Mon. Nov 25th, 2024

Pater Kimmy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris, Provinsi Indonesia

Pater Kimy, CSsR

“Hendaklah kamu sempurna sama seperti Bapamu sempurna adanya” (Mat 5,48).

TEMPUSDEI.ID (1/11/20) – Tanggal 10 Oktober lalu seorang anak muda dari Italia, usia 15 tahuh, bernama Carlo Acutis digelari “Beato” oleh Paus Fransiskus. Dialah yang kemudian dikenal sebagai Beato millenial. Satu tingkat lagi dia akan menjadi Santo.

Walaupun belum menjadi “Santo”, dia diyakini sudah memasuki persekutuan para Kudus di surga. Perbedaan gelar tidak menentukan status atau kedudukan di Surga. Tidak berarti ada perbedaan kamar di sana dimana yang bergelar Beato tinggal di kamar VIP dan yang bergelar Kudus di kamar VVIP.

Persekutuan Para Kudus adalah “suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku, kaum dan bahasa, berdiri di hadapan tahta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka”. (Why 7,9).

Yang menarik dari ajaran Gereja ini adalah bahwa kekudusan itu bervariasi. Petrus adalah orang kudus dengan latar belakang Rasul, dari kalangan nelayan, yang kemudian mati sebagai martir.

Santo Antonius Agung sampai pada kekudusan dengan hidup secara keras dan penuh kesunyian di padang gurun.

Santo Thomas Aquinas menemukan kekudusan dalam kejeniusannya sebagai ahli teologi dengan ajarannya yang melegenda dan mendunia.

Santo Fransiskus Asisi mencapai kekudusan dengan kesederhanaan hidup dan kesatuannya dengan alam atau makhluk lain. Dia tak melukai satu binatang pun dalam hidupnya.

Santa Jeanne d’Arc dari Prancis menjadi kudus dengan memenuhi panggilan Tuhan untuk memanggul senjata berperang melawan musuh bangsanya, Inggris.

Santo Yohanes Maria Vianney memperoleh kekudusan karena kerendahan hati dalam pelayanan sebagai seorang Imam sederhana.

Santo Philipus Neri menjadikan tertawa dan hidup yang riang serta ramah dengan semua orang sebagai jalan menuju kekudusan.

Santo Alfonsus Liguori menjadi kudus dengan mendirikan Kongregasi dan menulis karya besar Teologi Moral dan menulis banyak buku rohani.

Santa Teresa dari Kalkutta menemukan kekudusan dalam melayani dan mencintai orang-orang paling miskin, menderita dan diabaikan oleh dunia sekeliling mereka.

Aneka ragam cara dan jalan menjadi kudus menunjukkan pada kita bahwa Allah sesungguhnya menyukai perbedaan. Keindahan hidup kudus bagaikan bunga dalam rupa warna, bentuk dan keharumannya.

Dengannya kita bisa mengatakan bahwa surga bagaikan taman bunga kekudusan di mana macam-macam orang kudus berdiri di hadapan Allah yang satu. Bahkan sangat mungkin kekudusan tidak mesti melalui kekristenan.

Santa Katarina dari Siena mengatakan: “Jadilah seperti yang dikehendaki Tuhan bagimu untuk menjadi dan engkau akan membuat dunia bersukacita.”

Kita bisa meneladani orang-orang kudus ini tapi tak perlu “meng-copy paste” hidup mereka. Mereka tetaplah pribadi yang berbeda dan hidup dalam dunia dan zaman yang berbeda pula.

Kita bisa menjadi Kudus dengan menjadi diri kita sendiri sesuai harapan Allah. Yang perlu dicari, diketahui dan dihidupi adalah apa yang menjadi harapan Allah bagiku.

Si iste et ista, cur non ego?  Jika dia (p) dan dia (w) bisa menjadi kudus, kenapa aku tidak? (Santo Agustinus)

Salam sehat dan berkat Tuhan dari  Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula-Sumba (tanpa Wa)

Related Post

Leave a Reply