Oleh Pater Kimy R. Ndelo, Provinsial Redemptoris Provinsi Indonesia
Thomas Merton adalah seorang mistikus dan pemikir Katolik terkenal abad yang lalu. Sebelum menjadi seorang Rahib dan Imam, dia pernah melewati masa-masa sulit dan gelap dalam hidupnya.
Dia menjadi yatim piatu pada umur 16 tahun. Pada umur 20 tahun dia menjadi seorang Komunis. Pada umur 23 dia mulai menemukan Kristus. Usia 24 dia menjadi wartawan New York Times, majalah terkenal di Amerika Serikat. Pada umur 26 dia meletakkan semua barang miliknya dalam tas, pergi ke Kentucky dan menjadi seorang rahib atau trapis di biara pertapaan.
Pertobatannya diungkapkan dalam sebuah tulisan: “Segala sesuatu berlalu dalam sekejap. Aku diliputi oleh seberkas cahaya kesadaran yang tiba-tiba dan mendalam, memasuki kemalangan dan pembusukan jiwaku… Aku dipenuhi ketakutan mengerikan akan apa yang aku lihat… dan jiwaku ingin melarikan diri…dari semua ini dengan desakan dan kekuatan yang belum pernah aku alami sebelumnya”.
Dia berdoa pertama kali saat itu. Dia berdoa kepada Tuhan yang tak pernah dia kenal, yang turun untuk membebaskannya dari kekuasaan setan yang memenjara tubuh dan jiwanya.
Itulah titik awal perubahan drastis dalam dirinya untuk mengambil keputusan yang akan menentukan seluruh hidupnya. Proses yang dijalani kemudian memang masih panjang, tapi dia sudah menentukan sebuah titik batas antara masa lalu dan masa depannya.
Perubahan hati macam inilah yang terjadi pada dua orang anak dalam kisah perumpamaan Yesus dalam (Mat 21,28-32).
Perubahan sikap anak kedua, sebuah pertobatan dari sikap tidak menjadi ya, adalah sebuah bentuk Revolusi Jiwa.
Revolusi biasanya terjadi ketika orang tidak puas dengan apa yang dialami dan dirasakan. Dia tidak puas dengan hidupnya dan lingkungan sekitarnya. Ada keinginan besar untuk sesuatu yang lebih baik.
Tahap kedua revolusi adalah yang disebut trigger event. Itu semacam percikan api yang menyulut sumbu lampu di dalam diri kita sehingga nyala tercipta. Dalam pengalaman rohani bisa dikatakan sebagai “pengalaman rahmat Allah”. Saat itulah Allah menyentuh hati seseorang dan mulai tergerak untuk berbuat sesuatu.
Tahap ketiga adalah sebuah gerakan nyata dalam bentuk arah baru kehidupan. Arah yang ditempuh oleh anak yang lebih muda adalah “ia menyesal lalu pergi juga” (Mat 21,30). Dia pergi ke kebun anggur walaupun sebelumnya dia menolak.
Jika hidup jasmani tak pernah ada batas kepuasannya, maka terlebih lagi hidup rohani. Kita tak pernah tahu kapan sudah mencapai tahap kesempurnaan atau minimal merasa layak masuk surga. Kesadaran ini hendaknya membuat orang selalu merasa tidak puas dan tergerak untuk melakukan revolusi jiwa.
Rasa aman dan nyaman karena merasa sudah berbuat banyak sebagai orang beriman seringkali justru membahayakan. Ini ibarat pelari yang sudah merasa jauh di depan lawan-lawannya dan tidak lagi waspada. Tiba-tiba menjelang garis finish pelari lain justru menambah kecepatan sehingga dia yang tiba terlebih dahulu di garis finish.
(Salam sehat dari Biara Santo Afonsus, Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa).
Mantap Tuan, tulisannya bagus sekali. Pater ini pernah bertugas di Paroki Pasar Minggu, saya sempat kenal di kala menjadi Mahasiswa.