Oleh Eleine Magdalena, Penulis buku-buku best seller
“Dia tidak membiarkan saya sendiri. Rahmat-Nya selalu cukup.”
Tahun 1998 saya diminta menjadi koordinator kelompok doa suami istri. Saya adalah anggota yang termuda atau paling yunior dari semua anggota. Saya menolak karena takut. Saya khawatir tidak mampu karena paling muda dan paling tidak berpengalaman. Tetapi, karena anggota senior yang lain mendorong dan mendukung penuh, akhirnya saya minta waktu untuk berdoa dan mempertimbangkannya.
Keesokan harinya ketika berdoa, saya alami sesuatu tidak biasa saya alami. Selama doa pribadi saya merasakan sesuatu bergemuruh di dada, sesak, sedih berkecamuk menjadi satu. Sejak awal doa dalam mata batin saya melihat bulatan putih seperti sinar. Kemudian lamat-lamat saya mendengar dalam hati: “Maukah kau jadi roti yang terpecah bagiKu, maukah kau jadi anggur yang tercurah bagiKu, maukah kau jadi saksi memberitakan InjilKu, melayani, melayani, lebih sungguh.”
Lalu, saya terdorong untuk menjawab dengan segenap hati walaupun tidak tahu persis lirik lagu tersebut. Saya menyanyi sambil mengingat-ingat liriknya: “Aku mau jadi roti yang terpecah bagiMu, aku mau jadi anggur yang tercurah bagiMu, aku mau jadi saksi memberitakan InjilMu, melayani, melayani, lebih sungguh.”
Kalau tidak salah lagu ini pernah saya dengar dua kali. Itu pun sudah sangat lama. Kemudian saya mulai mengerti bahwa Yesus meminta kerelaan hati saya untuk melayaniNya. Teringat juga pesan seorang teman dalam sebuah pertemuan doa: “Barangsiapa diberi banyak, daripadanya juga dituntut banyak”. Kali ini pesan tersebut menyapa saya kembali. Panggilan Tuhan terasa kuat. Seakan-akan saya tidak dapat lari daripadaNya. Ada sesuatu yang menekan di dada sejak awal doa. Hingga saya sujud di bawah salib Yesus barulah saya merasa tenang. Segala ketakutan saya serahkan pada Tuhan. Saya mau melakukan apa yang menjadi bagian saya.
Sekali lagi saya terdorong menyanyikan: “Maukah kau jadi roti yang terpecah bagiku.” Dengan sepenuh hati saya menjawab: “Aku mau jadi roti yang terpecah bagiMu, aku mau jadi anggur yang tercurah bagiMu, aku mau jadi saksi memberitakan InjilMu, melayani, melayani, lebih sungguh.”
Saya menangis menyadari kebaikan Allah. Dia yang Mahabesar merendahkan diriNya dan meminta saya untuk menjadi keledai tungganganNya. Dia mau menjadikan tangan, kaki, dan mulut saya sebagai alatNya padahal Dia tahu bahwa saya tidak punya apa-apa yang pantas untuk saya berikan padaNya. “Siapakah aku ini Tuhan. Aku tidak Kau buang dari hadapanMu, bahkan Kau kasihi dan Kau anggap berguna. Aku hanyalah setitik debu namun tidak Kau pandang hina”.
Hati saya menjadi tenang setelah merelakan diri untuk Tuhan pakai seturut kehendakNya. Saya benar-benar hanya berpegang pada cintaNya bahwa jika Dia memanggil maka Dia akan memperlengkapi. Hanya cinta yang membimbing saya.
Hingga kini selama lima belas tahun melayaniNya tak pernah sekalipun Tuhan berhenti menolong. Dia tidak membiarkan saya sendiri. RahmatNya selalu cukup. Dia tidak mempermalukan orang-orang yang mengabdi kepadaNya.
Marilah selalu kita mohon rahmatNya agar berani melangkah dalam iman sambil menantikan penggenapan rencanaNya dalam hidup, keluarga, dan pelayanan kita. (Kisah Kasih Tuhan, 2015)