Oleh Adrianus Meliala
Terkait Pilkada 2020 yang akan berpuncak pada pemungutan suara tanggal 9 Desember mendatang, dapat dengan mudah diamati terdapat banyak elemen masyarakat yang menghendaki agar Pilkada 2020 tersebut ditunda. Sebaliknya, terlihat Pemerintah bersama DPR dan penyelenggara Pilkada 2020, yakni KPU dan Bawaslu tetap menginginkan agar perhelatan itu berlangsung sesuai jadwal.
Langkah Pemerintah bersama KPU dan Bawaslu untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 adalah langkah yang memang sesuai dengan ketentuan. Langkah itu bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menunaikan hak politiknya. Pimpinan daerah hasil Pilkada kelak juga diharapkan dapat melangsungkan, bahkan mempercepat, roda pembangunan di wilayah masing-masing.
Secara administrasi negara, langkah menunda Pilkada 2020 justru merupakan langkah yang berpotensi maladministrasi mengingat akan terdapat berbagai ketentuan yang dilanggar serta berbagai mekanisme birokrasi yang tidak dijalankan. Senada dengan itu, langkah Pemerintah serta KPU dan Bawaslu yang memberi perhatian besar pada aspek kesehatan dari penyelenggara Pilkada, demikian juga kepada peserta serta masyarakat pemilih, juga benar secara proses dan ketentuan.
Berikut ini 6 (enam) alasan terkait mengapa Pilkada 2020 tidak perlu ditunda: Pertama, penundaan Pilkada pada dasarnya merupakan harapan penantang yang rata-rata sulit mengejar elektabilitas petahana. Pada situasi di mana sulit bergerak dan bertemu muka dewasa ini, petahana amat diuntungkan karena punya jejaring ASN. Penundaan memberi nafas ekstra bagi penantang. Jadi, yang teriak-teriak penundaan, sebenarnya bermotif politik.
Kedua, sulit menentukan basis penundaan hingga atau sampai kapan. Jika menunggu pandemi benar-benar usai, bisa-bisa dua tahun mendatang. Akan selalu muncul debat yang tidak berkesudahan mengingat kepentingan bersliweran. Di pihak lain, mekanisme pemerintahan dan birokrasi sudah tersusun rapih dan tidak bisa diabaikan.
Tiga, penundaan pilkada akan memperpendek masa berkuasa pemenang jika diasumsikan akan terjadi Pemilu Serentak 2024 yang akan datang. Tanpa ditunda saja sebenarnya masa berkuasa pemenang pilkada tidak genap 5 tahun. Memakai bahasa pencegahan korupsi, waktu berkuasa yang pendek itu akan memaksa kepala daerah untuk ngebut “mengeruk” anggaran belanja daerah masing-masing dalam rangka balik modal.
Empat, penundaan hanya akan memperpanjang masa kerja pemda yang demisioner maupun Pemda yang telah menjadi lame duck government (karena gubernur/bupati/walikota) sudah 2 kali menjabat. Itu artinya, semakin lama masyarakat memiliki Pemda yang tidak lagi efisien, tidak produktif dan berpotensi menyimpang. Apalagi awal tahun 2021 adalah masa awal tahun anggaran yang menentukan kinerja Pemda pada bulan-bulan berikutnya. Bagaimana jika diangkat pelaksana tugas (Plt) saja? Melakukan seleksi guna mengisi 200 jabatan Plt, sebanyak daerah yang ikut pilkada, ternyata tidak gampang juga.
Kelima, dari sekitar 200 daerah yang akan melakukan Pilkada, tidak semua masuk zona merah terkait Pandemi Covid-19. Bahkan ada cukup banyak yang masuk zona hijau. Tentunya tidak tepat jika hanya suara orang DKI Jakarta yang masuk zona merah lalu didengarkan Pemerintah, padahal tidak termasuk wilayah yang akan ikut Pilkada Desember mendatang.
Enam, jika alasannya adalah protokol kesehatan, maka bukankah itu yang menjadi concern Pemerintah, KPU maupun Bawaslu? Pemerintah bahkan mengalokasikan dana bagi pengadaan APD yang maksimal bagi petugas KPPS.
Namun demikian, seperti disinggung di atas, kelihatannya tetap banyak saja masyarakat yang khawatir menyangkut masalah kesehatan. Banyak tokoh publik yang mengamplifikasikan opini pribadinya sehingga menjadi “seolah-olah” opini publik. Kekhawatiran bahwa Pilkada 2020 akan menimbulkan kluster massal penderita Covid 19, menjadi pembenar bahwa itu bukan kekhawatiran tanpa alasan. Beberapa komisioner KPU, demikian pula beberapa calon kepala daerah kini memang telah terkena Covid 19.
Dalam kaitan itu, nampaknya Pemerintah bersama-sama KPU dan Bawaslu perlu semakin mengoptimalkan aspek kesehatan yang ditujukan tidak hanya bagi keamanan penyelenggara, tetapi juga peserta serta masyarakat yang berpartisipasi dalam Pilkada 2020 tersebut. Skema kesehatan yang telah dirancang sekarang kelihatannya belum cukup.
Maka, penting untuk mengusulkan agar KPU dan Bawaslu tidak lagi memberi ruang sama sekali bagi tahapan Pilkada yang berpotensi menimbulkan kerumunan. KPU dan Bawaslu juga perlu membuat aturan tegas terkait kemungkinan menindak dan memberi sanksi bagi entah itu peserta ataupun masyarakat yang hendak berpartisipasi, namun melakukan perilaku yang berbahaya menurut protokol kesehatan.
Ada pun protokol kesehatan juga perlu diterapkan secara tegas, dan didukung dengan fasilitas kesehatan yang baik, terkait kegiatan-kegiatan sesuai tahapan Pilkada di mana penyelenggara atau peserta Pilkada (tanpa tim sukses atau masyarakat pemilih) harus hadir secara fisik.
Adrianus Meliala adalah analis politik