Oleh M.T. Eleine Magdalena, Penulis Buku Best Seller “Menjadi Kekasih Tuhan dan Kekasih Suami”, sedang menempuh studi doktoral Teologi di STFT Widya Sasana Malang.
Seringkali orang memasuki lembaga perkawinan dengan tujuan utama mencapai kebahagian. Dan seringkali pula perkawinan harus kandas karena alasan tidak menemukan kebahagiaan. Standar dunia dalam mempertahankan perkawinan adalah sejauh seseorang merasa nyaman dan harapannya terpenuhi.
Menurut saya, pemikiran tersebut perlu direvisi. Mengapa? Sebab sewaktu-waktu pasangan bisa sakit, bangkrut, atau mengalami musibah. Kalau tujuan perkawinan kita seperti di atas, menikah belum tentu membuat hidup menjadi lebih mudah.
Memiliki suami kaya, terhormat dan berkuasa atau istri cantik, baik dan pintar, atau anak-anak cerdas dan sehat tentu sangat baik. Namun memiliki atau tidak memiliki semua itu, bukanlah yang terpenting. Tujuan perkawinan perlu dilihat dari perspektif kekekalan, yaitu perkawinan sebagai jalan menuju kekudusan. Panggilan pada kekudusan melalui perkawinan ini melampaui kebahagiaan di dunia.
Siapkah kita jika Tuhan merancang perkawinan untuk menguduskan kita, dan bukan untuk memberikan apa yang menyenangkan bagi kita? Seperti kata St. Fransiskus dari Sales dalam bukunya Thy Will be Done, perkawinan membutuhkan penyangkalan diri terus-menerus karena dari ‘getah pahit perkawinan’ itulah dihasilkan ‘madu kekudusan hidup’.
Proses Menjadi Kudus
Menjadi kudus dalam perkawinan bukanlah soal jabatan di Gereja. Bukan pula soal berapa banyak orang mengagumi kita karena kegiatan rohani dan sosial yang kita lakukan. Bukan. Menjadi kudus berarti mau hidup untuk Tuhan. Apa yang Tuhan mau itulah yang kita lakukan. Menurut St. Teresa Avila, kekudusan adalah menyatukan kehendak kita dengan kehendak Tuhan.
Bagaimana kita melihat makna yang terkandung dalam setiap peristiwa? Pengalaman menyakitkan seperti dikhianati, difitnah, disepelekan adalah cara Tuhan memangkas ego kita dan menjadikan kita rendah hati. Kesedihan, kemalangan, kegagalan, sebagai peristiwa yang ‘memaksa’ kita untuk lebih mengandalkan Tuhan. Semua rasa sakit ini perlu untuk memurnikan dan membentuk kita. Rasa sakit karena pemurnian ini disebut juga ‘malam gelap’ oleh St. Yohanes Salib. Hendaknya kita tidak gentar atau terkejut pada saat-saat menyakitkan itu. Semua proses pembentukan yang menyakitkan ini diperlukan dan merupakan bagian dari perjalanan menjadi kudus. “…untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara” (Kis 14:22). Inilah rasa sakit yang layak kita tanggung agar kuat dan matang dalam hidup rohani.
Menghindari penderitaan yang sah dalam perkawinan hanyalah menunda proses pembentukan diri kita. Hal ini juga berarti menyia-nyiakan rahmat yang tersembunyi di balik penderitaan. Tanpa semua proses itu kita tidak siap menampung berkat Tuhan. Dengan menanggung salib perkawinan, perkawinan menjadi sekolah iman dan wadah pengudusan diri.
Inilah perlombaan yang diwajibkan bagi kita (Ibrani 12:1). Tidak mudah. Kita diminta tekun karena hasilnya tidak selalu langsung kelihatan. Apa yang kita anggap kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan (Rm. 5:3-5).
Penderitaan adalah jalan untuk pertumbuhan rohani. Emas dimurnikan dalam api, demikian pula cinta dalam kesulitan. Inilah salib yang pantas kita tanggung. Penderitaan adalah anak tangga menggapai kekudusan. Melarikan diri dari penderitaan dengan bercerai hanya memindahkan masalah ke tempat lain. Tujuan masalah ditempatkan dalam perkawinan adalah untuk menguatkan iman, harapan dan kasih kita.
Jika hal ini kita sadari tentulah perkawinan yang tak terceraikan dapat kita lihat sebagai rahmat dan jalan Tuhan untuk menguduskan kita. Inilah alasan untuk bertahan dalam setiap gelombang dan badai rumah tangga. Sebaliknya, harapan yang terlalu tinggi akan romantisme perkawinan dapat membebani hidup. Bayangan akan perkawinan yang penuh tawa dan bergelimang kenikmatan dapat melemahkan keinginan untuk berjuang menghadapi kesulitan Akibatnya, ketika muncul tantangan, yang bersangkutan mengambil jalan pintas. Tentu saja romantisme dalam perkawinan bukan hal buruk. Tapi mengejar romantisme belaka akan menyesatkan kita. Banyak pula orang yang menjadikan “hilangnya perasaan cinta” sebagai alasan mengakhiri perkawinan.
BACA BAGIAN KEDUA: https://www.tempusdei.id/2020/07/1454/siapa-bilang-tujuan-pernikahan-adalah-untuk-kebahagiaan-bagian-terakhir-dari-dua-tulisan.php