Awal perjalanannya terbilang “mendaki panjang”. Dia beruntung memiliki Mama yang tangguh dan inspiratif. Sangat beralasan dia bertekad menyenangkan sang Mama.
Hari ini orang mengenal Adrianus Meliala sebagai professor dan pakar kriminologi yang sangat mumpuni. Ia adalah Doktor Kriminologi dari University of Queensland Australia dengan beasiswa Australian Awards Scholarship. Sebelumnya ia meraih gelar Master Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia dan Master Psikologi Kriminal dari The Manchester Metropolitan University.
Selain pernah terpilih sebagai dosen terbaik PTIK 2001-2006, dan dosen terproduktif Departemen Kriminologi Fisip UI 2004, Adrianus juga pernah memenangkan Australian Alumni Award Winner 2010, Winner of MFAT New Zealand Awards 2006, dan Winner of European Union Visitor Awards 2006. Tentu saja masih banyak lagi keberhasilan lain yang ia raih, dan jabatan yang ia duduki baik di dunia akademik maupun lembaga negara. Adrianus pernah menjadi Komisioner Komisi Kepolisian Indonesia (Kompolnas) dan sekarang menjadi anggota Ombusman RI.
Tekad Membanggakan Mama
Namun kalau ditanya, apakah semua itu merupakan cita-citanya, dia pasti menjawab tidak. Sebab memang, tidak satu pun dari semua itu yang pernah ia bayangkan, apalagi mencita-citakan. Lantas, apa cita-citanya? Agak aneh, yakni menyenangkan mamanya. Membuat sang Mama gembira dan bangga sudah merupakan keberhasilan luar biasa bagi Adrianus.
Ketika dia baru kelas III SD, Sembiring ayahnya meninggal dunia pada usia 35 tahun akibat terserang kanker. Saat sang ayah masih hidup, meski tidak berkelimpahan, kebutuhan Adrianus, Mama dan kedua adiknya tercukupi secara baik dengan menerapkan pola hidup sederhana. Sang ayah menerapkan pola hidup sederhana namun berkualitas kepada anak-anaknya. Ketika meninggal, almarhum hanya meninggalkan warisan sebuah rumah dengan beberapa bagian temboknya yang belum selesai meski sudah diatapi dan menjadi tempat tinggal.
Tatkala masih kecil, Adrianus acap mendengar ayahnya marah-marah kepada beberapa tamu yang ternyata adalah pengacara. Dengan nada mengusir, dia menyuruh mereka pergi. Ketika sudah dewasa, ditambah cerita dari ibunya, Adrianus mengetahui bahwa para oknum pengacara itu hendak menyogok bapaknya agar mereka bisa memenangkan perkara yang sedang mereka bela. Sekali lagi bisa dipastikan, dengan gaya seperti itu, jaksa Sembiring tidak memiliki tabungan yang cukup.
Mau tidak mau, setelah kepergian Jaksa Sembiring, sang Mama harus mengambil alih seluruh peran untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Dia pun memutuskan untuk tidak menikah lagi agar bisa konsentrasi mengurus ketiga anaknya. Sang Mama lekas putar otak lalu melakoni pekerjaan sebagai “tukang kredit”. Ia membeli baju-baju batik murah di Pasar Senen lalu menjual kepada para tetangga dengan harga yang lebih mahal, namun bisa dibayar dengan cara mencicil. Dengan begitu, setiap hari, dia berkeliling mengambil cicilan tersebut. “Sedikit-sedikit dari setiap orang, tapi kalau dikumpulkan jadi banyak juga. Dengan itulah kami hidup dan bersekolah,” ujar Adrianus ketika dijumpai di ruang kerjanya di Ombusman, Kuningan, Jakarta Selatan.
Saban hari Adrianus dan adik-adiknya menyaksikan sang Mama yang menjelma menjadi petarung andal di Ibu Kota. “Waktu ayah saya masih ada, banyak keluarga atau teman yang mendekat, tapi kemudian menjauh,” jelas Adrianus dengan gaya bicara cepat.
Dalam perjuangannya, sang Mama bolak-balik dan turun naik bus kota dengan bawaan berat. Dia pun tidak menyuruh-nyuruh anak-anaknya untuk membantu dirinya. Yang dia tekankan kepada Adrianus dan kedua adiknya hanyalah permintaan agar sekolah dengan baik. Permintaan ini pun tidak sering ia lontarkan.
Alhasil, nilai Adrianus dan kedua adiknya tidak mengecewakan sang Mama. Saat tamat SMA, pikiran Adrianus mulai terganggu “kalau-kalau” tidak bisa kuliah karena tidak ada biaya. Kalau masuk ke perguruan tinggi swasta, pasti ibunya tidak mampu membiayai. Namun kalau masuk masuk ke perguruan tinggi negeri, dia berpikir pasti sangat banyak saingan, sehingga tidak mudah diterima. Dengan demikian, Adrianus terancam tidak kuliah. Lantas, menyerahkah dia karena takut bayangan? Ternyata tidak!
Adrianus mengamati dan memelajari semua jurusan yang ada di UI. Satu-satu ia cermati dan menimbang-nimbang untuk menjatuhkan pilihan. Ketika dia melihat jurusan Kriminologi, tidak banyak peminat sementara quotanya lumayan. Di situ dia melihat peluang cukup besar untuk diterima. Ia pun mendaftar dan ikut ujian seleksi tanpa mengetahui dengan jelas apa yang akan dia pelajari, dan bagaimana peluang kerja lulusan kriminologi. “Yang paling penting, saya bisa kuliah,” katanya sembari tertawa.
Ketika mulai kuliah, bayang-bayang wajah letih Mamanya yang bekerja keras tiap hari selalu muncul di pelupuk mata dan dalam hati serta pikirannya. “Kasihan Mama. Saya harus berhasil agar Mama gembira dan bangga,” gumamnya bertekad. Sekadar informasi, karena ekonomi keluarganya yang lemah, sang Mama tidak berani muncul dalam berbagai pesta Tanah Karo. Ada perasaan minder yang menghunjamnya.
Segera setelah melangkah ke bangku kuliah, Adrianus tidak main-main dalam belajar. Hampir tidak ada waktu baginya untuk bermain-main dan menyenangkan diri. “Sungguh! Saya fokus pada keinginan untuk menyenangkan mama”. Hasilnya? Dalam waktu singkat dia menyelesaikan kuliahnya dengan hasil memuaskan. Di antara kesibukannya kuliah, dia sempat magang dan bekerja di majalah EDITOR sebagai wartawan. Honor yang dia peroleh dari kerja tersebut, ia bagikan kepada ibu dan adik-adik, juga untuk jajan ponakan-ponakannya.
Istri Pilihan Mama
Karena Adrianus sudah bisa mencari uang, sang Mama memintanya untuk segera menikah sambil memilihkan seorang gadis. Rosari Ginting, gadis pilihan sang Mama itu pun dipacarinya. “Kami pacaran hanya dua bulan, lalu menikah. Prinsip saya, Mama tentu memilihkan yang terbaik, mengapa tidak menikah, toh dengan itu juga saya menyenangkan Mama,” jelas pria kelahiran Sungai Liat, Pulau Bangka, 28 September 1966 ini.
Setelah menikah, dia mendapat beasiswa untuk menyelesaikan S2nya di Master Psikologi Kriminal di The Manchester Metropolitan University. Karena khawatir uangnya tidak cukup jika membawa serta istri, dia rela meninggalkan sang istri. Demikian pula ketika mengambil studi Doktoral Kriminologi di University of Queensland Australia, dia juga meninggalkan istri dan anaknya.
Tentu saja rasa rindu kepada orang-orang terdekatnya itu sering mencuat. Namun rasa rindu itu ia ubah menjadi energi untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Dia hanya beristirahat beberapa jam, selebihnya ia melakukan riset-riset kecil dan mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan tekun. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan, Adrianus sempat menjadi supir taksi dan tukang cuci piring di restoran. “Saat itu saya sudah menikah, jadi pasti ini semua untuk senangkan Mama, Istri dan anak,” ujar kolumnis di berbagai media ini.
Setelah meraih gelar doktor, dia tidak tinggal diam. Hasil penelitian disertasinya ia olah menjadi beberapa tulisan ilmiah yang ia kirimkan ke jurnal-jurnal internasional. Enam buah karya ilmiahnya dimuat di jurnal internasional. Pada usia 35 tahun, setahun setelah ia meraih gelar doktor, Adrianus dilantik menjadi professor atau guru besar. Saat itu, Mamanya yang tengah menderita kanker tulang belakang langsung bisa bangun dari tempat tidur dan menghadiri upara penobatannya sebagai Professor Drs. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, Ph. D. “Keberhasilan saya sungguh menjadi energi luar biasa bagi kesembuhan Mama saya,” ujar pria yang sedang mengikuti seleksi calon Dirjen Bimas Katolik ini bangga.
EMANUEL DAPA LOKA
Tunggu apa lagi, orang ini sangat layak dan pantas menjadi dirjen. Kalau jabatan sekelas dirjen harus dipegang seorang profesor nan rendah hati ini. Saya kenal beliau sebagai orang rendah hati walaupun ia bak kamus berjalan.