Oleh Yustinus Prastowo
Hari-hari ini, diam adalah keutamaan. Jika sebelumnya manusia yang terus bergerak adalah surplus ekonomi, kini manusia yang diam dan menjaga jarak adalah berkah peradaban: apakah dunia akan tetap ada atau tiada.
Diam bukanlah kemalasan, karena berdiam itu juga sebuah laku. Berhenti pada satu titik: merenungi perjalanan, mencandra tindakan, membobot amal, menghitung mala, menimbang perkara, juga merangkai banyak rencana.
Manusia modern yang terus bekerja, berputar, berikhtiar hingga lupa menanyai siapa dirinya, mengingat asal muasal, dan tak tahu hendak ke mana. Tahun, bulan, hari, jam, menit, hingga detik dan kejap kerap diringkus dalam watak rakus. Limpah informasi, kabar berita, derita dan gembira sesama manusia tak lebih sebagai statistika, tanpa rasa. Manusia yang berpuas diri, bersolek manja dan angkuh di hadapan aneka ciptaannya, bernama inovasi dan teknologi, tapi tanpa sadar dimangsa keserakahannya sendiri. Hasrat membangun Menara Babel yang sia-sia karena diruntuhkan oleh dia yang sekecil-kecilnya: korona.
Hidup asosial di jejaring media sosial. Dihipnotis dari realitas keseharian yang sungguh dekat.
Manusia masa kini yang merasa paling dikenal dan penting, berjejaring mahaluas, mampu menaklukkan ruang-waktu, terbiasa dipuja puji oleh histeria massa, kini musti menyendiri dan sepi. Segala atribut harus ditinggalkan dan ditanggalkan. Tak ada lagi faedah bersolek, mengenakan gaun mahal, mobil mewah, dan segala pernak pernik penanda kesuksesan duniawi. Kepemilikan itu fatamorgana. Kekuasaan itu ringkih.
Kini kita sungguh hanya punya satu keutamaan: diam. Diam adalah jeda, berjarak dengan dunia. Diam di rumah saja dan kita memberi makna pada dunia. Diam sebagai keterpaksaan yang harus dilampaui sebagai diam yang membuahkan banyak tindakan. Hidup menjadi paradoksal. Diammu, adalah laku penyelamatan. Soliter untuk solider. Solidaritas sosial yang mulai terkikis, kini lahir baru dalam ragam rupa. Diri yang diam itu menggerakkan hati dan empati, berjejaring, semakin kuat dan tebal, hingga melukis wajah kemanusiaan yang baru. Kemanusiaan lama yang semu dan getas itu diperbarui.
Dengan segala keterbatasan kita berupaya. Kini masa-masa sulit ini kita harapkan segera berlalu. Diam di rumah memberi kita banyak pelajaran baru. Mensyukuri anugerah, mempererat tali kasih keluarga, dan merenda harapan. Keterbatasan yang menghimpit adalah awal lahirnya inovasi karena tersingkirnya tumpukan rutinitas yang merenggut daya kreatif kita. Kini, kita sungguh mendapati diri sebagai manusia yang utuh, selayaknya manusia. Punya otonomi dan otoritas dalam keutuhan diri. Aku yang telanjang apa adanya, aku yang sangat polos sederhana, tak berdaya tapi berupaya.
Mensyukuri musibah adalah anugerah khas bagi manusia. Tak berhenti meratap, putus asa, dan layu – adalah takdir manusia. Mengambil pelajaran berharga dari tiap peristiwa adalah perutusan sejarah. Kisah yang akan kita wariskan pada anak cucu, sebagai memoria. Tentang pageblug, kemalangan, nestapa, kematian, sekaligus tentang empati, solidaritas, dan harapan. Hanya dalam diamlah kita mampu memeluk segala. Dan lantaran bertekun dalam diam pulalah kita menyelamatkan diri, sesama, dan dunia. Jika kita disiplin, bertenggang rasa, solider – dunia pasca pandemi adalah dunia baru dengan tata nilai baru. Kebaruan yang kita bentuk mulai saat ini.
Maka, hayatilah diammu. Aku diam, maka kita akan terus ada!