AMDG, Aku Mendidik Dengan Gembira – St Kartono
Menjadi Guru yang Gembira, begitu judul artikel yang mengantar St. Kartono menjadi “Juara 1 Lomba Artikel Jurnalistik Kemendikbud 2020”. Artikel tersebut dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat 25/11/19.
Mengapa ia memilih judul Menjadi Guru yang Gembira? Karena memang, menekuni profesi guru adalah sebuah kegembiraan baginya. Dan menurutnya pula, hanya dalam kegembiraanlah seorang guru bisa berbagi kegembiraan.
Dalam artikel sepanjang 590 kata itu ia mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif tentang kegembiraan yang sesungguhnya harus dimiliki oleh seorang guru. Bagaimana guru akan menggembirakan muridnya, sedangkan hidupnya penuh kemurungan? Bagaimana seorang guru mampu membangun antusiasme belajar para muridnya, padahal dirinya pesimistik? Lalu bagaimana membangun kegembiraan dalam diri guru?
Dengan ketiga pertanyaan tersebut, kolumnis di berbagai media, khususnya untuk mengelaborasi ihwal pendidikan menengah ini mau mengatakan bahwa kegembiraan itu harus inheren dalam diri guru, apa pun situasinya.
Ketika guru menghidupi cara pandang positif dunianya, jelasnya, di situlah kegembiraan dalam arti sesungguhnya menetap sampai kapan pun. Demikian ketika kegembiraan dan cara pandang menjadi bekal dari rumah, seorang guru akan memandang para muridnya secara positif. “Memandang murid, apa pun situasinya, harus selalu lewat mata hati yang positif. Para guru mesti memandang murid sebagai pribadi yang membutuhkannya. Dengan begitu dia akan dengan gembira berusaha membantu murid-muridnya itu,” ujar guru yang sangat sering memberikan pelatihan menulis di berbagai komunitas ini.
Berbagi Kegembiraan
Sudah sejak awal menjadi guru ia memegang prinsip “menjadi guru yang gembira” tersebut. Dia pun ingin agar rekan-rekan seprofesinya menghidupi prinsip yang sama. Karenanya, ia selalu berbagai kegembiraan melalui aneka tulisan yang tersebar di mana-mana. Sejak menjadi guru SMA Kolese De Britto pada 1991, ia telah menghasilkan 530-an tulisan yang dimuat di berbagai media. Ia juga telah meluncurkan 13 buah buku.
Dari karya-karya intelektualnya tersebut, seringkali ia menuai protes, namun tidak jarang pula dialamati pujian. “Ada yang menuai protes, kemarahan, atau didatangi staf inspektorat jenderal, bahkan ancaman kekerasan. Namun, tak jarang diselamati, dipuji, dirujuk pejabat di acara televisi,” jelasnya.
Sering juga karena tulisannya, pagi-pagi sudah mendapat telepon, “Ini pak Walikota ingin ketemu Anda, silakan cerita langsung tentang tulisan Pak Kartono.” Atau, “Saya minta Anda datang ke kantor kementerian tanggal sekian ya …ini lho, tentang buku Anda,” kata seseorang melalui telepon kepada guru yang mengaku rajin menulis dengan satu niat: mendorong perubahan ini.
Lantas, apa kata hatinya atas keberhasilan memenangi lomba tersebut? “Sungguh, bagi saya selembar piagam dari Kemendikbud ini ibarat ‘mahkota’ pengakuan dari Kementerian yang sebidang dengan karya-pengabdian saya. Pengakuan saya dapatkan di tengah cibiran sebagai ‘guru yang nyelebritis’, ‘penulis itu pembohong’,” pungkasnya. (tD/EDL)