
“Tak seorang pun hidup untuk dirinya sendiri, dan tak seorang pun mati untuk dirinya sendiri.” (Roma 14:7)
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan dukacita yang mendalam atas wafatnya Sri Paus Fransiskus, SJ pada 21/4/25, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik sedunia, seorang gembala agung yang telah menjadikan kemanusiaan sebagai altar utamanya, dan dunia sebagai ladang kasihnya.
Bagi PGI, Jorge Mario Bergoglio, putra Argentina yang sederhana itu, bukan sekadar Paus ke-266 dalam sejarah Gereja Katolik. Ia adalah suara profetik dalam dunia yang bising oleh politik identitas, ekonomi eksklusi, dan agama yang sering kehilangan kasih.
PGI pun menyebut Paus Fransiskus sebagai figur yang menolak kemewahan, tetapi memilih untuk memeluk kemiskinan Yesus. ”Ia menolak menjadi pangeran gerejawi, tetapi menjadi sahabat para migran, pelindung bumi yang terluka, dan advokat tanpa pamrih bagi perdamaian global—termasuk bagi negeri-negeri seperti Indonesia yang ia puji sebagai teladan kerukunan antaragama,” demikian pers rilis yang ditandatangani oleh Pdt. Jacklevyn F. Manuputty (Ketua Umum PGI) dan Pdt. Darwin Darmawan (Sekretaris Umum PGI).
Dalam beberapa kali pernyataannya kata pers rilis itu, Paus Fransiskus menyebut Indonesia sebagai contoh pluralisme yang perlu dirawat dan dipeluk, bukan sekadar ditolerir. ”Ia paham, damai bukanlah absennya konflik, tetapi hadirnya keadilan. Dan dalam diplomasi diamnya, Indonesia dijadikannya cermin untuk dunia: bahwa iman tak harus menjauhkan, tetapi bisa memeluk yang berbeda tanpa kehilangan kebenaran”.
Figur Ayah Dunia
Kepergian Paus Fransiskus menurut PGI adalah kehilangan figur ayah dunia, a global father figure, bagi umat manusia lintas agama. Ia menembus sekat identitas, bukan karena ia membaur, tetapi karena ia mencintai dari kedalaman spiritualitas Yesus yang menderita. Dunia tidak hanya berduka karena kehilangan seorang Paus; dunia berduka karena kehilangan jantung moral yang berdetak bagi yang tak bersuara.
Paus Fransiskus bukan sekadar institusi. Ia adalah simbol kolektif dari harapan baru: bahwa kekudusan tidak harus dilahirkan dari menara gading, tetapi dari dapur rakyat, lorong pengungsi, dan tangis bumi yang terabaikan. Ia adalah “imam besar” dalam pengertian paling manusiawi—yang menangis bersama, bukan hanya mengajar dari atas mimbar.
”Bagi kami di Indonesia, kenangan akan Paus Fransiskus tak hanya melekat di kutipan dan doa, tapi dalamperjuangan lintas iman yang ia ilhami. Ia adalah sahabat spiritual bangsa ini—yang pernah menginjakkan kaki secara fisik di tanah air kami, dan menapakkan kasihnya dalam setiap pidato, ensiklik, dan gestur kerendahan hatinya”.
”Kami, keluarga besar PGI, menyampaikan belasungkawa terdalam kepada seluruh umat Katolik di Indonesia dan dunia. Kami berdoa agar warisan iman, pengharapan, dan cinta kasih Paus Fransiskus terus menyala, bukan sebagai monumen masa lalu, tetapi sebagai gerakan hidup: Fratelli Tutti, kita semua bersaudara. Duka ini adalah duka bersama. Tapi dari duka yang dalam, bangkitlah cinta yang lebih dalam. Selamat jalan, Paus Fransiskus,” pungkas pers rilis tersebut.
Tak Silau Oleh Fasilitas
Secara terpisah, mantan Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom juga menyatakan duka mendalam atas wafatnya Paus Fransiskus.
“Seluruh umat manusia kehilangan dengan kepergiannya. Beliau telah menorehkan jejak yang begitu mendalam, karena beliau menempatkan kemanusiaan dan persaudaraan di atas segala-galanya. Beliau telah mengajarkan kepada kita, Kemanusiaan dan persaudaraan harus melebihi batas-batas agama, bahkan melampaui pilihan iman,” kata Gomar..
“Beliau juga mengajarkan kepada kita menjalani kehidupan ini secara substansial, dan tidak usah dibelenggu oleh ragam ornamen dunia ini. Jabatan baginya adalah pelayanan dan tak harus silau oleh fasilitas. Hidup dengan sangat sederhana, sikap kepemimpinan yang sangat langka di tengah dunia yang makin materialis,” pungkas Gomar. (tD/*)
