TEMPUSDEI.ID (17/12/20)
Apa tujuan sebuah pernikahan? Jawaban umum mengatakan “untuk bahagia”. Pertanyaan lanjutannya, untuk kebahagiaan siapa? Lagi-lagi jawaban umum mengatakan “untuk kebahagiaan kedua mempelai, orangtua dan keluarga”.
Kalau tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan, bagaimana nasib pernikahan itu kalau yang kemudian dihadapi dalam pernikahan adalah sakit, kegagalan, kebangkrutan dan hal-hal lain yang mungkin meringkus kebahagiaan?
Melalui buku berjudul Mata Iman ini, Eleine yang adalah pembicara awam dalam berbagai seminar iman Katolik ini, antara lain mengajukan pertanyaan “Apa tujuan perkawinan” dan beberapa pertanyaan ikutan lain, lalu ia menjawabnya sendiri.
Menurut Eleine, jika tujuan utama hidup perkawinan adalah mencapai kebahagiaan, maka perkawinan tersebut sangat rentan. Alasannya sederhana, yakni karena belum tentu perkawinan membuat kehidupan yang bersangkutan lebih baik atau lebih bahagia. Dengan alasan tidak tercapainya tujuan “menjadi bahagia”, orang “merasa wajar” membubarkan pernikahan alias bercerai, lalu memulai pernikahan baru, juga dengan tujuan “mencapai kebahagiaan”.
Menurut penulis, konsep tujuan pernikahan tersebut perlu perbaiki. Hal pertama yang harus diluruskan menurut anggota Komunitas Tritunggal Mahakudus ini, tujuan perkawinan perlu dilihat dari perspektif kekekalan, yakni perkawinan sebagai jalan menuju kekudusan. Panggilan menuju kekudusan melalui perkawinan ini melampaui kebahagiaan di dunia (halaman `12).
Penulis lalu mengutip pendapat Fransiskus dari Sales dalam bukunya Thy Will Be Done yang mengatakan bahwa perkawinan membutuhkan “penyangkalan” terus-menerus karena dari “getah pahit perkawinan” dihasilkan “madu kekudusan hidup”.
Pada rajutan refleksinya yang lain berjudul Ekaristi Sumber Kekuatanku, penulis buku laris Menemukan Tuhan dalam Hidup Perkawinan ini berbagi kisah seputar pengalamannya dengan ekaristi. Dia menulis, “Ada saat-saat di mana Yesus meninggalkan kesan-kesan dalam jiwaku setelah menyambut Sakramen Ekaristi. Ada waktunya Yesus memberikan penghiburanNya dalam jiwaku, ada pula Yesus meneguhkanku untuk melangkah. Ada kalanya Yesus membiarkanku menangis dalam dekapan cintaNya saat saya merasa sangat dimengerti dan dikasihi” (Halaman 51).
Baginya, kalimat yang diucapkan umat sesaat sebelum menyambut tubuh Kristus yang berbunyi: Ya, Tuhan saya tidak pantas, Tuhan datang pada sata, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh, selalu menggetarkan jiwanya.
Buku Mata Iman ini berisi 31 refleksi singkat Eleine tentang hidup berkeluarga, pengalaman bersama Tuhan dalam iman dan hidup harian. Ia selalu berusaha menyelam ke dasar iman, menemukan mutiara-mutiara iman lalu merangkainya secara menarik untuk menjadi nutrisi batin pembaca dalam mengarungi kehidupan.
Eleine menyajikan buku ini dengan bahasa yang ringkas dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh siapa pun. Refleksi-refleksinya meski singkat-singkat, namun memberikan entakan-entakan yang melahirkan kesadaran baru.
Secara umum, buku ini menarik dan memberi pencerahan. Meski begitu, ada beberapa hal teknis yang perlu diperbaiki jika akan dicetak ulang. Diperlukan semacam pengantar yang menuntun pembaca memahami konteks atau arah refleksi-refleksi dalam buku. Selain itu, perlu pengelompokan tulisan-tulisan agar pembaca dengan mudah menemukan benang merah antara satu tulisan dengan tulisan yang lain. Selamat membaca. (tD)
Judul Buku: Mata Iman l Penulis: M.T. Eleine Magdalena l Penerbit: RayPublishBooks, Malang l Tebal Buku: 180 halaman