Oleh Stef Tokan, Alumni STF SP, Manado
Bagi Pastor Sonny Wengkang MSC, hidup komunitas adalah keutamaan penuh nutrisi dan energi dalam menjalani hidup sebagai seorang imam. Karenanya ketika ketiga seniornya (Pastor Lambert Somar MSC, P. Titus Rahail MSC, P. Johanis Mengko MSC) merayakan Misa Syukur 60 Tahun Membiara pada 22/8/20, ia ngotot untuk hadir. Pastor Sonny sendiri tinggal di Rumah Supa MSC di Cengkareng, sementara Misa tersebut diadakan di Provinsialat MSC di Jl. KH Hasyim Azhari No. 23 Jakarta. Pastor Sonny sangat ingin berada bersama dalam momen tersebut sebagai wujud komitmennya dengan hidup berkomunitas.
Ketika Injil akan dibacakan dalam Misa, ia hampir terjatuh sehingga dibopong ke salah satu kamar. Saat hendak dibawa ke RS, dia menolak karena trauma dengan cuci darah dan hanya minta dipijat. Meski begitu, ia tetap dibawa agar segera mendapatkan pertolongan. Namun Tuhan berkehendak lain, Pastor Sonny pergi untuk selamanya. Kuat dugaan, dia sudah meninggal ketika masih di biara. Dengan demikian, kematiannya mirip dengan kematian rekannya Pastor Markus Marlon MSC yang menolak dibawa ke RS karena ingin meninggal di pastoran, bukan di rumah sakit.
Cuci Darah Dua Kali Seminggu
Bagi Pastor Sonny Wengkang MSC, menjadi imam adalah menjadi pribadi yang baik bagi sesama, begitu katanya saat diwawancarai beberapa bulan yang lalu, di Jakarta. Dan, itu benar terekspresi dalam seluruh hidupnya sejak menjadi calon imam di Seminari Menengah Kakaskasen, Tomohon, Sulawesi Utara hingga ajal menjemputnya, sekitar jam 11.30 WIB, Sabtu, 22 Agustus 2020, di Jakarta.
Selepas bertugas di Paroki Bunda Hati Kudus, Kemakmuran, Jakarta Pusat, beberapa tahun lalu, imam asal Desa Woloan, Minahasa, Sulut, ini divonis dokter “cuci darah”. Ia juga mengidap sakit jantung. Terakhir, dia harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu.
Sosok yang Teliti dan Bersih
Semasa dibina di Skolastikat MSC Pineleng, Manado, dia sosok yang suka bergaul dan peduli pada teman-temannya. Disiplin hidup dalam mengikuti pembinaan dan kuliah di STF Seminari Pineleng, dijalaninya dengan senang hati dan jiwa yang tulus. Teman-teman mengenalnya sebagai pribadi yang ramah dan menyukai lingkungan yang bersih dan asri.
Saat bertugas di Merauke sebagai Pastor Paroki Gereja Katedral, Merauke, Sonny tetap menyadari dirinya sebagai biarawan MSC yang menjadi kuat bila didukung kebersamaan dan persaudaraan dalam komunitas. Maka setiap hari rekreasi bersama di Biara MSC, ia selalu hadir. Bahkan saya pernah melihatnya hadir saat demam sedang menyerang dan membuat tubuhnya menggigil. Baginya, kehadiran di tengah komunitas itu sangat menguatkan dirinya.
Saat sebagai Frater muda yang ditempatkan di pedalaman Merauke, Sonny sudah merasakan suka dan duka, sekaligus pengalaman kegembiraan bersama umatnya. Sering ia mengalami sulitnya makanan saat turne ke desa-desa. Sering ia harus membuat kolam kecil di bawah pohon sagu untuk mendapatkan air agar bisa minum dan mandi. Itulah pengalaman indah yang mendorongnya makin kuat mencintai mereka yang kecil dan berkesudahan.
Percaya pada Kristus
Dalam beberapa sharing pengalamannya, juga renungan yang disampaikan kepada umat, Pastor Sonny suka menceritakan pengalaman dan pergumulan hidupnya. “Menjadi imam itu sebuah pilihan terhadap undangan Allah. Tak selalu ada jalan lurus. Malah sering jalan berliku sebagai proses pematangan diri dan iman,” tuturnya kepada saya. Dia bercerita tentang pengalaman kesulitan-kesulitannya dalam melayani umat, baik di Papua maupun di Jakarta. “Umat kita biasanya kritis. Itu bagus, karena membuat pelayanan saya makin dimurnikan,” tuturnya lagi.
Walau ada jalan berliku dan kadang salah pengertian, namun sebagai imam Sonny tak pernah putus asa dan mundur. “Saya tahu, saya ditugaskan untuk mewartakan Kristus dalam situasi umat yang berubah,” katanya dengan nada penuh harapan.
Pastor Sonny Wengkang MSC telah melayani umatnya dengan kebaikan hatinya. Sebagai Misionaris Hati Kudus (MSC), ia sadar, Cinta dan Kebaikan Hati Tuhan itu perlu diwartakan agar dirasakan banyak orang. Merefleksikan realitas sosial dengan fenomena “penyakit zaman”, Sonny mengajak umatnya untuk selalu percaya pada Kasih Kristus.
Menurutnya, fenomena kekerasan dan ketidakadilan hanya bisa diatasi bila kita semua punya hati (keprihatinan), kepekaan, dan bela rasa (compassion) terhadap orang lain. Sonny melihat “krisis hati manusia” tengah melanda masyarakat. Semangat hati, persaudaraan, itu harus ditemukan kembali.
Nilai-nilai keluarga
Sonny lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana di Desa Woloan, Minahasa, Sulut. Kesederhanaan dan semangat doa sudah diwarisinya sejak kecil. Saat dibina di seminari dengan hidup doa dan disiplin, Sonny tak merasa sesuatu yang baru dan aneh. Doa-doa pribadi dan doa bersama komunitas menguatkan dirinya tumbuh menjadi imam yang sederhana, disiplin, suka bergaul, dan terbuka bagi siapa saja. “Saya menjadi imam bukan karena saya pintar. Saya mau menjadi imam karena saya mau mencintai sesama, sebagaimana yang diperlihatkan Kristus,” harapnya.
Karena itu, dalam sakitnya, ia tetap tersenyum dan bertutur sapa penuh ramah dengan sesama. Sakitnya adalah bagian dari cara ia menghayati panggilan hidupnya sebagai imam misionaris MSC.
Selamat jalan, Pastor Sonny Sengkang MSC. Pergilah dalam damai, berjumpa dengan Dia yang telah memanggilmu sejak kau masih berada dalam kandungan ibumu. Biarlah jejak-jejakmu tetap hangat untuk kami ikuti.
Biodata Singkat:
Pastor Sonny lahir, 17 Januari 1962. Kaul Pertama, 15 Juli 1984, Kaul kelas 21 Januari 1989. Ditahbiskan menjadi imam pada 12 Januari 1991.
Karena dalam masa pandemi Covid-19, Misa Requiem dilaksanakan secara tertutup untuk umat dan disiarkan secara online/ live streaming pada Sabtu, 22 Agustus 2020 pukul 20.00 WIB, dipimpin oleh Pemimpin Komunitas MSC Daerah Jakarta-Kalbar-Sumsel (P. Robertus Bob Rarun MSC).
Misa Pelepasan Jenazah diadakan pada Minggu, 23 Agustus 2020 pukul. 07.00, juga disiarkan secara online/ live streaming, dipimpin oleh Pemimpin Provinsi MSC Indonesia (P. Samuel Maranresy MSC). Selanjutnya jenazah dibawa ke San Diego Hills pukul 09.00 WIB untuk dimakamkan.