Oleh Bene Dalupe
Pemerhati masalah sosial, tinggal di Jakarta
Baru saja saya melihat cover sebuah koran nasional. 24 wajah dokter terpampang satu halaman penuh. Mereka dilaporkan meninggal akibat terinfeksi Covid-19. Sebuah portal berita juga melaporkan 81 tenaga medis terinfeksi makhluk renik ini. Semua negara di dunia kini berkejaran dengan waktu, menghentikan laju “pembunuh tak kasat mata ini”.
Yah, Covid-19 menyebabkan krisis terbesar generasi ini, demikian tulis Yuval Noah Harari, penulis Sapiens yang terkenal itu. “Badai akan hilang, umat manusia akan selamat, sebagian besar dari kita masih hidup – tetapi kita akan mendiami dunia yang berbeda”, tulisnya Harari di financial times.
Candaan Pejabat
Satu abad lalu (1918-1920), saat kita belum menjadi negara bangsa seperti hari ini, flu Spanyol membunuh jutaan warga Hindia Belanda. Wabah itu menewaskan 4,26 juta-4,37 juta orang di Jawa dan Madura saja, demikian ditulis seorang peneliti. Bagaimana mungkin, sebuah wabah dengan kejam membantai jutaan manusia tanpa pandang bulu?
Pada zaman itu tentu tak ada media sosial. Informasi tentang wabah, tak secepat kilat menembus dinding-dinding informasi seperti hari ini. Kurang informasi, fasilitas kesehatan yang minim, dan kolonialisme menyempurnakan derita pribumi di Hindia Belanda. Menghadapi wabah pejabat kolonial berkilah: “Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik’, demikian ditulis Weekblad (1919) dikutip Ahmad Arif (Kompas 1/4/20). Bahkan flu Spanyol itu, dianggap sebagai flu biasa.
Satu abad kemudian, tepat 2020, Coronavirus baru yang pertama kali merebak di Wuhan, China, segera menyebar ke segala penjuru dunia. Ketika wabah ini sampai di negara tetangga, menteri kesehatan di negara +62 menyatakan dengan santai ‘enjoy aja’. Pejabat lain mengatakan sambil bercanda, “Corona tak akan masuk negara kita, karena perizinannya berbelit-belit”. Seorang pejabat lainnya yang akhirnya terinfeksi pernah berkelar: “Kita kebal Corona, karena doyan makan nasi kucing”.
Bercanda itu memang perlu. Apalagi itu mampu melupakan sejenak derita dan kepenatan. Di media sosial banyak orang mengirimkan kata-kata, video, gambar lucu tentang aktivitas berdiam di rumah. Sepasang suami-istri bercanda bahwa mereka taat menjaga jarak minimal 1 meter bahkan di dalam kamar pribadi sekalipun.
Tetapi bercanda dan sikap santai itu bisa jadi malapetaka bagi banyak orang, jika anda pejabat publik. Apalagi jika itu menyangkut keselamatan warga. Corona yang bisa kita candai itu, tidak peduli, ia makhluk tak punya agama, tak pilih-pilih orang, menyerang siapa pun yang mendekat atau kebetulan lewat.
Mencintai Kehidupan
Saya kira sebagian besar dari kita tak takut pada kematian. Ia seperti biasa saja dalam kehidupan. Apalagi jika orang sudah sangat beriman, percaya bahwa seluruh kehidupannya adalah rencana Tuhan. Setiap hari ada orang mati karena demam berdarah dengue (DBD), serangan jantung, kanker, gagal ginjal dan segala penyakit lainnya. Banyak pula yang mati akibat bencana atau kecelakaan lalu lintas.
Tetapi setiap kita tentu tak menghendaki kematian acak yang tak dapat dimaknai. Wabah ini dapat mengantarkan orang pada kondisi itu. Kini, ratusan orang sejak terinfeksi hingga ke liang kubur tak bisa ditemani orang-orang terkasih mereka. Virus yang sama juga mungkin sudah menginfeksi orang-orang terdekat lainnya.
Corona membuka mata kita untuk semakin mencintai kehidupan. Kita jadi sadar betapa pentingnya memiliki pola hidup sehat dan bersih. Imun tubuh yang kuat adalah pertahanan dasar bagi apa pun jenis penyakit yang menyerang. Pada lingkup yang lebih luas, kita jadi tahu lemahnya sistem kesehatan di negara kita. Mungkin setelah wabah ini, negara jadi berpikir bahwa membangun sistem kesehatan yang tangguh adalah lebih penting dari sekadar jalan tol, jembatan dan investasi tambang dan kelapa sawit yang akhirnya merusak alam. Model pembangunan kita, cara kita memperlakukan alam, menentukan seberapa baik alam merespon manusia.
Rumpun coronavirus sebagaimana ditemukan peneliti, berada di alam liar, pada binatang-binatang liar. David Quammen, penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next Pandemic mengungkapkan fatalnya tindakan manusia merusak alam. “Kita memotong pohon, memburu binatang, merenggut mereka dari habitatnya, bahkan menjualnya ke pasar untuk dimakan membuat virus kehilangan rumah alamiahnya. Mereka mencari inang baru dan itu adalah tubuh manusia,” demikian tulisnya di New York Times.
Yah, virus ini seperti ‘membalas dendam’ . Derita ketidakseimbangan alam akibat keserakahan manusia, membuatnya ‘marah’. Corona mengharuskan kita tidak saja menyayangi dan menjaga orang-orang terdekat kita, tetapi juga alam-lingkungan yang kita tinggali. Jika Coronavirus ini mampu mendengar dan merasa, apa yang akan kita sampaikan padanya saat ini?