Oleh Romo Felix Supranta, SS.CC
Terbayangkah bahwa hadiah terbesar dari seekor induk elang kepada anak-anaknya bukanlah makanan lezat ataupun eraman hangat, tetapi ketika sang induk melempar anak-anak itu dari tebing tinggi? Semua anak-anak elang itu pasti sangat kesal terhadap induk mereka karena menganggapnya sangat keterlaluan. Bisa saja ada menjerit ketakutan, “Matilah aku! Namun, bukan kematian yang mereka dapatkan, tetapi justru “jati diri elang”, yaitu bisa terbang tinggi menelusuri angkasa.
Ceritera tersebut mengingatkan kita untuk tidak cepat kesal dengan perlakuan ataupun peristiwa yang tidak menyenangkan. Kekesalan membuat kita tidak bahagia, kecewa dan kuatir. Kekuatiran merupakan akibat dari terpikir negatif secara terus menerus akan persoalan kita. Ini membuat kita tidak dapat lagi merencanakan sebuah aksi untuk menyelesaikannya. Sikap yang bijaksana adalah kita mendalami persoalan kita dan merenungkan apakah ada tindakan yang perlu kita lakukan untuk membuat keadaan kita menjadi lebih baik. Sebaliknya, sikap yang tidak bijaksana adalah membiarkan persoalan kita bersarang di pikiran kita seperti sebuah beban berat dalam waktu yang cukup lama.
Semakin kita kuatir, kita semakin mengalami ketegangan dan kegelisahan. Jika kita terus menerus terpikir tentang hal-hal yang buruk, kita akan sangat kesal sampai ingin berteriak kuat-kuat. Kekesalan yang begitu dalam membuat kita seakan-akan telah kehilangan akal.
Ketika kita mengalami kekesalan, kita telah menyerahkan kendali pikiran kita kepada emosi. Emosi tersebut merupakan musuh yang senantiasa ingin mencuri, membunuh, dan menghancurkan kehidupan kita. “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10 : 10).
Kita hendaknya sadar bahwa kekuatiran adalah sia-sia. Kekuatiran hanya memboroskan waktu dan tenaga kita. Kekuatiran tidak dapat menyelesaikan masalah. Kekuatiran justru menciptakan stress. Stress memiliki daya penghancur yang luar biasa, yaitu melumpuhkan berbagai macam sendi kehidupan.
Ketika kita merasa kesal, kita hendaknya sadar dan bersandar pada Allah. Kita memohon kepadaNya agar menganugerahkan kepada kita kekuatan dan kemampuan untuk melakukan apa saja yang perlu kita lakukan. Rahmat Allah ini akan memperbarui pikiran kita dan membuat kita dapat mendalami cara pandang Allah. Cara pandang Allah selalu melihat adanya kesempatan, mukjizat, dan awal yang baru.
Bantuan Allah dalam Setiap Langkah
Memang Allah telah menciptakan pikiran yang benar dalam diri kita, tetapi kita tetap memerlukan bantuanNya. Allah menghendaki kita tergantung secara total kepadaNya dan Ia senantiasa siap membantu kita.
Bergantung pada Allah tidak berarti pasif, dalam arti menunggu saja keadaan membaik dengan sendirinya. Bergantung pada Allah berarti kita memercayai cara pandangNya sehingga kita berusaha sebaik-baiknya untuk memperbaiki keadaan. Dalam memperbaiki keadaan, kita pasti menghadapi banyak rintangan. Rintangan yang harus kita hadapi merupakan proses yang harus kita lewati menuju jati diri anak-anak Allah. Jadi, bergantung pada Allah berarti senantiasa berharap di dalam Dia bagi yang tidak takluk dengan keadaan.
Kesimpulan dari pembahasan ini: Jangan biarkan diri kita terpenjara di dalam kekesalan. Keadaan yang mengesalkan merupakan sebuah kesempatan bagi kita untuk berintropeksi diri sehingga kita dapat berbuat lebih baik lagi. Allah mengingatkan kita bahwa Ia akan selalu menyertai kita. Bersama Allah, selalu ada harapan di dalam kehidupan kita. Ada keberhasilan menanti kita seperti tertulis: “ Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1 : 9).
Salam Elang, Salam Tangguh!
Amin Romo