Hari ini, orang mengenal Gabriel Goa sebagai aktifis anti human trafficking (HT). Keterlibatannya dalam urusan ini, ibarat sebuah keterceburan tanpa “pintu keluar” untuk pergi. Betapa tidak dikatakan begitu? Sejak terlibat dalam jaringan pencegahan HT, Gaby, demikian sapaan akrab Direktur LSM PADMA Indonesia ini merasa menemukan panggilannya yang sesungguhnya.
Keterceburan jebolan jurusan Hubungan Internasional Universitas Nasional ini berawal dari permintaan Romo Leo Mali pada 2015 untuk mendampingi Rudy Soik, polisi yang berhasil membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dilakukan PT Malindo Mitra Perkasa dengan backing oknum-oknum pejabat penegak hukum di NTT.
Gaby dan kawan-kawan lalu mendampingi Rudy ke Komnas HAM, LPSK, Ombudsman RI, Kompolnas, Mabes Polri dan Komisi III DPR RI. “Tidak ada lain. Kami terpanggil bersama Rudy Soik menyelamatkan anak-anak agar tidak menjadi korban Human Trafficking,” akunya kepada TEMPUSDEI.ID. “Empatiku muncul sejak kasus Rudy Soik dikriminalisasi dan didiskriminasi karena membela korban Human Trafficking,” jelas Gaby lagi.
Kasus tersebut menarik perhatian berkat kerjasama dengan Menaker Hanif Dhakiri yang menggerebek penampungan dan mendapatkan calon TKI secara non prosedural. Saat itu, Menaker langsung mencabut izin operasional PT MMP. “Tragisnya, kasus TPPOnya di-SP3kan dan Rudy Soik dipenjarakan. Hal ini memicu solidaritas kemanusiaan Regional NTT, Nasional dan Internasional untuk membongkar praktik mafia human trafficking di NTT,” ungkap pria yang pernah mengikuti Pelatihan HAM & Demokrasi Amerika Latin dan sejumlah negara lain ini.
Sejak Rudy ditahan dan para korban lolos ke Malaysia, jelas Gaby, dalam dirinya dan kawan-kawan timbul tekad menggalang solidaritas bersama untuk mencegah dan memroses secara hukum pelaku dan aktor intelektualis dari human trafficking NTT. Dari situ, Gaby bersama Romo Leo Mali dan kawan-kawan membentuk Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (POKJA MPM).
Bangun solidaritas
Gaby dan kawan-kawan menyadari bahwa bekerja sendiri tanpa melibatkan pers, akan mengurangi daya dobrak perjuangan mereka. Gaby dan kawan-kawan-kawan lalu menggalang solidaritas pers di NTT, nasional dan internasional untuk membela Rudy Soik dan melawan perdagangan manusia. Untuk tujuan yang sama, mereka juga melakukan aksi dan konser musik bersama Ivan Nestorman di NTT, Jakarta dan Hongkong.
Dari pengalamannya, Gaby melihat upaya membongkar mafia human trafficking menjadi persoalan yang tidak mudah diurai, justru karena keterlibatan oknum pejabat negara dan aparat penegak hukum. “Ada kongkalikong dengan jaringan human trafficking karena ringgit dan dollar bisa mengalir dengan menjual anak-anak gadis NTT,” jelas Gaby prihatin.
Gaby menjelaskan bahwa tidak jarang ada korban yang organ tubuhnya dijual atau malah pulang dalam peti mati.
Gaby lalu menyebut sejumlah contoh korban seperti Adelina Sau dan Dolfina Abuk. “Saat ini kami terus berjuang bersama jaringan nasional dan internasional yang tergabung dalam JarNas Anti TPPO, Zero Trafficking Networking serta Talithakum Indonesia dan Internasional bersama Kemenlu mengawal pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap Adelina Sau di Malaysia.
Korupsi sudah akut
Di NTT, selain masalah human trafficking, masalah lain yang menurut Gaby sudah mencapai tingkat akut dan daya rusak tinggi adalah korupsi. Menyadari daya rusak korupsi, Gaby dan kawan-kawan membentuk Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia atau Kompak Indonesia.
Dari hasil investigasi Kompak Indonesia, korupsi di NTT mendera sektor pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial, bantuan bencana dan dana desa. “Korupsi di NTT terjadi di birokrasi mulai dari provinsi hingga desa,” jelasnya prihatin.
Bagi Gaby, penyebab utama korupsi di NTT adalah mental rampok untuk cepat kaya atau nafsu merebut posisi kekuasaan di eksekutif dan legislatif. “Biarpun KPK gencar OTT, korupsi berjamaah di NTT bisa jalan terus karena diduga kuat ada kongkalikong antara penguasa, pengusaha dan aparat penegak hukum di NTT,” kata Gaby.
Gaby menilai, hukum Gereja dan Hukum Adat di NTT kurang dioptimalkan karena semua berpatokan pada hukum negara. “Di sini sebenarnya sangat penting peran tetua adat dan pemimpin gereja. Gereja yang memiliki integritas dan bersih bisa menyuarakan suara kenabian untuk mencegah terjadinya korupsi dan human trafficking di NTT,” tambah Gaby berharap.
Lebih jauh katanya, NTT yang mayoritas Kristen dan yang adatnya kuat, seharusnya menjadi wilayah pilot programm “NTT Bersih Bebas dari Korupsi dan Human Trafficking”.
Untuk menyelamatkan NTT dari tindakan korupsi dan human trafficking ke depan, Gaby dan kawan-kawan sudah mencanangkan program aksi pencegahan korupsi melalui Program Gerak NTT (Gerakan Anti Korupsi Nusa Tenggara Timur) dan pencegahan Human Trafficking melalui program Gema Hati Mia (Gerakan Masyarakat Anti Human Trafficking dan Migrasi Aman) mulai dari desa-desa di NTT.
Tentang penyebab tumbuh suburnya human trafficking di NTT, Gaby menyinyalir karena kurangnya lapangan pekerjaan, tiadanya Balai Latihan Kerja Profesional dan belum optimalnya layanan terpadu satu atap untuk pengurusan legalitas, kesehatan dan asuransi calon pekerja migran. Selain itu, Gaby menduga hal ini diperparah oleh adanya permainan oknum-oknum pejabat mulai dari desa hingga provinsi yang kongkalikong dengan jaringan mafia human trafficking demi uang.
Lantas, apa yang menyebabkan Gaby dan kawan-kawan gencar melawan human trafficking dan korupsi? “Sebenarnya, yang kami dapat hanyalah kebahagiaan rohani karena mereka adalah citra Allah yang harus dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Para korban ini seperti mama atau tante atau saudari kami sendiri. Tidak sudi dijual orang,” jelas Direktur Institute for Research, Consultation and Information of International Investment (IRCI) ini.
Dari pengalaman keterlibatan menyelamatkan korban human trafficking, yang paling berkesan adalah penyelamatan korban TPPO asal Sumba dan penegakan hukumnya. Gaby mengaku, dalam upaya ini, pihaknya sangat di-backup oleh tim Polres Sumba Barat dan Bareskrim Mabes Polri serta Rumah Aman Gembala Baik dan IOM. “Kami jadi saksi di Pengadilan Sumba Barat. Pelaku TPPOnya dihukum penjara 6 tahun,” ungkap Gaby memberi contoh.
Gaby juga mendampingi Kanit dan Penyidik Polres Sumba Barat yang dikriminalisasi. Jelas Gaby, seharusnya mereka mendapatkan penghargaan karena telah berhasil membongkar dan memproses hukum TPPO. “Sangat menyedihkan! Aparat penegak hukum TPPO di NTT yang berhasil selalu dikorbankan pimpinan, bukan diberi penghargaan dan kenaikan pangkat. Bahkan masih ada kasus TPPO yang dipetieskan bahkan diesbatukan kalau tidak dikawal ketat oleh para aktifis anti human trafficking dan pers,” pungkas pria kelahiran Flores, 25 Maret 1967 ini prihatin. (tD/EDL)