.
Gagasan yang sama mengilhami pembangunan Biara Fransiskan di Washington, tempat orang dapat mengunjungi dan melihat replika Kapel Betlehem, makam Tuhan kita, dan tempat-tempat suci penting lainnya di Tanah Suci.
Pada tahun 1342, para biarawan Fransiskan ditunjuk sebagai penjaga tempat-tempat suci di Tanah Suci.
Umat beriman menerima pengampunan dosa jika berdoa di tempat-tempat perhentian berikut: Di rumah Pilatus, tempat Kristus bertemu dengan ibu-Nya, tempat Ia berbicara kepada para wanita, tempat Ia bertemu Simon dari Kirene, tempat para prajurit menanggalkan pakaian-Nya, tempat Ia dipaku di kayu salib, dan di makam-Nya.
Pencetus Istilah ”Perhentian”
William Wey, seorang peziarah Inggris, mengunjungi Tanah Suci pada tahun 1458 dan sekali lagi pada tahun 1462, dan dianggap sebagai orang yang mencetuskan istilah ”perhentian”. Ia menggambarkan cara seorang peziarah mengikuti jejak Kristus.
Sebelum masa ini, jalan yang ditempuh biasanya mengikuti jalan yang berkebalikan dengan jalan yang kita lalui saat ini. yaitu bergerak dari Gunung Kalvari ke rumah Pilatus. Yang terjadi sekarang justru kebalikannya, yaitu dari rumah Pilatus ke Kalvari dan makam Yesus.
Ketika orang-orang Turki Muslim memblokir akses ke Tanah Suci, replika tempat-tempat perhentian didirikan di pusat-pusat spiritual populer, termasuk Biara Dominika di Cordova dan Biara Santa Klara di Messina (awal tahun 1400-an); Nuremberg (1468); Louvain (1505); Bamberg, Fribourg dan Rhodes (1507); dan Antwerp (1520).
Banyak dari tempat-tempat perhentian ini diproduksi oleh seniman terkenal dan dianggap sebagai mahakarya saat ini.
Pada tahun 1587, Zuallardo melaporkan bahwa orang-orang Muslim melarang siapa pun “untuk berhenti, atau untuk memberikan penghormatan kepada tempat-tempat perhentian dengan kepala yang tidak tertutup, atau untuk melakukan demonstrasi lainnya,” pada dasarnya menekan devosi ini di Tanah Suci. Meskipun demikian, devosi ini terus tumbuh dalam popularitas di Eropa.
Pada saat ini, jumlah tempat perhentian bervariasi. Catatan William Wey memiliki 14 tempat perhentian, tetapi hanya 5 yang sesuai dengan yang kita kenal. Beberapa versi mencakup rumah Dives (orang kaya dalam kisah Lazarus), gerbang kota yang dilalui Kristus, dan rumah Herodes dan Simon orang Farisi.
Pada tahun 1584, sebuah buku yang ditulis oleh Adrichomius berjudul Jerusalem sicut Christi Tempore floruit memberikan 12 tempat perhentian.
Buku ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan disebarkan secara luas. Pada abad ke-16, buku-buku renungan muncul terutama di Negara-negara yang memiliki 14 tempat perhentian dengan doa untuk setiap tempat perhentian.
Gambar Jalan Salib Masuk Gereja
Praktik memasukkan gambar-gambar artistik Jalan Salib di gereja-gereja baru dimulai sekitar tahun 1686, ketika Paus Innocentius XI mengizinkan para biarawan Fransiskan untuk menghiasi gereja mereka dengan berbagai gambar jalan salib.
Pada tahun 1731, Paus Clement XII mengizinkan semua gereja untuk memiliki stasi dan mempraktikkan devosi ini.
Pada akhir abad ke-17, pembangunan tempat perhentian di gereja-gereja menjadi lebih populer. Pada tahun 1686, Paus Innocent XI, menyadari bahwa hanya sedikit orang yang dapat melakukan perjalanan ke Tanah Suci karena penindasan kaum Muslim.
Dia lalu memberikan hak kepada para Fransiskan untuk mendirikan tempat perhentian di semua gereja mereka dan bahwa indulgensi yang sama akan diberikan kepada umat beriman untuk mempraktikkan devosi ini seolah-olah sedang melakukan ziarah yang sebenarnya.
Paus Benediktus XIII memperluas indulgensi ini kepada semua umat beriman pada tahun 1726. Lima tahun kemudian, Paus Klemens XII mengizinkan stasi didirikan di semua gereja dan menetapkan jumlahnya menjadi 14 stasi.
Pada tahun 1742, Paus Benediktus XIV mendesak semua imam untuk memperkaya gereja mereka dengan Jalan Salib, yang harus mencakup 14 salib dan biasanya disertai dengan gambar atau foto setiap stasi tertentu.
Popularitas devosi ini juga didorong oleh para pengkhotbah seperti St. Leonard Casanova (1676-1751) dari Porto Maurizio, Italia, yang dilaporkan telah mendirikan lebih dari 600 set perhentian di seluruh Italia.
Sampai saat ini, terdapat 14 perhentian tradisional: Pilatus menghukum mati Kristus; Yesus memanggul salib; Yesus jatuh pertama kali; Yesus bertemu dengan Ibu-Nya yang terberkati; Simon dari Kirene membantu memikul salib; Veronika menyeka wajah Yesus; Yesus jatuh kedua kali; Yesus berbicara kepada para wanita Yerusalem; Yesus jatuh ketiga kali; Yesus dilucuti pakaian-Nya; Yesus dipaku di kayu salib; Yesus mati di kayu salib; Yesus diturunkan dari kayu salib; dan Yesus dibaringkan di dalam kubur.
Karena hubungan intrinsik antara sengsara dan kematian Tuhan kita dengan kebangkitan-Nya, beberapa buku renungan sekarang menyertakan perhentian “kelima belas” yang memperingati kebangkitan.

Indulgensi dari Jalan Salib
Indulgensi penuh diberikan bagi mereka yang menjalankan Jalan Salib dengan saleh, berpindah dari satu tempat ke tempat lain di mana mereka berdiri sambil merenungkan sengsara dan wafat Tuhan kita (Enchiridion of Indulgences, #63).
Mereka yang terhalang untuk mengunjungi gereja dapat memperoleh indulgensi yang sama dengan membaca dan merenungkan sengsara dan wafat Tuhan kita dengan saleh selama setengah jam. Pentingnya stasi-stasi dalam kehidupan bakti umat Katolik dibuktikan oleh Paus Paulus VI yang menyetujui versi stasi berdasarkan Injil pada tahun 1975 dan Paus Yohanes Paulus II yang juga telah menulis versinya sendiri.
Mengapa kita tidak merenungkan peristiwa-peristiwa utama dalam penderitaan dan kematian Kristus?
Pertama-tama, tujuan dari stasi adalah untuk membantu umat beriman melakukan ziarah spiritual dalam doa-doa, melalui meditasi atas peristiwa-peristiwa utama penderitaan dan kematian Kristus.
Kedua, meditasi tentang Sengsara Kristus adalah praktik yang sangat membantu kita dalam menghadapi pencobaan dan kesengsaraan kita dan yang mendatangkan rahmat Tuhan atas jiwa.
Dan perhentian adalah bentuk terbaik dari meditasi tersebut; karena gambar di hadapan kita membawa pikiran kita kembali ke Yerusalem. Adegan Sengsara menjadi nyata bagi mata hati dan pikiran kita.
Lebih jauh, Jalan Salib adalah penghiburan bagi kita dalam penderitaan kita dan perlindungan terhadap serangan godaan.
Lebih dari itu, kita melakukan Jalan Salib untuk maju di jalan kesempurnaan. Saat kita bergerak dari perhentian ke perhentian, kita melihat Juruselamat di hadapan kita, memberi kita contoh, menarik kita pada ajakan “Ikutlah Aku” yang penuh kuasa.
Dalam hal ini Jalan Salib adalah sekolah kebajikan yang nyata bagi kita. Di sana kita diajar, bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan contoh yang meyakinkan, untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati; untuk menyangkal diri dan dengan senang hati memikul salib kita.
Yesus Kristus selalu memimpin dengan memberi contoh. Dan Jalan Salib adalah salah satu dari sekian banyak sarana untuk hidup yang Yesus tinggalkan bagi kita.
Dengan merenungkan setiap stasi jalan Salib, kita meningkatkan kesadaran kita atas dosa-dosa kita terhadap Tuhan dan kebutuhan kita akan bantuan rahmat-Nya dalam memikul salib kita sendiri.
Ketika kita merenungkan Jalan Salib, kita dapat mempelajari arti sebenarnya dari kasih, ketekunan, ketaatan, kerendahan hati, dan kesabaran.
Mari kita mengikuti ibadah Jalan Salib dan merenungkan maknanya bagi pertumbuhan iman kita di Jalan Kesempurnaan. Selamat memasuki Masa Puasa, yang kita sebut Pra-Paskah.
Diramu oleh Benyamin Mali dari berbagai sumber, antara lain dari https://catholicstraightanswers.com/what-are-the-origins-of-the-stations-of-the-cross/