Individu atau organisasi, bahkan bangsa perlu motto untuk penyemangat atau pemandu kiprah atau perjuangan guna menjalankan misi menuju tujuan. Bangsa Indonesia pun membutuhkan dasar negara, juga haluan negara untuk mencapai cita-cita.
Dalam memimpin Kompas dan Gramedia, Pak Jakob—tentunya dulu bersama Pak Ojong ketika masih hidup—juga membahas apa yang kiranya yang menjadi motto Kompas. Tentu saja sebagai bagian kecil dari Indonesia, sosok seperti Pak Jakob tetap menempatkan Pancasila sebagai dasar falsafah hidup. Pancasila juga yang diunggulkan dalam setiap seremoni dan diskusi kebangsaan, karena dasar negara yang digali oleh Bung Karno ini sudah diyakini mewadahi gerak kehidupan dana lam pikir rakyat Indonesia.
Untuk lingkup mikro, Pak Jakob juga ingin memberi watak yang khas untuk harian, dan kelompok usaha yang ia pimpin. Setidaknya, ketika penulis bergabung dengan Kompas, demikian juga yang diyakini oleh penelitian Kees de Jong dalam penelitiannya tentang Kompas untuk disertasi doktornya di Universitas Nijmegen, Belanda, falsafah yang sering diucapkan oleh Jakob Oetama adalah “humanis transcendental”.
Humanis segera mudah dikenali, bahwa ini adalah tentang kemanusiaan. Ini pula yang dibuktikan dengan kiprah sehari-hari melalui harian Kompas di mana sebagian besar isinya berkutat dengan masalah kemanusiaan: tentang rakyat yang berjuang untuk bisa memperpanjang hidup, mendapatkan pekerjaan, melawan tirani, menghadapi bencana alam, tetapi juga tentang sukacitanya, tentang prestasi yang diraih dalam olah raga dan kesenian, tentang kemajuan dalam penelitian masyarakat, dan tentu saja tentang penelitian penyakit dan tentu saja dalam pergulatan mencari solusi masalah publik di forum-forum politik.
Tetapi jika itu saja, boleh jadi masalah akan jatuh ke dalam aspek teknis, sekadar mengikuti regulasi dan administrasi. Bahkan yang diandaikan, pasti pun dari regulasi, dengan perangkat hukum, masih sering tak mampu menuntaskan persoalan. Di sinilah diperlukan dimensi yang transenden, melampaui. Manakala ada kesulitan yang diatasi, tembok yang sukar ditembus, berharaplah pada kuasa Allah yang akan memberi harapan.
Dengan pemahaman ini, sebagaimana sebenarnya juga diidamkan oleh bangsa Indonesia, ada kesamaan pandangan, keselarasan hidup di antara komunitas Kompas-Gramedia meski masing-masing anggotanya datang dari beragam latar belakang, berbeda agama, ras, suku. Dengan payung yang diletakkan dan dipupuk oleh Jakob Oetama, komunitas Kompas-Gramedia yang dibanggakan Pak Jakob sebagai wujud “Indonesia Mini”, dapat mengelola diri berdasar prinsip humanisme transcendental. Tidak terbatas hanya untuk diri sendiri, terbatas di lingkungan perusahaan, humanisme transcendental dipancarkan melalui laporan-laporan jurnalistik yang berpihak pada kemanusiaan.
Seiring dengan waktu, paham humanis transcendental coba didekatkan makna dan penghayatannya dengan mengubah idiom tersebut menjadi “kemanusiaan yang beriman”. What is in a name, kedua jargon di atas memiliki semangat yang serupa, dan tetap dalam kerangka (framework), Pancasila, khususnya Sila Pertama dan Sila Kedua.
Pengalaman 35 tahun menjadi wartawan Kompas, penulis menyaksikan kerjasama professional dan kehangatan persahabatan dan persaudaraan di lingkungan Kompas-Gramedia yang pluralistik. Peringatan hari raya keagamaan yang dihadiri oleh karyawan dengan agama berbeda menjadi satu bukti spirit kemanusiaan yang beriman.
Dalam mengoperasikan falsafah ini, sebenarnya yang menjadi penggerak utama adalah adanya rasa welas asih atau compassion. Masing-masing mungkin menghayati soal ini dengan tingkat berbeda-beda, tetapi compassion yang diajarkan oleh Bapak Pendiri itu nyata.
NINOK LEKSONO, dalam buku 85 Tahun Yakob Utama; Yuk, Simak Pak Yakob Berujar, (Penerbit Buku Kompas, 2016).
Tulisan ini kami turunkan untuk mengenang Jakob Oetama, pendiri Kompas-Gramedia yang meninggal dunia pada 9 September 2020 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.
Jakob Oetama merupakan pria kelahiran Borobudur, Magelang, 27 September 1931. Ia meninggal diusia 88 tahun, pada Rabu 9 September 2020, tiga hari sebelum ulang tahunnya. Orang tuanya bernama Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo (ayah) dan Margaretha Kartonah (ibu).
Sebelum menjadi jurnalis, Jakob Oetama adalah seorang guru. Ibarat pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, orang tua Jakob Oetama juga seorang pengajar di Sleman, Yogyakarta. Jakob memiliki dua anak bernama Lilik Oetama dan Irwan Oetama.