Sebagai anak imam agung Parmalim, sebuah agama asli suku Batak, selain sehari-hari hidup dalam atmosfer Parmalim, Anicetus Bongsu Sinaga kecil acap dibawa oleh ibunya mengikuti upacara-upacara atau ritual Parmalim. Dengan demikian, boleh dikatakan, Anicetus lahir – mekar dalam tradisi dan iman Parmalim. Apalagi, Malim Sinaga, ayahnya benar-benar menaruh hormat dan sembah pada Tuhan pencipta yang dalam Parmalim disebut Mulajadi Nabolon.
Bagi Malim, tidak seorang pun boleh berkata atau berperilaku tidak sopan kepada Mulajadi Nabolon itu. Kepada yang berani berperilaku atau berkata tidak sopan, Malim akan langsung jerat dengan tudingan “melakukan penistaan” dan segera menghukumnya. Siapa pun itu. Dan pendirian ini ia buktikan dengan tegas nan konsisten.
Ia pernah menyemeti Anicetus ketika masih berumur 4 tahun sampai berbilur atau berdarah-darah. Dikisahkan pada halaman 17, sebagai anak kecil, ketika menyaksikan jemaat bersama imamnya mengalami trans, tangan gemetar dan mata berkilau, Anicetus bertanya kepada ibunya, “Mengapa Bapak itu?” dengan suara setengah menjerit. Suaranya ternyata dianggap menggangu suasana ritual.
“Dia tidak boleh menghina Mulajadi Nabolon dan Dewata. Lebih baik dia mati di tangan saya,” ujarnya dengan nada marah sambil mengayunkan cemetinya.
Total dan Spartan
Dalam kesederhanaannya, Malim adalah tipe pribadi yang total dalam iman dan prinsip hidup. Semuanya ia jalani secara spartan dan penuh kepercayaan. Secara ekonomi, dia tidak tergolong berada, sebab pekerjaan sehari-harinya adalah penyadap aren, maragat, martuak dan petani huma sederhana.
Kondisi ekonomi yang tergolong lemah tidak membuat dia lemah juga dalam kepercayaan. Nilai inilah yang kemudian terekam di alam bawa sadar Anicetus, lalu menyuntikkan semangat tatkala menghadapi aneka tantangan dalam babak-babak kehidupan selanjutnya, termasuk rintangan-rintangan dalam pilihannya menjadi imam Katolik yang tidak menikah seumur hidup.
Akhirnya, Anicetus menikmati buah-buah perjuangan yang tidak ringan itu. Ia bisa memberi sumbangsih amat berharga bagi perkembangan kehidupan umatnya baik saat dia menjadi Romo maupun ketika ia menjadi Uskup selama 40 tahun. Ia menjadi sosok yang kreatif dan tidak mudah menyerah tatkala dalam perjalanan bersama umat gembalaannya dan masyarakat muncul persoalan. Minatnya dalam memelajari budaya Batak secara mendalam membuat dia paham betul dari sisi mana ia bisa mengajak dan menggerakkan umatnya untuk maju bersama dalam terang iman dan budaya.
Tidaklah mengherankan Anicetus sangat memahami pertautan antara budaya Batak dan Iman Kristen (Katolik). Disertasinya tentang The Toba Batak High God: Trancedence and Immanence. Dia melihat ada kemiripan dan kesinambungan antara budaya Batak dan iman Kristen.
Mgr. Kornelius Sipayung OFM Cap yang kemudian menggantikannya sebagai Uskup Agung Medan dalam buku ini menyebut Anicetus sebagai Uskup yang peduli dengan budaya Batak. Dalam perjumpaan formal maupun non formal, tulis Kornelis di halaman 273, Anicetus sering mengingatkan perihal pentingnya menggali nilai-nilai kekristenan dalam budaya Batak.
Buku ini patut disambut dengan gembira karena karena bisa memperkaya pemahaman atas Parmalim, budaya Batak dan menyuntikkan daya juang. Namun demikian, beberapa kritik perlu dikatakan. Terdapat kerancuan dalam memahami esensi istilah biografi dan autobiografi. Kedua istilah ini dipertukarkan begitu saja. Bahkan, penyunting sendiri menyebut buku ini sebagai biografi di Prakata, padahal dengan jelas dicantumkan di cover bahwa buku ini adalah autobiografi.
Sejatinya, buku ini adalah autobiografi karena ditulis sendiri oleh penulis (Mgr. Anicetus), pun dengan gaya bercerita orang pertama tunggal atau gaya bertutur. Bahwa di dalamya ada sumbangan tulisan dari sejumlah penulis, itu hanya bonus.
Apresiasi patut dialamatkan juga kepada penyunting yang pasti pekerjaannya tidak sedikit dalam mengumpulkan, menyunting dan mengolah materi tulisan yang tersedia.
KETERANGAN BUKU: Judul Buku: Dari Imamat Parmalim ke Imamat Katolik, Penulis: Anicetus Bongsu Sinaga, Penyunting: Salman Hababean, Kata Pengantar: Mgr. Ignatius Suharyo, Penerbit: Penerbit OBOR (2019), Jumlah Halaman: XIV + 413 halaman.
EMANUEL DAPA LOKA