Oleh Alfred B. Jogo Ena, Penulis dua buku Cerita Pendek Tiga Paragraf Bung Karno. Tinggal di Yogyakarta
Mendengar berita meninggalnya Pak Jakob Oetama (88) di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (9/9/2020) pukul 13.05 WIB, spontan ingatan saya melambung jauh kepada sosok IJ Kasimo, Frans Seda dan PK Ojong. IJ Kasimo dan Frans Seda dalam kaitan dengan Partai Katolik. Secara khusus Frans Seda dalam kaitan dengan posisinya sebagai ketua Partai Katolik saat pendirian Harian Kompas. Sedangkan PK Ojong dalam kaitan dengan cikal bakal berdirinya Harian Kompas.
Dalam tulisan berikut, saya tidak akan menulis tentang siapa Jacob Oetama dan seluruh kiprahnya dalam dunia jurnalistik Indonesia melalui Kompas dan Gramedia, karena sudah banyak yang menulisnya. Saya mencoba meneropong sisi lain dari sosok Jakob di antara tiga sosok yang sudah saya sebutkan di atas.
Semua berawal dari situasi politik pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Jenderal Ahmad Yani memiliki ide agar ada sebuah media non partai politik sehingga kehadirannya bisa lebih berimbang dalam memberikan berita (tidak partisan dan berat sebelah). Ide tersebut disampaikan kepada IJ Kasimo dan Frans Seda dari Partai Katolik. Jacob Oetama dan PK Ojong yang saat itu sedang merintis penerbitan majalah Intisari didapuk untuk merealisasikan ide tersebut.
Tentu kita bisa membayangkan bagaimana keempat tokoh ini pada masa Demokrasi Terpimpin berjibaku melahirkan ide-ide cemerlang untuk munculnya semua media alternatif setelah beberapa media yang berseberangan dengan Presiden Soekarno dibreidel (antara lain: Keng Po 1957 dan Star Weekly 1961. Nama PK Ojong yang sudah terkena catatan merah dari Pemerintahan Soekarno tidak akan dicantumkan, agar tidak menggali lubang kubur baru bagi media yang akan didirikan itu.
Kasimo dari Yogyakarta, Frans Seda dari Flores, PK Ojong dari Padang dan Jacob Oetama dari Jawa Tengah bersinergi menyiapkan sebuah media yang di kemudian hari menjadi rujukan di negeri ini bahkan Asia Tenggara. Kesiapan itu mereka wujudkan dalam sebuah Yayasan bernama “Yayasan Bentara Rakyat”. Pemberian nama ini sudah tentu atas usulan Frans Seda yang terinspirasi oleh sebuah majalah di Flores yang dikelola oleh para imam SVD pada masa itu yang bernama Bentara. Dan nama media yang diusulkan oleh Frans Seda adalah Bentara Rakyat. Bung Karno keberatan dengan nama tersebut, lalu mengusulkan nama Kompas yang bermakna petunjuk arah. Dan sejak saat itu, harian baru itu diberi nama Kompas dengan tagline Amanat Hatinurani Rakyat. Harian ini berkibar hingga sekarang di bawah sentuhan tangan dingin nan mujarab PK Ojong dan Jacob Oetama.
Nilai-nilai Injili
Memang harus ditempatkan secara jelas bahwa Harian Kompas tidak secara tegas membawa bendera Katolik dalam kiprahnya sejak awal pendiriannya hingga kini. Tetapi menurut hemat saya, karena IJ Kasimo dan khususnya Frans Seda (dari Partai Katolik) yang saat itu dekat dengan Bung Karno, tentu memiliki konsep untuk mengimplementasi nilai-nilai injili dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui media massa. Dan kebetulan konsep-konsep itu diwujudnyatakan oleh PK Ojong dan Jacob dalam kiprah mereka bersama Kompas.
Dengan menjadikan Kompas sebagai media yang menyampaikan Amanat Hati Nurani Rakyat, PK Ojong dan Jakob sudah tentu membawa nilai-nilai Injil yang mereka hayati dan hidupi. Tentu mereka berdua tidak sambil menepuk dada dan mengatakan “inilah nilai Injil yang kami hayati ke dalam perjalanan Kompas.” Pembaca terutama para pekerja Kompas dan kemudian Gramedia menerjemahkan visi dan misi perjuangan PK Ojong dan Jakob Oetama yang terinspirasi nilai-nilai injil itu hingga sekarang.
Semalam dalam wawancara langsung antara Aiman Wicaksono (dari Redaksi Kompas TV) dengan Mochtar Pabotiggi, muncul istilah “biji sesawi” (sebagaimana gambaran Kerajaan Allah dalam Kitab Suci). Pak Mochtar dengan sangat indah menggambarkan kontribusi Pak Jakob seperti biji sesawi yang meski kecil kemudian bertumbuh besar sehingga burung-burung bisa bersarang di atasnya. Jakob melalui Kompas pun demikian. Melalui Kompas, Jakob (dan tiga sosok lainnya) telah menjadi biji sesawi yang berguna bagi bangsa ini.
Kini, setelah kepergian Jakob (orang terakhir dari empat sekawan pejuang Katolik), kita tetap berharap Kompas terus berkiprah sebagai pembawa Amanat Hari Nurani Rakyat apa pun bentuknya ke depan (setelah kita memasuki masa-masa akhir media cetak yang kian tergilas oleh media online). Kita bersyukur bahwa melalui Pak Jakob Oetama (salah satu pendiri Kompas yang hidupnya paling panjang), kita boleh mewarisi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran dan kesederhanaan seorang besar yang tetap membawa diri sebagai seorang guru bagi murid-muridnya (karena latar belakangnya sebagai seorang guru sebelum menjadi tokoh pers nasional).
Selamat jalan Bapak Jakob. Selamat berjumpa lagi dengan para sahabat seperjuangan dulu IJ Kasimo, Frans Seda, PK Ojong. Akankah Empat Sekawan ini mendirikan media lagi di “alam sana” untuk menyuarakan penderitaan rakyat keluar dari pandemi covid-19? Terima kasih untuk segala dedikasi dan nilai-nilai injili yang sudah diwariskan kepada kami.
Bagus tulisannya. Terima kasih bung Alfred sempat menuliskan & Eman yang telah memuat peran para Seniores kita cukup utuh namun ringkas.
Selamat jalan Bapak Jacob kami mengenangmu sepanjang masa atas dedikasimu menjadi biji sesawi bagi sesama. Kami terus mendoakanmu agar benih2 perjuanganmu kami warisi selanjang masa.