
Hari ini kita memasuki TRI HARI SUCI. Rasa-rasanya tepat sekali kita merenungkan beberapa peristiwa yang terjadi seputar Perjamuan Terakhir, khususnya yang peringati pada Hari Kamis Putih, yang jarang kita ketahui detail yang terjadi.
Di bawah ini kami menurunkan kisah penglihatan Beata Anna Katharina Emmerick, khusus penglihatan tentang Piala yang dipakai Yesus dalam Perjamuan Terakhir dan Pembasuhan Kaki.
Sekilas tentang Beata Anna Katharina Emmerick
Anna Katharina Emmerick dilahirkan pada tanggal 8 September 1774 di Flamsche, wilayah Keuskupan Münster, Westphalia, Jerman. Ia berasal dari keluarga petani miskin. Semenjak ia masih kecil, Ia sakit-sakitan, namun dalam keadaan itu, ia justru dianugerahi karunia penglihatan dan nubuat.
Penglihatan dan nubuat ini begitu sering terjadi, sehingga Anna Katharina kecil beranggapan bahwa semua anak-anak dapat melihat Yesus dan Bunda Maria, para kudus, dan jiwa-jiwa di Api Penyucian. Ia dapat mendiagnosa penyakit dan menyarankan pengobatannya. Ia juga dapat melihat dosa-dosa orang.
Pada usia 28 tahun (1802) ia masuk biara Agustinian di Agnetenberg, Dülmen, dimana ia diperlakukan sebagai yang terendah dalam biara, bahkan diperlakukan dengan sikap antipati. Semuanya itu karena karunia-karunia rohani yang diberi Tuhan, ekstasi-ekstasi yang dialaminya baik di gereja, di kamar tidur, maupun di tempat kerjanya, apalagi kesehatannya yang buruk.
Pada tanggal 29 Desember 1811, pukul tiga sore, Yesus yang tersalib menampakkan diri kepadanya dengan luka-luka-Nya memancarkan sinar cahaya. Sinar itu menembusi kedua tangan, kaki dan lambungnya bagaikan panah. Stigmata di kepalanya, yang dianugerahkan kepadanya saat usianya 24 tahun, juga mulai meneteskan darah hingga ia harus membalut kepalanya dengan perban.
Pada tahun 1812, tanda salib muncul di dadanya. Karunia stigmata yang diterimanya disertai juga dengan karunia inedia, yaitu hidup tanpa makanan, hanya dari Komuni Kudus saja, sepanjang hidupnya.
Anna Katharina berusaha menyembunyikan luka-lukanya, tetapi kabar mengenai hal itu akhirnya tersebar juga, dan Bapa Vikaris Jenderal menetapkan dilakukannya suatu penelitian yang panjang serta terperinci.

Pada tahun 1833, tulisan-tulisan yang dibuat oleh Clemens Brentano dipublikasikan sebagai “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ according to the Meditations of Anne Catherine Emmerich” (Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus dari Meditasi B. Anna Katharina Emmerick).
Menyusul pada tahun 1852, “The Life of The Blessed Virgin Mary” dan tiga jilid “Life of Our Lord” dari tahun 1858 hingga 1880 (Kisah Hidup dan Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus dan BundaNya serta Misteri-misteri Perjanjian Lama).
Sementara banyak karya-karya wahyu yang demikian berhubungan erat dengan sisi kerohanian dan gagasan penerima wahyu, ketiga tulisan tersebut sungguh merupakan karangan yang terus terang dan jelas dengan rincian gambaran akan peristiwa-peristiwa, dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Cukup banyak bagian dari tulisan Anna Katharina yang menjadi dasar pembuatan film “The Passion of the Christ” oleh Mel Gibson.
Takhta Suci Vatican sendiri menganjurkan umat beriman membaca tulisan-tulisan Clemens Brentano berdasarkan kisah penglihatan biarawati Agustinian ini, sebagaimana dinyatakan dalam biografi Anna Katharina Emmerick yang dimuat secara online di situs resmi Vatican, “Kata-katanya, yang telah menjangkau begitu banyak orang yang tak terhitung banyaknya dalam berbagai macam bahasa, yang dituturkannya dari kamarnya yang sederhana di Dülmen melalui tulisan-tulisan Clemens Brentano, sungguh merupakan suatu pemakluman luar biasa Injil demi keselamatan hingga saat ini.”
Pada tanggal 24 April 2001 Anna Katharina Emmerick dimaklumkan sebagai Venerabilis (= Yang Pantas Dihormati) dan pada tanggal 3 Oktober 2004 dinyatakan sebagai Beata (= Yang Berbahagia) oleh Paus Yohanes Paulus II. Pestanya dirayakan pada tanggal 9 Februari.
“Beata Anna Katharina Emmerick mengisahkan “dukacita sengsara Tuhan kita Yesus Kristus” dan mengamalkannya dalam tubuhnya. Kenyataan mengenai puteri petani miskin, yang dengan gigih berusaha dekat dengan Tuhan dan kemudian terkenal sebagai “Mistikus dari Tanah Münster” ini sungguh merupakan karya rahmat ilahi.” ~ Paus Yohanes Paulus II
Piala Perjamuan Malam Terakhir
Piala yang dibawa para rasul dari rumah Veronica sungguh indah sekaligus misterius. Telah lama piala ini disimpan di dalam Bait Allah di antara barang-barang antik yang berharga; kegunaan dan asal-usulnya telah dilupakan orang.
Dalam tingkat tertentu, hal yang sama terjadi dalam Gereja di mana banyak barang-barang berharga yang telah dikuduskan terlupakan dan terabaikan dengan berlalunya waktu. Bejana-bejana dan barang-barang berharga kuno yang dikubur di bawah Bait Suci, kerapkali digali, dijual ataupun dilebur.
Demikianlah, dengan perkenanan Tuhan, bejana kudus ini, yang tak seorang pun pernah dapat meleburnya karena terbuat dari bahan yang tak dikenali, dan yang ditemukan oleh para imam di antara harta-milik Bait Suci, di antara barang-barang lain yang tak lagi dipergunakan, telah dijual kepada para kolektor barang antik.
Piala ini kemudian dibeli oleh Serafia – nama asli dari tokoh Jalan Salib VERONIKA – digunakan beberapa kali oleh Yesus dalam perayaan-perayaaan; dan, sejak Perjamuan Malam Terakhir, menjadi milik eksklusif komunitas Kristiani yang kudus. Piala ini tidak senantiasa sama keadaannya seperti saat dipergunakan oleh Tuhan kita pada Perjamuan Malam Terakhir, dan mungkin dalam peristiwa itulah berbagai bagiannya untuk pertama kalinya disatukan.
Piala besar berdiri di atas sebuah piring, darimana semacam pegangan juga dapat ditarik, dan sekelilingnya terdapat enam gelas kecil. Dalam piala besar itu terdapat sebuah bejana yang lebih kecil, di atasnya terdapat sebuah piring kecil, dan di atasnya lagi terdapat sebuah tutup bulat.
Sebuah sendok diselipkan di kaki piala dan dapat dengan mudah ditarik apabila hendak dipergunakan. Segala macam bejana ini dibungkus dengan kain lenan yang baik mutunya, dan, jika aku tidak salah ingat, dimasukkan dalam suatu wadah yang terbuat dari kulit.
Piala besar terdiri dari cawan dan kakinya; kakinya itu pastilah disatukan dengan cawan pada masa sesudahnya, sebab terbuat dari bahan yang berbeda. Cawan berbentuk seperti buah per, ukurannya besar, berwarna gelap, digosok mengkilap, dengan hiasan-hiasan emas dan dua pegangan kecil dengan mana piala dapat diangkat. Kaki piala terbuat dari piala murni, dengan ukir-ukiran, berhiaskan seekor ular dan segepok kecil anggur, pula bertahtakan batu-batu mulia.
Piala ditinggalkan di Gereja Yerusalem, dalam tangan St Yakubus Muda; aku melihatnya masih disimpan di kota itu – piala itu akan muncul kembali suatu hari kelak, dengan cara yang sama seperti sebelumnya.
Gereja-gereja lain menyimpan cawan-cawan kecil yang mengelilinginya; satu cawan dibawa ke Antiokhia, dan yang lain ke Efesus. Cawan-cawan itu menjadi milik para patriark yang meneguk suatu minuman misterius darinya saat mereka menerima atau memberikan Sakramen Mahakudus, seperti yang sering kali aku lihat.
Piala besar itu pada mulanya adalah milik Abraham. Melkisedek membawa piala bersamanya dari tanah Semiramis ke tanah Kanaan, pada waktu ia mulai mendapatkan tempat tinggal di tempat di mana sesudahnya Yerusalem dibangun; pada masa itu, ia mempergunakan piala untuk mempersembahkan kurban, ketika ia mempersembahkan roti dan anggur di hadapan Abraham, dan ia meninggalkannya bagi patriark (bapa bangsa) yang kudus itu. Piala yang sama ini juga disimpan dalam bahtera Nuh.

Pembasuhan Kaki
Mereka bangkit dari meja, dan sementara mereka membenahi jubah mereka, seperti yang biasa dilakukan sebelum mendaraskan doa khidmad, major-domo masuk bersama dua pelayan untuk mengeluarkan meja.
Yesus, berdiri di antara para rasul-Nya, berbicara kepada mereka panjang lebar dengan sikap yang paling khidmad. Tak dapat aku mengulangi secara tepat seluruh pengajaran-Nya, tetapi aku ingat Ia berbicara mengenai kerajaan-Nya, bahwa Ia akan pergi kepada Bapa, akan apa yang ditinggalkan-Nya kepada mereka sekarang, sebab Ia akan segera diambil dari mereka, dst. Ia juga memberikan instruksi-instruksi kepada mereka mengenai penitensi, pengakuan dosa, tobat dan pendamaian kembali.
Aku merasa bahwa instruksi-instruksi ini berhubungan dengan pembasuhan kaki, dan aku melihat segenap rasul menyadari dosa-dosa mereka dan bertobat, terkecuali Yudas. Pengajaran tentang hal ini panjang dan khidmad. Ketika pengajaran berakhir, Yesus menyuruh Yohanes dan Yakobus Muda untuk mengambil air dari ruang depan; Ia meminta para rasul untuk menata kursi dalam bentuk setengah lingkaran.
Ia Sendiri pergi ke ruang depan, di mana Ia mengikatkan sebuah handuk pada pinggang-Nya. Selama waktu itu, para rasul berbicara di antara mereka dan mulai mereka-reka siapakah yang akan menjadi terbesar di antara mereka, sebab Tuhan kita telah dengan jelas mengatakan bahwa Ia akan segera meninggalkan mereka dan bahwa kerajaan-Nya sudah dekat; mereka semakin kuat beranggapan bahwa Ia menyembunyikan rencana-rencana rahasia, dan bahwa Ia berbicara mengenai suatu kemenangan duniawi yang pada akhirnya akan menjadi milik mereka.
Sementara itu di ruang depan, Yesus meminta Yohanes mengambil sebuah baskom dan Yakobus sebuah tempayan berisi air, yang mereka bawa sementara mereka mengikuti-Nya masuk ke ruangan dalam di mana major-domo telah menempatkan suatu baskom lain yang kosong.
Yesus, sekembali-Nya kepada para murid dengan sikap yang begitu rendah hati, menyampaikan beberapa patah kata yang mencela masalah yang mereka pertengkarkan yang muncul di antara mereka; di antara hal-hal lainnya, Yesus mengatakan bahwa Ia Sendiri adalah pelayan mereka, bahwa mereka akan duduk, agar Ia membasuh kaki mereka.
Karena itu, mereka semua duduk, dengan urutan yang sama seperti saat mereka duduk di meja perjamuan. Yesus menghampiri mereka seorang demi seorang, menuangkan air dari baskom yang dibawa Yohanes ke kaki masing-masing rasul, lalu menjumput ujung handuk yang diikatkan ke pinggang-Nya dan menyeka kaki-kaki mereka. Begitu penuh kasih dan lemah lembut sikap Tuhan kita sementara Ia merendahkan diri di bawah kaki para rasul-Nya.
Petrus, ketika tiba gilirannya, dengan segala kerendahan hati berusaha keras mencegah Yesus membasuh kakinya, “Tuhan,” serunya, “Engkau hendak membasuh kakiku?” Yesus menjawab, “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.”
Tampak padaku bahwa Ia berbicara kepadanya secara pribadi, “Simon, engkau beroleh kasih karunia sebab BapaKu menyatakan kepadamu siapa Aku, darimana Aku datang, dan kemana Aku akan pergi, engkau sendiri telah menyatakannya dengan jelas, sebab itu, atas engkau, Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Kuasa-Ku akan tetap bersama para penerusmu hingga akhir jaman.”
Yesus memperlihatkan Petrus kepada para rasul yang lain dan mengatakan bahwa apabila Ia tak lagi bersama mereka, Petrus akan menggantikan kedudukan-Nya di antara mereka. Petrus mengatakan, “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.”
Tuhan kita menjawab, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” Maka, berserulah Petrus, “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!” Jawab Yesus, “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.”
Dengan kata-kata-Nya yang terakhir, Yesus menunjuk pada Yudas. Yesus mengatakan bahwa pembasuhan kaki melambangkan pemurnian dari dosa sehari-hari, sebab kaki, yang terus-menerus menyentuh tanah, juga terus-menerus rentan menjadi kotor, kecuali jika kita merawatnya dengan baik.
Pembasuhan kaki ini bersifat rohani dan dilakukan sebagai bentuk absolusi. Petrus, dalam semangatnya yang berkobar, tak melihat suatu pun di dalamnya, selain dari tindak perendahan diri yang begitu luar biasa dari pihak Guru-Nya; ia tidak tahu bahwa demi menyelamatkannya, Yesus, tepat pada hari berikutnya, akan terlebih lagi merendahkan diri, bahkan hingga wafat di salib dengan hina.
Ketika Yesus membasuh kaki Yudas, Yesus melakukannya dengan cara yang paling penuh cinta dan kasih sayang; Ia bahkan menundukkan wajah kudus-Nya hingga ke atas kaki sang pengkhianat, dan dengan suara lirih Ia memintanya sekarang, setidak-tidaknya, masuk ke dalam dirinya sendiri, sebab ia telah menjadi seorang pengkhianat tanpa iman sepanjang tahun lalu.
Yudas tampaknya sengaja tak mengindahkan apa pun yang dikatakan-Nya, dan mulai berbicara kepada Yohanes, sehingga Petrus naik pitam dan berteriak, “Yudas, Guru berbicara kepadamu!” Maka Yudas menanggapi Tuhan kita dengan suatu perkataan yang samar dan mengambang, seperti, “Ya Tuhan, jangan lakukan!”
Yang lain, tidak tahu bahwa Yesus berbicara kepada Yudas, sebab perkataan-Nya diucapkan dengan sangat lirih agar tak terdengar oleh mereka, di samping itu mereka semua sibuk mengenakan kembali sepatu mereka. Tak ada dari rangkaian peristiwa Sengsara yang begitu mendukakan hati Yesus demikian hebat selain dari pengkhianatan Yudas.
Yesus akhirnya membasuh kaki Yohanes dan Yakobus
Yesus kemudian berbicara lagi mengenai kerendahan hati, mengatakan kepada mereka bahwa yang terbesar di antara mereka haruslah menjadi pelayan di antara mereka, dan bahwa mulai saat itu haruslah mereka saling membasuh kaki satu sama lain. Lalu, Yesus mengenakan kembali jubah-Nya, dan para rasul menurunkan jubah mereka, yang tadinya mereka naikkan dan ikatkan pada pinggang sebelum makan anak domba Paskah.
Demikian saja dua kisah seputar Piala yang dipakai Yesus dalam Perjamuan Terakhir dan Pembasuhan Kaki Rasul-rasul untuk direnungkan oleh umat beriman selama TRI HARI SUCI.
Benyamin Mali
Sumber: buku “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”, sebagaimana disebarkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
