Menjadi bahagia itu ternyata sederhana. Di mana saja ada kebahagiaan. Pun di balik keterbatasan dan pengorbanan, seseorang bisa menemukan kebahagiaan itu. Barangkali, inilah yang disebut blessing in disguise atau rahmat tersembunyi.
Adalah Rambu Ndihi Atta Numba, gadis 22 tahun kelahiran Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, NTT, 4 Maret 1998.
Tamu Apu, begitu panggilannya, lulusan SMA Kristen Payeti, Waingapu. Dia ternyata menemukan kebahagiaan tak terkira walau mengorbankan cita-citanya menjadi ahli informatika karena ia “tertambat” dalam jaring tak terduga, dan harus hidup bersama anak-anak disabilitas.
Selepas SMA ia berniat melanjutkan pendidikan ke Universitas Kristen Wira Wacana, Waingapu. “Impian saya ingin hidup yang lebih baik. Saya yakin dengan memilih jurusan informatika, saya akan mudah memperoleh pekerjaan karena lulusan jurusan ini masih terbilang cukup langka,” ungkapnya.
Terdorong tekad yang kuat untuk meraih impian, Apu serius menyiapkan diri untuk mengikuti seleksi masuk. Alhasilnya ia lulus.
Di saat sukacitanya memuncak, tanpa diduga, Kakek kesayangannya meninggal. Dengan begitu, sang Kakek tidak sempat mendengar kabar kelulusannya tersebut, apalagi melihat Apu kuliah dan berhasil. “Kakek mengapa pergi begitu cepat padahal aku baru saja ingin menyampaikan kabar gembira bahwa aku telah lulus seleksi dan akan segera kuliah?” ujarnya di samping jenazah sang Kakek.
Gagal jadi Mahasiswa
Kepergian sang Kakek ternyata mengubah segalanya. Ayah Apu sebagai anak tertua hanyalah seorang petani kecil. Meski begitu, dia harus bertanggung jawab melaksanakan pengebumian sang Kakek. Maklum ayah Apu masih berpegang teguh pada adat Sumba Timur. Dia pun pontang-panting berusaha memenuhi semua kebutuhan untuk pengebumian sang Kakek dalam budaya Sumba Timur.
Tak terasa, semua dana yang dipersiapkan untuk biaya masuk kuliah ikut terpakai. Usai pengebumian, harapan Apu untuk bisa kuliah harus diurungkan. Tidak ada biaya lagi.
Namun sebagai anak muda yang punya impian untuk hidup yang lebih baik Apu berpikir keluar dari kampung untuk menenangkan diri. Tamu Apu pergi ke rumah salah satu kerabatnya di Waingapu.
Niatnya untuk kuliah dan kendala yang ia hadapi disampaikannya kepada kerabatnya itu. Beruntung, Tamu Apu mendapat solusi, yakni mendapat kemudahan bekerja. Dan oleh kerabatnya itu Tamu Apu dimasukkan sebagai pekerja di SLBN Kanatang.
Panti yang dibangun untuk menunjang kegiatan SLBN tersebut akhirnya menjadi tempat “persinggahan” Tamu Apu.
Saat itu anak-anak panti belum pulang dari liburan panjang. Di tempat ini Tamu Apu berusaha sedapat mungkin membantu pekerjaan Ibu Nur Hidayah. Dari Ibu Nur ini, Apu belajar berkomunikasi dengan anak anak penyandang disabilitas “Mulanya saya merasa sangat sulit karena harus berbicara dengan bahasa isyarat,” kenang Apu.
Namun setelah seminggu tinggal bersama mereka, berkat bantuan, Bu Dewi, seorang staf, dan terdorong tekad untuk mendapatkan biaya kuliah, Apu mulai paham dan mulai bisa menggunakan bahasa isyarat.
Bemodal gaji pas-pasan yang dia tabung, Apu yakin bisa kuliah. Setahun berlalu, Apu kian dekat dengan impiannya untuk bisa kuliah. Di saat yang sama ibu Nur mengundurkan diri. Mundurnya Bu Nur sebagai memaksa Apu menerima tugas menggantikan Bu Dewi menjadi pengasuh. “Saat itu tekad saya untuk kuliah sudah bulat. Saya mulai menyiapkan segala sesuatu yang anak-anak perlukan saat saya berangkat kuliah,” ujar Apu berkisah.
Ketika ia sudah siapkan semuanya, Apu berkemas untuk menuju ke Kampus, tetapi ia urungkan keberangkatannya. Ada perasaan “tidak sampai hati” meninggalkan mereka. Di pikirannya segera terlintas betapa sulitnya anak-anak disbilitas tersebut dengan segala keterbatasan harus menolong diri sendiri dan orang lain. “Saya juga coba membayangkan anak-anak tersebut andai saya tinggalkan mereka karena saya kuliah. Siapa yang menjamin keselamatan mereka. Di sini banyak hal yang bisa saja terjadi seandainya mereka tanpa pengawasan. Ya, namanya anak-anak dengan bantuan khusus. Bahkan ada pula yang tuna grahita”.
Di sinilah Apu merasa trenyuh. “Sejak itu saya berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan meninggalkan mereka,” kenangnya.
Apu mengaku sudah merasakan bahagia saat berada di tengah mereka. “Mungkin karena saya anak tunggal yang sejak kecil rindu punya saudara, dan mereka inilah saudara saya,” aku Apu dengan mata berkaca-kaca.
Apu menafsirkan ketertambatannya di panti dalam hati anak-anak tersebut sebagai rencana Tuhan. Ia malah yakin bahwa Tuhan sendirilah yang mempertemukan dirinya dengan anak-anak tersebut, dan kini menjadi saudara dalam satu ikatan keluarga dalam Panti Asuhan. Wow! (Soleman Moto)